Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian tak terduga
Dengan tak tahu malunya Kenzie meminta Ardi untuk tidur. "Sedikit menjadi licik tidak apa-apa karena aku sudah mengantuk," batin Kenzie, karena ia yakin jika berhasil.
Sedangkan Ardi mengangkat kedua tangannya. Bahkan baru saja keluar dari kamar mandi, tetapi permintaan Kenzie begitu konyol.
"Jangan protes, kita bukan lagi remaja. Kamu juga sudah berpakaian dan segera naik karena aku ingin secepatnya tidur!" tukas Kenzie tanpa malu.
Ardi yang semakin gelisah, merasa jika tingkah Kenzie sedari tadi begitu aneh. Dari yang tak pernah mau tidur bersama? Mengobrol bahkan memasak, tetapi seharian ini sikapnya cukup membuatnya terus memikirkan akan perubahan tersebut.
"Kenapa denganmu? Apa kamu juga sudah salah minum obat," ujar Ardi seraya ingin meraih alat bantu, tetapi dicekal oleh Kenzie.
"Jangan memakainya karena kita akan segera tidur," sahut Kenzie.
"Lebih baik memakainya dari pada kamu terus menggunakan tanganmu untuk bicara." Jawab Ardi.
"Tidak masalah, aku sudah mengantuk. Cepat naik dan jangan menjadi seolah-olah kamu adalah seorang istri yang baru saja menikah." Kenzie dengan mulutnya yang ceplas-ceplos langsung berbicara.
Lelah jika harus berdebat, akhirnya Ardi pun naik ke ranjang dan segera tidur. Dari yang sebelumnya tidur di bawah, kini tiba-tiba saja diminta untuk naik ranjang. Bukankah membuatnya sedikit aneh? Itulah yang ada di dalam hati Ardi.
Kenzie pun menghadap ke arah Ardi, bau wangi sabun membuatnya begitu candu. "Jangan pernah mengganti sabun ini dengan yang lain," ucap Kenzie.
Seakan detak jantung Ardi terasa mirip dengan pacuan kuda. Bagaimana tidak, karena Kenzie menenggelamkan wajahnya di d4da bidangnya.
"Ada apa dengannya? Bisa-bisanya dari tadi terus bersikap agresif," batin Ardi yang tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Keesokan paginya.
Ardi benar-benar tak berkutik, sudah semalaman Kenzie tidak mengganti posisinya. "Sampai kapan kamu membuatku kram di lenganku," lirih Ardi ketika mata wanita tersebut masih terpejam.
Terus menatap hingga orang tersebut akhirnya membuka mata juga. "Ar, sejak kapan kamu menatapku?" tanya Kenzie dengan bingung.
Ardi tidak menjawab, melainkan meminta Kenzie mengambilkan alat bantunya yang berada di nakas samping istrinya.
Setelahnya.
"Sepertinya tidurmu begitu nyenyak hingga membuat orang dalam kesakitan," ledek Ardi.
"Bahkan aku tidak peduli dan yang terpenting aku bisa nyenyak." Jawab Kenzie.
Tiba-tiba saja, dering telepon milik Ardi bunyi. Ia pun meminta Kenzie untuk mengangkat karena wanita tersebut masih enggan untuk bangun. "Angkatlah, karena kamu masih tidak ingin bangun!" ujar Ardi.
"Dari Deva," jawab Kenzie.
"Terima, siapa tahu ada yang penting." Kata Ardi.
("Baiklah, aku akan menyampaikan padanya.") Jawab Kenzie dibalik telepon.
(Aku menunggunya.")
Setelah itu tombol off dimatikan dan sekarang barulah Kenzie bangun. "Deva memintamu datang ke bengkel karena ada sesuatu yang penting," ujar Kenzie menyampaikan pesan Deva.
"Aku akan berangkat!" timpal Ardi.
"Pergilah nanti setelah masak aku akan menemui di sana," balas Kenzie.
Ardi tersenyum, lalu tiba-tiba melayangkan sebuah kecupan hingga mata Kenzie tidak berkedip. "Apa aku sedang bermimpi," batin Kenzie.
"Auh ... sakit, sepertinya memang tidak." Cubitan yang terasa sakit, hingga membuat Kenzie mengusapnya dengan seulas senyum.
"Akhirnya aku berhasil membuatnya diam-diam jatuh cinta padaku," batin Kenzie dengan berjingkrak ria. Tidak ingin ketahuan itu sebabnya ia langsung menuju ke dapur.
