✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wife ꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Kekacauan di Kantor dan Rencana yang Berbahaya
Pagi itu di kantor, suasana tampak biasa saja. Pegawai lalu-lalang dengan aktivitas mereka, namun tak dapat disangkal bahwa bisikan gosip seputar Aruna masih mengisi udara. Bisik-bisik mulai terdengar lagi, membicarakan tentang Aruna yang sedang menjalin hubungan dengan Nero, bos mereka yang berkarisma. Perbincangan tentang gadis sederhana seperti Aruna yang berhasil memikat hati Nero membuat banyak orang, terutama wanita di kantor itu, merasa iri.
Bianca, salah satu pegawai yang paling dekat dengan Nero, adalah yang paling tidak suka dengan kabar ini. Pagi itu, dengan tatapan kesal, ia terus memikirkan bagaimana seorang Aruna bisa mendapat perhatian dari Nero.
Saat pintu lift terbuka dan Nero melangkah masuk, seluruh kantor terdiam. Semua pandangan langsung tertuju padanya. Sikap tenangnya saat berjalan melewati ruangan dengan jas hitam yang rapi, menunjukkan otoritasnya sebagai pemimpin di kantor tersebut. Namun, di balik tatapan kagum dan hormat, ada tatapan iri dari beberapa pegawai, terutama Bianca.
Bianca segera mendekati Nero, dan masuk ke ruangan Nero. Nero melirik Bianca, "Kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu?" hanya Nero menatap tidak suka.
Tetapi, Bianca tetap berjalan dan mendekati Nero. "Nero, aku ingin bertanya sesuatu," ucapnya penuh rasa ingin tahu. "Apa benar kau akan menikahi gadis seperti Aruna?"
Nero hanya menatap Bianca dengan tajam, tanpa berkata sepatah kata pun. Dia tahu pertanyaan itu provokatif, tapi dia tidak ingin terjebak dalam gosip kantor. "Bianca," Nero akhirnya berbicara tegas, "Fokus pada pekerjaanmu."
Bianca yang tidak puas dengan jawaban dingin Nero, tiba-tiba saja melingkarkan tangannya di pinggang Nero dan memeluknya dari belakang. "Nero, aku tidak bisa terima kalau kau harus bersama Aruna. Dia tidak pantas untukmu."
Nero mendadak kaku, dia tidak menyangka Bianca akan bertindak sejauh ini di tempat kerja. Sebelum dia bisa menepis tangan Bianca, terdengar suara ketuk pintu.
Namun Bianca memeluk lebih erat lagi, sampai akhirnya Aruna masuk dan dia pura-pura batuk dari pintu.
"Ehmm..." Aruna, yang baru saja masuk untuk mengantarkan berkas kepada Nero, langsung melihat pemandangan itu. Dengan tenang namun penuh ketegasan, Aruna berkata, "Bianca, saya harap Anda bisa bersikap profesional di kantor. Nero sudah punya seseorang yang memiliki hati dan perasaannya."
Mendengar ucapan Aruna, Bianca melepaskan pelukannya dengan kasar dan menatap Aruna dengan penuh kebencian. "Kau berani bicara seperti itu kepadaku?" Bianca hampir berteriak.
"Kenapa tidak? Bukankah kita semua di sini harus bersikap profesional?" jawab Aruna tenang.
Bianca semakin marah, wajahnya memerah. Dia menatap Nero seolah menuntut pembelaan, tapi Nero hanya diam dan memberikan tatapan tajam kepada Bianca, memberi sinyal bahwa dia harus pergi. Dengan kemarahan yang meluap, Bianca berbalik dan keluar dari ruangan, dengan hati yang terbakar oleh kecemburuan.
Tak lama setelah itu, Bianca menemui Amara, adik tiri Nero, yang kebetulan sedang berkunjung ke kantor untuk menemui kakaknya. Saat melihat wajah marah Bianca, Amara penasaran.
"Ada apa? Kau terlihat kesal sekali," tanya Amara dengan penasaran.
Bianca dengan cepat menceritakan insiden tadi, menekankan bagaimana Aruna dengan berani menegurnya di hadapan Nero. "Dia membuatku terlihat bodoh di depan Nero! Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja."
Mendengar cerita Bianca, Amara pun terbakar amarah. "Aruna memang selalu bersikap seolah dia yang paling benar," gumam Amara kesal. Dengan emosi yang tidak bisa ditahan lagi, Amara berjalan cepat menuju meja Aruna.
Tanpa berkata apa-apa, Amara langsung berjalan mencari Amara, dan di ruangan kerja para karyawan Amara menarik tangan Aruna dengan kasar, menyeretnya ke tengah kantor.
