(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 25
Killian menggelengkan kepalanya tak percaya. Pria yang pernah menghinanya ternyata adalah ayahnya. Tidak mungkin, ia sama sekali tidak mempercayainya.
"Ma, tidak mungkin. Mana ada seorang ayah menghina anaknya."
Damian pun menatap tajam, ucapan sopan santun itu masih membekas. "Mama aku tidak mau punya Papa seperti dia. Pokoknya aku tidak mau."
Dada Kennet terasa sesak, rasanya nyilu dan sakit. Ia berdiri dan berjongkok di depan Damian.
"Jangan menyentuh ku. Kalau kau memang Papa ku dari dulu kau sudah mencari kita. Kau tidak mungkin menghina kita. Mana ada seorang Papa menghina anaknya. Pokoknya aku tidak mau punya Papa seperti mu." Damian berlari dan masuk ke dalam kamarnya.
Si kembar empat pun mengikuti Damian. Mereka sama sekali tidak ingin berlama-lama di dalam ruangan itu. Livia tak bisa berbuat apa-apa, jika anak-anak sudah tidak mau ia tidak mungkin memaksanya menerima Kennet.
"Kennet aku tidak tau bahwa kau pernah menghina anak-anak mu." Livia mengusap air matanya. Hati ibu mana yang tidak sakit saat anak-anaknya di hina. "Kenapa kau lakukan itu? Aku yakin kau menghina mereka karena kau sudah tau siapa mereka tapi, yang membuat mu tidak tau adalah mereka anak mu."
Kennet berdiri, dia meraih lengan Livia. "Livia aku mohon, aku minta maaf. Sungguh kebodohan itu aku melakukannya, ya aku melakukan kesalahan yang bodoh. Maafkan aku, tolong Livia. Apa yang harus aku lakukan agar kamu dan anak-anak mau memaafkan aku?" tanya Kennet. Ucapannya memang rancau ia tidak tau cara meluruskan ucapannya tersebut.
Livia menarik lengannya. "Tidak ada perlu kau lakukan. Kau pergi saja, aku yakin kau sudah paham. Orang sopan santi dan pintar seperti mu tidak mungkin tidak mengerti apa maksud ku."
Kennet menunduk hingga air matanya jatuh ke lantai. Dia berbalik dan duduk di kursi belakang. Semuanya kacau, kenapa ia begitu bodoh. Membenci orang yang pernah mengisi hari-harinya. "Maafkan aku Livia. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?" Pikirannya saat ini begitu buntu sehingga ia tidak bisa memikirkannya.
"Ya Tuhan tolong aku."
Bernad menoleh, dia menatap wajah bosnya yang sangat kacau. "Jangan menyerah, tuan tidak mungkin menyerah secepat itu. Kalau di pikir kesalahan memang kesalahan tuan tapi, aku percaya anak-anak pasti menerima tuan. Bagaimana kalau kita membeli beberapa mainan untuk anak-anak?"
"Iya mainan, beli semua mainan." Kennet mengusap air matanya dengan lengannya. Katakan saja dia seperti anak kecil saat ini. Ketakutan begitu nyata. "Erland, aku harus menemui Erland.
Bernad menyalakan mobilnya memutar balik ke rumah Erland. Kennet turun dan meneriaki nama Erland membuat beberapa art ketakutan.
"Erland! Erland tolong katakan sesuatu! Anak-anak membenci ku." Dia mengguncang kedua lengan Erland. "Aku mohon tolong katakan sesuatu."
Tubuh Kennet merosot, dia seakan menyembah Erland agar mau membantunya.
Anita merasa iba, dia menghubungi Livia dan menanyakan kejadiannya. Livia pun mengatakan semuanya dan ternyata sikap anak-anak yang membuat Kennet terguncang.
"Kennet kita bicarakan baik-baik. Berikan waktu pada anak-anak untuk menerima. Kita akan membantu mu menasehati mereka dan merayu mereka tapi, tentunya tidak mudah dan butuh waktu." Ia tau Kennet menyesal, mulut pedasnya itu tidak berulah. Ingin sekali ia tertawa jika mengingat ucapannya yang tajam bagaikan belati itu. Namun saat ini ia merasa kasihan melihat Kennet yang mengemis-ngemis.
