Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 5 ~ Kepalamu
Istilah tamu adalah raja memang sering diucapkan oleh para senior dan petinggi hotel. Agar pelayanan kepada tamu semaksimal dan seefektif mungkin. Apalagi pendapatan hotel tentu saja dari tamu atau pengunjung. Namun, raja yang kali ini berhadapan dengan Dara termasuk kategori menyebalkan. Meskipun ia pernah menghadapi yang lebih menyebalkan dari ini.
Ketampanan pria itu lumayan mengurangi kadar menyebalkannya karena mulut pedas yang baru saja mengeluarkan ejekan untuk Dara.
“Hah, lihat saja. Dia malah melamun.”
“Mbak," tegur petugas housekeeping sambil menyenggol tangan Dara.
“Eh, maaf tuan ….”
“Pandu. Kamu ingat baik-baik wajah dan namaku karena aku sering menginap di sini,” ujar pria bernama Pandu yang saat ini bersedekap.
Dara menarik nafas lalu kembali tersenyum. “Mohon maaf tuan Pandu, ada yang bisa saya bantu.”
“Apa kamu tidak cari informasi dulu sebelum ke sini? Apa tidak ada yang melaporkan kesalahan apa yang dilakukan bawahanmu ini,” ujar Pandu lagi.
Tentu saja ucapan Pandu kembali membuat Dara tercengang. Kalau tadi terpukau karena ketampanan pria itu, meskipun lidahnya setajam silet. Yang barusan dikatakan Pandu ada benarnya, prosedurnya memang Dara harus cari tahu dulu insiden atau masalah yang terjadi.
“Apa tidak ada petugas yang menyampaikan karena aku sudah mengatakan keluhanku,” ujar Pandu.
Dara menoleh ke samping dan saling tatap dengan petugas di sampingnya, seakan mengatakan “kekacauan apa yang sudah kamu lakukan?”
“Saya salah masuk kamar, seharusnya saya membersihkan kamar sebelah dan tadi menumpahkan sabun membuat tuan ini terpeleset,” jelas Reni lalu menunduk dan mengatakan maaf.
Ingin rasanya Dara berteriak dan mengumpat. Bagaimana bisa Reni bersikap ceroboh, padahal wanita itu termasuk senior. Bahkan ia sudah dengan hati-hati memilih petugas untuk bekerja di lantai dan area tertentu, salah satunya lantai penthouse dan suite room.
“Reni, apa kamu sudah gila,” ujar Dara lirih dan menekan suara nya.
“Maaf Mbak.”
“Jadi, apa solusi kamu? Aku tidak mendapatkan kamar yang aku inginkan, ditambah lagi petugas kamu yang ceroboh dan bod0h ini.”
“Sekali lagi kami mohon maaf, tapi untuk kamar tertentu sesuai keinginan harus booking dan sudah pasti tuan Pandu tahu prosedur untuk hal ini.”
“Untuk apa booking, aku memang menempati kamar 2805 setiap weekend dan selama aku di berada di Jakarta. Sepertinya FO kalian orang baru sampai tidak tahu tentang ini. Bisa dikatakan kamar itu sudah menjadi tempat tinggalku.”
Dara dan Reni kembali saling tatap mendengar penuturan Pandu. Apa kamar suite room yang dimaksud Pandu kontrakan yang bisa disewa bulanan atau ruko yang bisa disewa tahunan. Sedangkan harga per malamnya saja hampir dua juta rupiah. Kalau memang ingin tinggal selamanya kenapa tidak membeli rumah atau apartemen saja.
“Dasar amatir,” ejek Pandu sambil tersenyum sinis.
Amatir. Dara disebut amatir, sedangkan Leo -- atasannya begitu mengandalkan dirinya untuk urusan housekeeper di gedung ini dan sekarang pria bernama Pandu ini menyebutnya amatir.
“Sebentar Tuan , sepertinya ada salah paham di sini,” ujar Dara mencoba tetap sabar, menahan emosi dan terus tersenyum.
“Jangan tersenyum, kamu bukan berada di front office, tapi sedang menyelesaikan masalah.”
“Memang wajah saya begini, murah senyum dan sudah pasti cantik.”
“Hah, yang benar saja.”
