Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada hati yang tak rela (23)
Kenzie, seraya meremas bajunya, saat ini dirinya berada di situasi yang benar-benar membingungkan. Di satu sisi ia tidak mau sampai harus berpisah dengan Ardi, tetapi di sisi lain ia juga tidak tahu cara memberitahu Leo akan statusnya sekarang. Merasa terjepit, beberapa kali melirik ke arah Ardi berharap lelaki tersebut memberinya ketengan walau sekadar menatapnya.
"Dia sudah memberiku kesempatan, tidak mungkin aku mengulangi kesalahan fatal lagi." Itulah yang sekarang dipikiran Kenzie karena tidak mau mau membuat kesalahan lagi.
Sedangkan Ardi usai bicara, langsung masuk ke dapur. Ia tahu siapa yang sekarang sedang menghubungi Kenzie, itu sebabnya dengan yakin mengatakan soal sebuah kesempatan, karena untuk Ardi sendiri tidak ingin terlibat dengan perasaan yang salah. Membuang energi dengan sia-sia tanpa ada balasan walau hanya sedikit.
Di dapur. Tampak wajah Kenzie sedang menahan sesuatu, tetapi ketika ingin mengungkapkan. Bibirnya terasa keluh seakan ada perekat yang membungkamnya. Ardi sedikit menyadari dan langsung menebak jika memang wanita itu memiliki sesuatu untuk dikatakan.
"Jika ada sesuatu yang kamu ingin sampaikan, katakanlah!" tukas Ardi tanpa menoleh ke arah Kenzie.
Akhirnya, dengan ragu-ragu wanita itu pun menepuk lengan Ardi, lalu menunjukkan sesuatu yang ada di tangannya. "Hanya sekadar ucapan terima kasih, lagi pula yang kubuat beli bukan uangku." Kata Kenzie dengan mengetik beberapa baris kata di ponselnya.
"Harga sepasang alat ini mahal, dari mana kamu mendapatkan uang itu?" Ardi bukannya langsung menerima, melainkan mempertanyakan harga dari alat bantu.
"Uangmu, yah. Uangmu yang aku gunakan untuk membelinya dan ini barang ini kudapatkan dari langgananmu!" balas Kenzie.
Ardi pun bergeming, merasa jika wanita tersebut benar-benar berubah. Entah sengaja atau tidak, tapi baginya kewaspadaan harus tetap ia jaga.
"Ar, bisakah kamu menerima." Kata Kenzie lagi.
Dengan posisi yang masih sama jika Ardi tetap mematung. Hingga tangan lembut Kenzie menyentuh daun telinganya dan sampailah terdengar deru napas diiringi oleh detak jantung tak beraturan.
"Jantungku, kenapa dengan jantungku." Kenzie berusaha sekuat tenaga menahan gejolak di hatinya dan kini ia pun baru menyadari akan perasaan itu.
"Selesai," ucap Kenzie dengan wajah selayaknya kepiting rebus.
"Apa kamu sudah bisa mendengar?" tanya Kenzie untuk memastikan alat tersebut berfungsi dengan baik.
Ardi menggeleng, itu artinya alat tersebut perlu di setel ulang.
"Sepertinya aku aku memang sudah mencintainya dan sayangnya perasaanku terlambat untuk mengakui," gumam Kenzie.
"Kenapa jantungku detaknya belum normal juga? Haruskah aku membawanya ke dokter," gumam Kenzie lagi yang mana terus bergumam tanpa peduli akan Ardi ada di sebelahnya.
"Apa benar, wanita ini sudah jatuh cinta padaku rasanya sungguh tidak percaya." Ardi hanya bisa mengatakan ucapan-ucapan itu lewat isi hatinya. Sebetulnya ia tanpa sengaja mendengar Kenzie berceloteh, tetapi berpura-pura sedikit tak akan jadi masalah, bukan?
"Terima kasih," ucap Ardi setelah membenarkan alat yang melekat di telinganya.
"Jadi, kamu bisa mendengarku?" Suara tawa penuh kegembiraan, sejenak melupakan masalah lain dan Kenzie tanpa sengaja meloncat hingga sekarang berada di gendongan Ardi.
"Kenapa bisa sekacau ini," rutuknya penuh penyesalan.
Degup jantung mereka berdua saling bersahutan, mata yang saling menatap. Seakan berada di suatu tempat dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Seperti itulah jika seseorang tengah membayangkannya.
