Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Camelia Green
Dihyan dan Centhini berkampus di tempat yang sama. Bedanya, Dihyan mengambil jurusan komunikasi, sedangkan Centhini di jurusan bisnis. Setiap hari keduanya berangkat dan pulang bersama, kecuali bila ada satu dua kegiatan tambahan atau acara khusus.
“Eh, Yan, cece kamu sampai sekarang belum punya pacar?” tanya Derrick, teman kuliah Dihyan. Ia tidak terlalu akrab dengan Derrick.
“Kamu adalah cowok kesekian yang nanya ini ke aku. Mbakku belum punya pacar. Tapi nggak tahu juga, tanya aja langsung,” jawab Dihyan ogah-ogahan.
“Kok bisa sih kamu punya cece secantik itu?”
Dihyan melirik sebal ke arah Derrick. “Kan dia kakak angkat.”
“Iya, semua orang juga tahu itu. Cuma, kok bisa dia cantik?”
Dihyan menghela nafas panjang. Ini sudah tahun pertama, berarti dua semester, ia dan Centhini berkuliah. Selama itulah ia menjadi sasaran pertanyaan sekaligus hinaan dari banyak orang. Centhini terus-menerus mendapatkan pujian dari banyak orang. Teman-teman perempuannya pun tidak segan-segan menunjukkan kekaguman, tetapi tak satupun menunjukkan ketertarikan kepadanya.
Belum lagi ketika mereka sampai tahu bahwa ayahnya, si Aparatur Sipil Negara itu, adalah seorang bule tampan. Atau ibunya, yang sederhana itu, berwajah luar biasa cantik.
Masih mending Derrick yang bertanya, kalau teman-teman atau bahkan tetangganya yang tahu mengenai kedua orang tuanya ini, maka pertanyaannya bisa, “Kok bisa sih bapak dan ibu kamu cakep gitu, sedangkan kamu cuma dapat jangkung kayak buluh bambunya doang?”
Dihyan akhirnya hanya bisa mengedikkan kedua bahunya merespon pertanyaan Derrick.
Awalnya, sedari masa sekolah dulu, Dihyan merasa biasa dan terbiasa dengan sikap orang-orang terhadap keluarganya ini. Namun, semenjak Dihyan bertemu dengan sosok Camelia Green, Dihyan mulai merasakan bahwa dirinya begitu rendah serta tak berharga.
Gadis itu mengambil jurusan bisnis yang sama dengan Centhini, bahkan sedari awal sudah dekat dengan kakaknya itu. Tak lama mereka bahkan menjadi sahabat baik.
Camelia membuat Dihyan klepak-klepek. Wajahnya luar biasa cantik, perpaduan darah Inggris sang ayah dan Manado sang ibu. Robert Green, sang ayah, adalah seorang guru ekspat di salah satu sekolah internasional di kota ini. Sebenarnya, tidak sulit bagi Camelia untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, paling tidak di Inggris, tempat asal ayahnya. Namun, Camelia merasa bahwa ia tidak terlalu pintar dan tidak berkeinginan terlalu besar untuk memiliki karir tertentu. Ia dekat dengan ibunya yang merupakan seorang pengusaha katering sukses nan terkenal di kota ini.
“Aku mau melanjutkan bisnis Mama aja, Cen. Makanya aku harus belajar banyak soal bisnis,” jelasnya pada Centhini suatu saat.
Rambut Camelia berwarna coklat, atau kemerah-merahan, Dihyan tidak tahu terlalu pasti. Ia tidak memiliki nyali untuk memandang Camelia terlalu dekat. Hidungnya mancung, pas, tidak terlalu panjang dan tajam. Wajahnya secara keseluruhan seperti bidadari – kalau bidadari memang ada, harusnya wajahnya seperti Camelia, pikir Dihyan.
“Mbak, memangnya Camelia itu warga negara kita, ya?” rasa penasaran Dihyan akhirnya membawanya ke Centhini.
Centhini mengerutkan keningnya dan menatap curiga Dihyan dengan sepasang matanya yang sipit itu. “Kenapa tanya-tanya? Naksir? Mentang-mentang sama-sama punya tampang semi bule gitu, terus kamu bakal merasa cocok sama Camelia?”
“Opo, sih, Mbak,” protes Dihyan.
Centhini tertawa puas melihat reaksi adiknya itu.