Reni menggaruk kepalanya melihat Dara dan Pandu karena ada aroma-aroma perseteruan. Berharap hal itu tidak terjadi, karena bisa-bisa dirinya kena skor bahkan dipecat sebagai sumber masalah.
“Oke, Tuan Pandu masalah kamar 2805 jika benar anda sudah booking akan kami cek kembali untuk memastikan.”
“Aku tidak perlu booking.”
“Hah?”
Ini orang minta di gaplok, kekeh bilang salah kamar tapi nggak pernah booking. Dia mabuk apa tidak waras, tentu saja hal itu hanya bisa diucapkan dalam batinnya.
“Aku tidak perlu booking, karena kamar itu sudah menjadi milikku.”
“Hm, begini saja. mungkin Tuan Pandu sudah banyak pikiran atau apalah itu. Jadi merasa kamar 2805 adalah milik pribadi, tapi kami mohon maaf yang jelas anda harus melakukan booking jika menginginkan kamar tersebut dan ….”
“Mana ponselku, aku harus hubungi Pak David,” ujar Pandu lalu berbalik dan mencari ponselnya.
“Tunggu, maksudnya Pak David siapa ya?” tanya Dara memastikan, berharap yang dimaksud bukan David general manager hotel. Berurusan dengan Leo atasannya langsung, cukup membuatnya harus mengurut dada apalagi kalau berhubungan dengan GM Hotel.
“Menurutmu?” Pandu bertanya balik dengan ponsel sudah berada di tangannya. “Karena karyawan tidak kompeten seperti kalian harus mendapatkan pelatihan dan mutasi saja.”
Dara mendengus kesal, sudah cukup sabar dia menghadapi Pandu. Meskipun awalnya sempat ter Pandu-pandu karena penampilan pria itu bahkan dada dan bahu kokohnya. Ditambah masalah keluarga yang dihadapi, tentu saja emosinya seakan tidak bisa terbendung.
“Hei, apa masalahmu sampai harus menghubungi GM. Urusan salah kamar sudah dapat ganti yang seimbang, lalu anda terpeleset tidak perlu khawatir kami akan tanggung jawab. Di lantai dua ada pusat kesehatan, kalau perlu saja akan beri rekomendasi untuk melakukan rontgen memastikan tidak ada tulang yang cedera apalagi patah stau CT scan untuk melihat apakah otak anda bergeser atau tidak,” tutur Dara dengan wajah serius.
“Mbak Dara,” bisik Reni sambil memeluk lengan Dara. “Jangan begini, kita bisa dipecat.”
Pandu terkekeh lalu menatap sinis pada Dara.
“Kenapa tidak anda akui saja bahwa lantai ini milik anda, jangan hanya satu kamar. Mungkin anda memang sultan, yang hanya tau menikmati harta keluarga. Bersenang-senang lalu tidur di hotel.”
“Apa aku tidak salah dengar?” tanya Pandu.
“Oh tentu saja tidak. Anak sultan yang tahunya menghabiskan harta orang tua. Anda boleh saja membayang kamar ini, tapi bukan berarti bisa menghina orang lain seenak mulut anda.”
“Mbak dara.” Reni merengek berusaha menghentikan Dara yang mulai kalap. Bahkan sudah ada petugas lain yang datang dan tamu kamar di depan yang terganggu dengan kejadian itu.
Pandu hanya bersedekap dan memasang wajah datar mendengarkan kemarahan Dara. Akhirnya Dara selesai mengoceh dengan nafas terengah.
“Sudah selesai?” tanya Pandu. “Sepertinya kamu sedang stress, mungkin urusan rumah tangga. suami yang ….”
“Aku belum menikah,” sela Dara sambil berteriak dan kembali ditegur oleh Reni juga kedua petugas lain.
“Ah, kalau begitu. Kekasihmu selingkuh,” ujar Pandu.
Dara bungkam lalu memutar bola matanya ke arah lain, mengingat persoalan hidupnya. Pandu menatap dan melihat kebenaran akan hal yang diucapkannya itu lalu terkekeh.
“Ternyata benar ya. Pacarmu selingkuh dan kamu tertekan."
“Benar kepalamu,” ujar Dara lalu …
Bugh.
“Mbak Dara.”
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????