....
Livia menatap anak-anaknya. Mereka duduk di atas kasur ada Khanza, Damian dan Charles sedangkan di lantai bawah dengan berasalan karpet ada Caesar dan Killian. Si kembar duduk terdiam dan mereka tak saling mengeluarkan suara.
"Sayang." Livia duduk di atas ranjang.
"Ma." Khanza lebih dulu memeluk Livia kemudian di ikuti oleh lainnya.
"Mama, kita sudah punya Mama dan kita tidak membutuhkan ayah." Khanza mencium Livia. Seolah anak itu sedang merayu bahwa mereka juga nyaman tanpa seorang ayah.
Livia mengusap kepala Khanza. "Sayang, pantas Papa marah karena saat itu kalian di sangka bukan anaknya. Kan Papa punya penyakit."
"Gak deh Ma punya Papa begitu, dia galak. Aku takut, aku mau bersama Mama saja." Sahut Charles.
"Bagaimana pun juga kalian tidak bisa menghilangkan status bahwa dia ayah kalian."
"Hem mmm ..." Charles berderhem. "Biarkan saja Ma."
"Iya Ma, usir saja kalau datang kesini." Imbuh Damian dan Killian bersamaan.
"Iya kita berlima, kalau datang kesini lagi usir saja. Kita mana mau punya Papa yang begitu." Khanza bersikap tegas.
Livia tidak memahami pikiran anak-anaknya. Bukankah seorang anak akan memaafkan ayahnya, bahkan ingin menemuinya dan bersamanya, tapi anak-anaknya seolah berbeda mereka seperti memiliki rasa benci yang kuat. Padahal ia tidak menyuruh anak-anaknya membenci Kennet.
"Ma gak suka Papa kan?" tanya Caesar.
Livia menggelengkan kepalanya. Dia sudah nyaman di sini walaupun rasa sakit itu masih ada. "Tidak sayang."
"Syukurlah, kita tidak mau Mama sedih." Caesar memeluk erat Livia.
....
Anita dan Erland serta Bernad duduk di ruang tamu. Kennet tidak mau membuka pintu kamarnya dan dia seharian tidak makan.
"Bagaimana ini? pikirannya ku tak mampu memberikan solusi." Erland memijat pelipisnya. Kehidupan Kennet benar-benar menguras pikiran. Biasanya kehidupannya begitu mulus.
"Iya kita harus bagaimana? Masalahnya ini anaknya, mereka itu anak-anak cerdas. Cepat menanggapi ucapan orang tua. Mereka pasti tau maksud kita." Seru Anita. "Salahnya sendiri punya anak yang cerdas." Gerutunya.
Bernad mengambil ponselnya di dalam sakunya. Ada beberapa panggilan dari Kalisa. Ini semua pasti menambah beban pikirannya. "Bagaimana ini Tuan? Nyonya Kalisa menghubungi ku. Aku harus mengatakan apa? Apa perlu aku katakan sejujurnya."
Erland mendekik tajam, dia berkata, "Kau mau mati? Kalau kau mati jangan ajak-ajak kita. Kau kira Kennet tak mampu membuat kepala mu melayang."
"Pikirkan sendiri kau mau mau memberikan alasan apa." Anita bersuara.
Sementara itu, Kennet membuka galeri ponselnya. Ia masih menyimpan foto Livia pada saat wanita itu tidur. Ia diam-diam memotretnya karena terlihat menggemaskan.
"Maafkan aku Livia. Aku menyesal, aku menyesal, kenapa aku tidak menyadarinya sebelumnya. Kenapa aku selalu menolak kebenaran. Seharusnya aku tidak menyuruh mu pergi, aku seharusnya tidak menceraikan mu." Dia selalu berusaha menolak keras ingatannya tentang Livia. Bahkan ia masih ingat Livia sendiri yang mengantarakannya untuk menikah dengan Kalisa. "Aku sudah menyakiti mu terlalu dalam sampai saat ini kau masih baik mau mempertemukan ku dengan anak-anak ku dan semuanya sudah terlambat."
Hiks
"Aku harus apa agar kalian memaafkan aku?"