"Kenapa dengan jantungku," batin Ardi karena sedari awal yang tak pernah merasakan kacau di dalam dirinya, tetapi sekarang justru timbul rasa canggung secara tiba-tiba.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedang menatap penuh kebencian. Kepulangan yang tak disambut. Kedatangannya juga tidak diterima dengan baik, membuatnya begitu marah karena merasa tidak adil.
"Dia hanya orang baru, tapi kenapa begitu ingin menjadi orang yang bisa memasuki hati Ardi." Hati yang terbakar oleh api cemburu, wajahnya diselimuti oleh aura kebencian, suara lirihnya membuatnya semakin tidak tahan untuk berteriak.
"Ekhem ... sampai kapan kalian seperti sepasang cicak!" tegur Salma dengan hati yang dongkol.
Kenzie yang sadar, akhirnya langsung turun. Begitu juga dengan Ardi yang mana seketika melepaskan tangannya dari tubuh Kenzie.
"Ckckck ... mengganggu saja," gerutu Kenzie dan kalimat tersebut didengar oleh Ardi.
Melihat Ardi tersenyum, Salma pun lekas bertanya karena benar-benar dirinya berada di situasi tidak menjengkelkan. "Ar, kenapa kamu senyum-senyum sendiri, macam orang gila saja!" tegur Salma.
"Memangnya kenapa kalau senyum. Itu artinya dia menikmati apa yang baru saja terjadi," sahut Kenzie.
"Aku tidak bicara denganmu—,"
"Sudah cukup dan jangan berdebat. Jika ingin makan, segera duduk dengan baik." Ucapan Ardi pun terpaksa dituruti oleh Salma.
"Rasakan itu, memang enak mengganggu kemesraan orang lain."
Ups!
Kenzie rupanya keceplosan, ia tidak sadar bersuara keras terlebih ada Ardi di sampingnya. Sehingga membuatnya sangat malu karena mendapat tatapan dari lelaki tersebut.
"Kenapa kamu menatapku?" tanya Kenzie dengan wajah merah merona karena malu.
"Jangan lupa untuk mengatakan dan mengakui semuanya pada Leo, jika tidak! Tak akan ada toleransi." Ardi pun pergi setelah bicara, meninggalkan Kenzie di dapur dan segera duduk samping Deva.
Di tempat lain, yang kini sedang sibuk untuk sebuah rencana.
"Pa, kenapa aku tidak bisa memimpin perusahaan, bukankah aku juga anakmu!" Suara lelaki berusia 25 tahun itu pun meninggi. Merasa frustrasi dengan apa yang terjadi dengannya.
"Kamu tenang dulu, kita pikirkan caranya untuk merebut harta itu darinya." Kata pak Surya seraya mengepalkan kedua tangannya.
"Tidak, aku tidak terima jika semuanya hilang dan sepeserpun tak bisa aku dapatkan." Rasa marah, kecewa dan sakit hati. Menyatu di diri lelaki bernama Febian.
"Maka tenanglah dulu, jangan bertindak sendiri tanpa memikirkan konsekuensinya!" ujar pak Surya yang mana terus menasehati sang anak agar tidak gegabah.
"Lantas sampai kapan? Bukankah orang itu tak berguna. Terlebih dialah yang membu*uh seseorang berharga darimu," ujar Febian dengan senyum liciknya.
"Benar, bahkan aku tidak bisa melupakan kejadian yang merenggut seseorang di hidupku." Jawab pak Surya. Yang mana ingatannya beberapa puluh tahun silam.
"Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu. Di mana istriku mati karenamu," umpat pak Surya dengan mata dipenuhi oleh rasa dendam.
"Lalu, apa rencana Papa apa sekarang?" tanya Febian yang mulai tenang karena pak Surya menjanjikan sesuatu kepadanya.
"Hanya membuatnya tertidur untuk selamanya, maka masalah selesai." Jawab pak Surya dengan sebuah tawa tanpa dosa.
"Papa yakin ingin membunu*hnya?" ulang Febian untuk memastikan.
"Dia harus membayar harga yang harus aku terima karena kesalahannya." Kata pak Surya dengan sorot mata tajam. Gemeretak gigi diiringi beberapa kali helaan napas. Membuat beliau bersumpah untuk membuat lelaki berusia 35 tahun itu membayar atas kesalahannya di masa lalu.
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...