Dihyan memutuskan untuk tidak mengulik informasi apapun dari Centhini. Sudah diejek orang lain, jangan sampai membuka kesempatan untuk dirundung kakaknya sendiri.
Padahal, sulit baginya untuk tidak bertanya kepada Centhini. Camelia dan Centhini selalu bersama di kampus. Keduanya menjadi pusat perhatian karena sama-sama cantik dan menarik. Camelia yang blasteran Indo-Inggris, dan Centhini yang mewakili pesona oriental. Dan, Dihyan jatuh hati pada Camelia, meski maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Akhirnya, ketidakmampuan ini langsung kembali ia salahkan kepada kondisinya yang serba tidak beruntung dan hidup sebagai pecundang ini. Apa gunanya memiliki latar belakang keluarga yang serba tampan, cantik dan menarik, kalau dirinya tak mampu mendapatkan orang yang ia sukai.
Camelia Green seakan menjadi standar tertinggi pencapaiannya. Dalam kondisi latar belakang keluarga yang seperti ini, harusnya mendekati Camelia bukanlah perkara yang terlalu sulit. Itu juga kalau ia sungguh cakep, dianugerahi semua ciri fisik dan pesona kedua orang tuanya.
“Hei, kamu Dihyan kan, ya? Adiknya Centhini, kan?”
Dihyan tersentak.
Ia sedang menunggu kakaknya di parkiran motor untuk pulang bersama. Sudah lebih dari 30 menit Centhini tidak muncul. Gawai Centhini pun sepertinya tidak aktif karena tidak bisa dihubungi. Namun, Dihyan memutuskan menunggu sampai sosok kakak perempuannya tersebut muncul.
Dihyan tidak percaya bahwa Camelia jauh lebih cantik bila sedekat ini. Sepasang matanya lentik, pupilnya berwarna kecoklatan, bukan hitam, serupa dengan warna rambutnya. Bibirnya, merah merekah, tipis tetapi melebar ke samping dengan lengkungan yang terlalu sempurna, membentuk semacam seringai unik yang sulit untuk dibaca.
“Ah, eh … ehm … iya. Saya Dihyan,” jawab Dihyan terbata-bata.
“Hape Centhini mati, jadi dia nggak bisa hubungi kamu. Jadi, ceritanya aku mau ajak dia keluar sebentar. Boleh ya? Nanti sore atau malam aku antar dia balik sampai ke rumah. Nggak usah khawatir. Dia bisa charge hapenya di dalam mobilku aja nanti.”
Bahkan suara yang keluar dari rongga mulut Camelia pun terdengar indah. Cenderung berat, datar, tetapi lembut dan tidak tergesa-gesa. Santai, tetapi jelas dan tegas. Berbeda dengan suara Centhini yang tipis, tinggi, dan cenderung sengau, sangat mengganggu, pikir Dihyan.
Dihyan hanya bisa mengangguk kaku.
Camelia tersenyum dan berterima kasih sebelum meninggalkan Dihyan terpekur seorang diri di parkiran. Untung bukan di wilayah parkiran ruko. Bisa-bisa ada orang yang menghampirinya dan memberikannya lembaran uang dua ribu rupiah, berpikir ia adalah tukang parkirnya.
Sore itu, Dihyan menunggu kakaknya diantar sampai rumah, hanya untuk melihat Camelia lagi.
Camelia sungguh mengantar sampai depan rumah, sebelum berpamitan kepada orang tua Dihyan, serta Dihyan sendiri, yang pura-pura sedang membaca di ruang tamu.
Kulit Camelia putih pucat, dengan sedikit freckles alias titik-titik noda di pipinya. Membuat wajah si gadis semakin cantik luar biasa.
Mana mungkin gadis secantik itu melirik kepada dirinya, pikir Dihyan. Tidak peduli bahwasanya ia adalah sahabat baik seorang Centhini, kakaknya sendiri. Di keluarga ini, mungkin Centhini lebih tepat sebagai anak kandung. Bukan karena kemiripan wajahnya dengan kedua orang tuanya, melainkan karena mereka sama-sama rupawan semua.
Dihyan merasa luar biasa konyol dan bodoh karena mematung di depan Camelia saat itu. Mengapa ia tak mampu bertindak normal layaknya laki-laki? Derrick yang tidak bisa dikatakan memiliki tampang tampan saja masih memiliki keberanian untuk coba-coba peruntungan dengan cewek-cewek yang ia sukai. Sedangkan dirinya?
“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh