Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 : Permainan
Ara kembali membalikkan badan. Nggak mau tahu dengan apa yang terjadi. Sebenarnya dia khawatir tapi tidak ingin bertemu. Ara berjalan menjauh beberapa langkah namun klakson itu masih saja berbunyi.
Ara menghentakkan kakinya lalu dengan cepat berbalik berlari ke arah mobil.
Ara melihat kepala Saka sudah lunglai di atas stir mobil. Ara mengetuk jendela tapi tidak ada respon. Ara mencoba membuka pintu dan ternyata tidak terkunci.
Ara menarik badan Saka dari stir agar bunyi klakson berhenti. Ara menepuk bahu Saka, mencoba membangunkannya.
“Mas…Mas Saka?”
Ara menggoyang-goyangkan tubuh Saka tapi Saka sama sekali tidak membuka matanya. Wajah Saka terlihat pucat. Takut-takut, Ara menempelkan telinganya di dada Saka. Syukurlah, detak jantungnya masih ada.
Apa yang terjadi sama orang ini sampai pingsan di dalam mobil begini? Batin Ara.
Seorang pria memakai seragam dan rompi mendekati Ara. Sepertinya dia karyawan hotel ini.
“Ada apa, Bu? Tadi saya dengar bunyi klakson.”
“Ini, Pak. Kayaknya pingsan.”
“Pingsan?”
Karyawan itu melongok pada Saka kemudian sedikit tersenyum.
“Bu, bapak ini sering menginap di hotel ini. Sepertinya beliau hanya habis minum-minum.”
“Minum-minum?” Astaga! Mama bakalan pingsan kalau tahu Saka begini. Batin Ara.
“Ibu antar saja ke kamar. Di dekat persneling itu ada kartu kuncinya.”
“Tapi…tapi, Pak…”
“Araaa…” Tiba-tiba kepala Saka bangun dari stir mobil, matanya kriyip-kriyip sambil menceracau. Dia tertawa sendirian. “Kok kamu…ada di sini?”
“Ibu kenal?” tanya karyawan itu.
Ara mengangguk pelan sambil menghindar dari gapaian tangan Saka yang mulai gerak-gerak nggak jelas.
“Kalau begitu antarkan saja ke kamar.”
Ara berdecak gemas. Dia sama sekali tidak ingin berada dalam posisi seperti sekarang. Dia hanya ingin pulang ke kontrakan lalu tidur dengan tenang. Kenapa malah ketemu Saka dalam keadaan begini.
Terpaksa. Ara memapah Saka sampai ke kamar dengan sempoyongan. Selain meracau tidak jelas, Saka juga limbung. Ara harus ekstra tenaga untuk menjaga keseimbangan mereka berdua agar tidak jatuh.
Ara menjatuhkan badan Saka di tempat tidur. Nafasnya hampir copot, Ara terbatuk-batuk sambil memijit bahunya sendiri. Ingin rasanya melontarkan kata-kata kasar dan pukulan tepat di pipinya agar Saka sadar perbuatannya ini memalukan.
“Apanya yang religius? Sekarang baru ketahuan kan kelakuan kamu yang sebenarnya!”
Ara menarik ujung rambut Saka saking gemasnya. Mau marah tapi nggak sopan juga kalau mukul. Dia cuma bisa menariki rambutnya Saka sambil ngomel.
“Kamu ngapain sih pakai minum-minum segala?! Kamu ada masalah apa lagi? Nggak cukup kamu minum obat-obat itu?! Badan kamu tuh harusnya dijaga biar nggak sakit! Ini malah ngerusak diri sendiri! Udah dosa, nggak sehat pulak!”
“Sssst….”
Tiba-tiba telapak tangan Saka menutup mulut Ara. Ara terdiam saking dekatnya hidung mereka berdua.
“Jangan berisik, aku mau nunggu Ara telpon. Kalau kamu berisik, nanti deringnya tidak terdengar.”
Ara berusaha melepas tangan Saka namun Saka malah menarik tubuhnya hingga jatuh ke dada Saka yang terlentang.
“LEPASIN!!”
Ara berusaha melepaskan rengkuhan lengan Saka di pinggangnya.
“Diam dulu. Baumu kok sama kayak Ara ya, jadi kangen…”
Ara beku tanpa bisa berkata apa-apa dalam pelukan Saka. Memori-memori menakutkan itu kembali menyerbu otaknya hingga dia berontak sekuat tenaga.
Saka membalik posisi mereka hingga kini Ara yang telentang di tempat tidur.
“Siapapun orang yang bikin kamu trauma, aku ingin menghapusnya dari ingatanmu sekarang juga. Gantilah dengan aku, Ra… Aku tahu aku pengecut, tapi aku nggak bisa…aku nggak bisa nggak mikirin kamu. Berhari-hari kamu menghilang…aku harus cari kamu di mana…aku mau dekat denganmu, kita lupakan sakit hati kita. Ya…”
Saka terlihat sesenggukan. Jantung Ara sudah tidak karuan. Antara takut, bingung, dan kasihan. Tapi Ara sadar kalau Saka hanya mengigau, dia sedang mabuk, bisa saja kata-katanya hanya halusinasi.
Ara menendang badan Saka dengan kakinya hingga Saka terjengkang ke belakang. Ara buru-buru bangun dari tempat tidur dan berdiri menjauh.