Ardi yang sudah rapi dengan mengenakan jaket kulit, tidak lupa kacamata hitamnya semakin membuat dua kali lebih tampan. Melihat itu, Kenzie benar-benar terkesima. "Ar, kamu mau berangkat?" tanya Kenzie ketika keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi.
"Ehm ... Deva sudah menunggu," jawab Ardi dengan suara yang terlihat masih kaku.
"Makan dan minumlah! Kebetulan aku berangkat siang jadi bisa mengirim bekal untukmu nanti," ujar Kenzie.
"Ehm ... terima kasih, aku akan pergi sekarang." Tanpa ekspresi Ardi berkata. Untuk kedua kalinya di pagi ini ia memberikan kecupan di kening Kenzie.
"Ada dengannya? Kenapa terlihat seperti sesuatu sedang terjadi," gumamnya seraya menatap kepergian sang suami hingga tak terlihat.
Masih dengan pikiran yang kalut. Kenzie tidak bisa terus diam tanpa mencari tahu kenapa dengan sikap Ardi setelah dirinya menerima telepon dari Deva.
"Haruskah aku bertanya pada Deva," batinnya lagi yang semakin tidak tenang.
Di bengkel.
Mata Ardi membulat sempurna. Bahkan hal yang tak terduga bisa terjadi kepadanya kapan saja seperti saat ini. Dengan langkah tergesa-gesa serta tatapan berbeda dari biasanya kini bisa terlihat jelas.
Tepat, ketika Ardi memasuki garasi. Deva muncul dari dalam dengan wajah penuh kebingungan. Bahkan ia tidak menyangka dengan orang-orang tak berotak seenaknya menghancurkan usaha seseorang.
"Ar, akhirnya kamu datang!" ujar Deva.
"Urus ini untukku, karena mereka butuh sedikit pelajaran." Jawab Ardi tanpa memberitahu siapa dalang dibalik ini semua.
"Ar, bahkan aku belum bertanya pelakunya!" kata Deva dengan wajah penasaran.
"Orang yang selama ini menginginkan nyawaku," sahut Ardi.
"Benar-benar keterlaluan mereka!" pekik Deva karena tidak menyangka jika dalangnya ada orang yang selama ini dihormatinya meski kehadirannya tak pernah dianggap.
Benar, ketika Deva menghubungi Ardi. Bengkel sudah hancur bahkan serpihan kaca berserakan. Jikapun perampok rasanya tak masuk akal, CCTV sebelumnya dirusak. Itu mengapa Deva sedikit kesulitan untuk mencari dalang dibalik penyerangan tempat usaha mereka. Sayangnya, yang menerima panggilan tersebut bukanlah Ardi, jadi bagaimanapun juga. Ia tidak mungkin untuk mengatakan hingga pemilik bengkel sampai di tempat dan melihatnya sendiri.
"Lagi-lagi tentang harta. Mereka memang picik, demi ambisi rela menghancurkan anak dan cucunya sendiri." Dalam hati, Deva terus berceloteh. Merasa mereka benar-benar pantas mati untuk kali ini.
"Selama ini aku hanya diam, tapi mereka masih saja mengusikku. Haruskah aku memberi mereka pelajaran," ujar Ardi dengan wajah tegas ia berkata.
"Ar, sepertinya kamu memang harus melakukannya. Perusahaan mereka sedang kritis dan butuh suntikan dana. Manfaatkan kesempatan yang ada lalu tinggalkan tanpa kepastian, buat mereka menyesal kepadamu." Kedua tangan Deva terkepal sempurna, wajah yang sudah dipenuhi oleh dendam. Berharap semua itu terlaksana, agar mata semua orang bisa dibuka dengan lebar karena menyepelekan seseorang.
"Urus saja, kali ini aku akan menuruti setiap yang kamu perintahkan." Suara tegas Ardi, diiringi dengan langkah kakinya untuk masuk ke dalam.
"Dev, suruh seseorang untuk membersihkan bengkel. Kenzie siang nanti akan ke sini, jangan biarkan dia tahu karena hal itu membuatnya akan semakin tertantang dengan keluarga Surya!"
Deva mengangguk, bengkel sementara ditutup untuk perbaikan karena tempat mereka mencari rezeki benar-benar hancur tak berbentuk.
Sedangkan di tempat lain.
Seseorang dengan tawa yang meriah. Merayakan keberhasilan karena rencana pertama telah sukses.
"Surya, bagaimana?" tanya nenek Sari setelah kepergian bu Lidya di tengah-tengah mereka.
"Ibu tenang saja, semuanya sudah beres tinggal menunggu hasil akhirnya." Jawab pak Surya dengan senyum liciknya.
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...