Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Malam Rindu di Bawah Langit Istana
Beberapa hari setelah perjamuan Permaisuri, Paviliun Seo-Rin tampak lengang dan sunyi. Aluna baru saja selesai berdoa di depan altar kecil di kamarnya, memohon agar diberi kekuatan dan perlindungan untuk melindungi anak yang dikandungnya. Sejak perjamuan itu, pikirannya terus dibayang-bayangi oleh wajah Permaisuri yang menyimpan ancaman tersembunyi dan oleh kedatangan Joo Min-Seok, bangsawan muda yang tampaknya memiliki agenda tersendiri. Langkah-langkah berikutnya harus sangat hati-hati.
Di tengah lamunannya yang dalam, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu paviliunnya. Aluna mengangkat kepala, sedikit terkejut, mengira mungkin itu hanya Jin-Ah yang datang membawa kabar. Namun, langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamar utamanya, disusul suara lembut yang dikenalnya dengan baik.
“Seo-Rin, bolehkah aku masuk?”
Suara Pangeran Ji-Woon terdengar dalam nada yang dalam namun penuh kelembutan, membuat hati Aluna berdebar tak karuan. Tak pernah ia menyangka bahwa Ji-Woon akan datang mengunjunginya malam ini, apalagi setelah beberapa hari terakhir ia sibuk dengan tuntutan keluarga istana untuk memperhatikan Permaisuri.
"Yang Mulia …" Aluna terkejut, namun segera bangkit untuk membuka pintu dan menundukkan kepala memberi hormat. Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih banyak, Ji-Woon telah melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakang mereka.
Tanpa sepatah kata, Ji-Woon mendekatinya, lalu meraih tangan Aluna dan menggenggamnya erat. Tatapan hangat dari Ji-Woon menyentuh hatinya, dan Aluna melihat bahwa ada kerinduan mendalam dalam mata pria itu—bukan hanya pada dirinya, tetapi juga pada anak yang sedang tumbuh dalam kandungannya.
“Maafkan aku karena lama tak mengunjungimu,” bisik Ji-Woon, suaranya penuh kejujuran. “Hari-hari ini terasa berat. Banyak hal yang ingin kukatakan padamu, tapi waktu seolah tak memberiku kesempatan.”
Aluna menatapnya dengan penuh pengertian, merasakan betapa besarnya tekanan yang dihadapi oleh Ji-Woon. Ia tahu, di balik sosok tegar dan berwibawa itu, Ji-Woon tetaplah manusia yang memiliki kerinduan, keraguan, dan ketakutan.
“Aku mengerti, Yang Mulia. Semua ini pasti tidak mudah untukmu,” jawab Aluna lembut. “Tapi aku selalu di sini, menunggumu. Bukan hanya aku, tapi juga anak kita … ”
Perkataan Aluna membuat Ji-Woon semakin erat menggenggam tangannya. Ia menarik Aluna ke dalam pelukannya, membiarkan kehangatan itu meresap di antara mereka berdua. Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan dan intrik istana, momen sederhana ini terasa begitu langka dan berharga. Ji-Woon menyentuh perut Aluna yang kini telah mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Senyum kecil terukir di wajahnya, dan Aluna bisa melihat kebahagiaan yang tulus dalam tatapannya.
“Anak kita … dia sudah mulai tumbuh,” Ji-Woon berbisik dengan suara penuh kasih. “Aku ingin selalu berada di sampingmu, di samping kalian berdua. Tapi tanggung jawab ini terus membebani.”
Aluna tersenyum lembut, lalu menyentuh tangan Ji-Woon yang ada di perutnya. “Yang Mulia, aku memahami posisimu. Hamba hanya meminta satu hal—jangan biarkan siapa pun memisahkan kita. Selama kau di sisiku, aku akan berjuang melawan siapa pun yang mencoba merenggut kebahagiaan ini dari kita.”
Ji-Woon menghela napas panjang, seolah berusaha menenangkan perasaannya yang kalut. Di dalam hatinya, ada ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun. Kehadiran Aluna dan anak yang dikandungnya adalah satu-satunya cahaya yang ia miliki di tengah kegelapan ambisi keluarga istana. Namun, ia juga tahu bahwa Permaisuri tidak akan tinggal diam melihat Seo-Rin membawa pewaris yang mungkin akan mengancam kedudukan putranya.