“SAKA?!”
Suara perempuan yang masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu membuat Ara terlonjak. Risty berdiri di ambang pintu dengan tatapan bingung.
“Ara?"
Dunia ini luas, kenapa Ara bisa-bisanya bertemu dua makhluk ini lagi secara bersamaan?Apakah Ara perlu pindah planet sekalian biar tidak bertemu mereka lagi?
Ara menjauh dari Saka dan melewati Risty. Dia hanya ingin cepat-cepat menghilang dari TKP. Tapi sebelum terjadi kesalahpahaman, Ara menjelaskan duduk perkaranya kepada Risty.
"Aku nggak ngapa-ngapain sama dia, Ris. Dia mabuk. Aku hanya menolongnya sampai ke kamar. Tidak seperti yang kamu lihat."
Risty melihat Saka yang kini duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur.
“Saka?”
Risty mendekati Saka dan mengelus pipinya. Saka melihat Risty dengan tatapan benci. Dia menepis tangan Risty.
“Pergi! Menjauh dariku!”
Risty terlihat tidak terima ditolak oleh Saka.
“Saka, ini aku. Risty! Sadar dong!”
Risty mengguncang bahu Saka tapi Saka tetap tidak peduli.
“Sebaiknya biarkan dia tidur dulu, kalau dalam keadaan kayak gitu, dia nggak bakalan bisa kamu ajak bicara.” kata Ara.
Ara membalikkan badan ingin meninggalkan mereka berdua tapi Saka bangun dari duduknya dan menarik tangan Ara.
“Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu mau main sama aku, Ra? Hidupku sudah terlalu buruk, bagaimana kalau kita main ‘hapus memori’?”
Alis Ara mengkerut memandang mata sayu Saka yang mengembun. Ajakan ini lebih ke permintaan tolong daripada main-main.
"Biar aku yang urus dia."
Risty memutar bahu Saka lalu menutup pintu.
Ara mematung di depan pintu. Diam dan mencoba menata hati yang berantakan. Kenapa hatinya masih saja terasa ngilu tiap kali menatap mata Saka? Mata dengan refleksi jiwa yang terjatuh dan meminta tolong tapi tidak tahu pada siapa dan bagaimana. Seperti dirinya.
Ara merasa Saka tidak ingin berada di dalam sana bersama Risty. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Ara merasa seperti ditarik ulur oleh Saka dan perasaannya sendiri. Ara merasa dialah yang sekarang sedang dipermainkan. Oleh mereka berdua, dan dirinya sendiri.
...* * * * *...
Ara tidak habis pikir kenapa ada orang yang mau-maunya tidur di lantai sambil duduk bersandar di depan pintu seperti ini. Ara tidak pernah mengatakan di mana dia tinggal selama di ibu kota selain kepada keluarganya dan Pamungkas.
“Alan pasti sudah berkhianat.” gumam Ara pendek sambil bersungut-sungut.
Ara berjongkok di depan sahabatnya yang kini mendengkur halus.
“Kenapa kamu malah ke sini, Mahesa?” Ara berbisik pelan tanpa ingin membangunkan Mahesa.
Ara melihat wajah Mahesa yang terlihat lelah. Ara tersenyum haru. Dia tidak menyangka Mahesa bisa sejauh ini. Ara menyibak rambut Mahesa.
“Apa yang harus aku lakukan padamu? Aku nggak tega membangunkanmu tapi di sini dingin. Aku harus gimana, dong?”
Ara meletakkan dagunya di lutut sambil terus memandangi Mahesa.
“Apa aku harus sayang sama kamu aja, Hes?”
“Ya dong.”
Ara terlonjak hingga jatuh terjengkang ke belakang. Mahesa tertawa terpingkal-pingkal. Ara yang kesal, melompat ke depan lalu menubruk Mahesa. Kedua tangan Ara menggelitik pinggang Mahesa.
“Ampun, ampun! Geli!”
“Siapa suruh kamu pura-pura tidur? Rasain amukan Ranger Pink, dasar Baja Hitam jeleeeek!!”
“Udah, cukup. Aku bisa ngompol!”
“Iyuuuh.”
Ara seketika menjauh. Dia menjatuhkan pantatnya di lantai sambil ngos-ngosan. Mereka berdua kini duduk berhadapan sambil tertawa. Tanpa sadar, air mata Ara mengalir di sela-sela tawanya.
“Wah, kamu kebanyakan ketawa sampai berair mata, Ra.”
Ara mengangguk-angguk cepat. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tawanya mereda tapi air matanya belum. Detik selanjutnya Ara malah sesenggukan.
“Loh? Kok malah nangis beneran, Ra?” Mahesa mendekati Ara. “Kenapa? Ada apa?”
“Nggak apa-apa. Nggak ada apa-apa.” jawab Ara sambil sibuk menyeka pipinya.
“Bohong. Pasti terjadi sesuatu.”
“Aku terharu karena kamu bisa sampai sini, padahal aku sengaja menghilang dari kamu dan semua orang. Aku pengen selamanya sembunyi dan nggak pengen ketemu laki-laki lagi, tapi kamu…kamu bisa menemukan aku, Mahesaaa! Kenapa kamu baik banget sama aku kayak gini, siih…??”