"Hey! Kau... harus meminta maaf kepada Bianca sekarang juga!"
Aruna yang terkejut oleh tindakan Amara, segera menepis tangan Amara dari lengannya. "Apa-apaan ini? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika ada yang perlu meminta maaf, itu bukan aku."
Amara tidak bisa lagi menahan emosinya. Mereka berdua mulai saling beradu kata di tengah kantor, membuat semua orang memperhatikan pertengkaran tersebut. Suara mereka semakin keras, menarik perhatian Nero yang mendengar keributan dari ruangannya. Dengan cepat, Nero keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri mereka.
"Amara! Aruna! Hentikan!" seru Nero dengan suara tegas. "Ikut aku ke ruanganku, sekarang!" perintahnya, mengarahkan mereka berdua ke ruangannya.
Setelah mereka bertiga berada di dalam ruangan, Nero duduk dengan tenang, sementara Amara dan Aruna berdiri saling melempar tatapan tajam.
"Amara, apa yang kau lakukan di sini? Ini kantor, bukan tempat untuk bertengkar!" Nero berkata dengan nada yang jelas menunjukkan kemarahannya.
"Aku hanya tidak tahan lagi melihat Aruna bersikap sok di sini! Dia membuat Bianca merasa terhina!" jawab Amara dengan nada protes.
Nero menatap Bianca yang berdiri di pintu. "Bianca, kau juga harus belajar menahan diri. Ini kantor, dan kau harus bersikap profesional."
Bianca menunduk, merasa malu, tapi masih dengan perasaan tidak puas di hatinya.
"Amara, kau adikku, tapi aku tidak akan mentolerir tindakan seperti ini. Aruna adalah orang yang aku pilih, dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Berhentilah mencampuri urusanku dan jangan pernah lagi menjodohkan aku dengan siapa pun!" Nero menegaskan dengan nada yang tidak bisa ditentang.
Amara menatap Nero dengan tatapan terluka. "Kau lebih memilih dia daripada keluargamu?"
"Bukan begitu," jawab Nero dengan sabar. "Aku memilih seseorang yang membuatku bahagia. Kau mungkin tidak setuju, tapi ini hidupku, bukan hidupmu."
Amara tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan hati yang terluka, dia keluar dari ruangan bersama Bianca. Setelah kepergian mereka, Nero menatap Aruna dengan lembut.
"Maafkan mereka, Aruna," katanya. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu."
Aruna tersenyum tipis. "Aku tidak masalah, Nero. Selama kita bersama, aku bisa melewati ini."
Malam itu, di luar kantor, Amara menelepon Aron, adik bungsu mereka yang memiliki ketidaksukaan yang sama terhadap Aruna. Dengan nada serius, Amara berkata, "Kita harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa lagi melihat Nero bersama gadis itu. Mungkin satu-satunya cara adalah... melenyapkannya."
Aron yang mendengarkan rencana Amara terdiam sejenak. "Apa maksudmu? Kau serius?"
Amara menjelaskan rencananya untuk menculik Aruna setelah dia pulang kantor. Aron yang biasanya selalu mendukung ide-ide gila Amara, kali ini tampak ragu. Pikiran tentang Aruna yang menyelamatkannya malam itu kembali muncul di kepalanya.
"Amara... aku juga memikirkan hal itu kemarin tapi..." kata Aron akhirnya. "Aruna... dia pernah menyelamatkan hidupku. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikan itu."
Amara mendengus. "Kau mau jadi lemah karena rasa terima kasih? Ini tentang keluarga kita. Jika dia terus bersama Nero, kita akan kehilangan segalanya."
Aron terdiam, pikirannya bertarung antara dendam dan rasa hutang budi. Tapi bayangan Aruna yang menolongnya malam itu, saat dia hampir kehilangan nyawanya, terlalu kuat untuk diabaikan. Dia menghela napas panjang.
"Aku tidak yakin bisa melakukannya, Amara," jawab Aron pelan. "Aku tidak akan membiarkan kita melakukan ini."
Amara marah besar. "Kau pengecut, Aron! Aku akan melakukannya sendiri kalau kau tidak mau ikut!"
"Baik lah baik lah, kita bisa bicarakan ini lagi" kata Aron.
Aron memutuskan panggilan itu, meskipun dia masih tidak suka jika Aruna menikah dengan kakaknya, tapi kini dia merasa bingung harus melakukan apa?
kamu harus coba seblak sama cilok
Bibi doakan Dara biar temu jodoh juga