Malam itu, Ji-Woon memutuskan untuk bermalam di paviliun Seo-Rin. Mereka menghabiskan malam bersama, berbicara dari hati ke hati tentang harapan, ketakutan, dan impian masa depan. Ji-Woon membiarkan dirinya sejenak melupakan segala beban yang ada, menikmati setiap momen kebersamaan dengan Aluna. Ia merasakan kedamaian yang hanya bisa ia temukan ketika berada di dekatnya.
*
Ketika fajar mulai menyingsing, Aluna terbangun di samping Ji-Woon yang masih tertidur lelap di sampingnya. Ia menyadari bahwa saat-saat seperti ini tidak akan selamanya ada. Pertarungan di istana baru saja dimulai, dan ia tidak bisa terus berharap bahwa kebahagiaan mereka akan tetap aman tanpa perlawanan. Aluna menatap wajah Ji-Woon yang damai dalam tidurnya, lalu dalam hatinya ia berjanji untuk melakukan apa pun demi melindungi keluarganya.
Pagi itu, sebelum Ji-Woon terbangun, Aluna menyelimutinya dengan lembut dan keluar menuju taman kecil di paviliunnya. Jin-Ah yang telah bangun lebih dulu langsung menghampirinya.
“Nona, bagaimana kabar Anda dan Pangeran Ji-Woon tadi malam?” tanya Jin-Ah dengan nada hati-hati, namun terlihat jelas bahwa ia penasaran.
Aluna tersenyum tipis. “Ia masih peduli pada kita, Jin-Ah. Tapi aku tahu, di luar sana, ancaman yang lebih besar sedang menunggu. Aku harus lebih waspada dari sebelumnya.”
Jin-Ah mengangguk penuh kekhawatiran. “Hamba akan selalu di sisi Anda, Nona. Hamba tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Anda dan calon pewaris ini.”
Namun, sebelum percakapan mereka selesai, seorang pelayan istana tiba membawa pesan dari pihak Permaisuri. Surat itu ditujukan pada Seo-Rin, meminta kehadirannya dalam rapat istana yang akan diadakan pada hari itu juga. Aluna merasakan firasat buruk yang semakin kuat. Ini mungkin adalah langkah pertama Permaisuri dalam menguji kekuatannya.
“Sepertinya kita akan menghadapi lebih banyak tantangan, Jin-Ah,” ucap Aluna dengan suara yang dipenuhi tekad. “Permaisuri Kang-Ji tidak akan membiarkan aku dan anak ini tetap aman begitu saja.”
Malam penuh kebahagiaan dengan Ji-Woon itu kini terasa seperti oase singkat di tengah gurun penuh bahaya yang harus ia lalui. Namun, Aluna telah bersiap. Pertemuan ini hanya menjadi salah satu dari sekian banyak tantangan yang akan ia hadapi. Dengan senyum tegar di wajahnya, Aluna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melawan—untuk Ji-Woon, untuk anaknya, dan untuk cinta yang tak tergantikan.
Di balik setiap langkah Aluna, ada api yang tak akan pernah padam. Intrik demi intrik mungkin akan terus berdatangan, namun Aluna yakin, ia bukan lagi Seo-Rin yang sama seperti dalam naskah novel yang pernah ia tulis. Ia adalah seorang wanita yang siap menantang takdir, demi masa depan yang telah ia pilih sendiri.
Aluna tidak pernah tahu berapa lama ia akan tinggal dalam alur novel ini. Mungkin hanya sementara, atau mungkin hingga akhir cerita. Namun, satu hal yang pasti: ia akan meninggalkan jejak yang luar biasa dan mengguncang dunia yang pernah ia ciptakan sendiri.
Di dalam batinnya, tersimpan keyakinan kuat sebagai seorang penulis ulung. Aluna percaya, sekalipun takdir dalam kisah ini telah ditulis, ia bisa mengubahnya. Setiap kata yang ia pilih, setiap langkah yang ia ambil, akan menjadi jalan untuk membentuk akhir cerita yang megah, penuh kejutan, dan menakjubkan.
“Jika aku bisa mengubah takdir ini,” gumamnya pelan, “aku ingin anakku kelak mengenal seorang ibu yang berani melawan dunia demi masa depannya.”
Jin-Ah yang tidak terlalu paham dengan gumaman Aluna, hanya terdiam ditempatnya berdiri.
Bersambung >>>
𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐥𝐮𝐧𝐚 𝐤𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐨 𝐫𝐢𝐧, 𝐣𝐝𝐢 𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐞𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐠𝐮𝐬 , 𝐭𝐭𝐞𝐩 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