Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan
“Gapapa, tadi Levin sudah kasih kabar ke Tante kalau kalian bakal telat. Jadi, Tante yang masak hari ini,” ucap Tante Maya dengan senyuman lembut. “Yaudah, Tante, besok biar Dira yang siapin sarapan dan makan siang, gantian sama Tante,” sahut Dira, merasa tak enak karena membebani Tante Maya.
Tante Maya mengangguk sambil tersenyum. “Iya, terserah kamu. Sekarang makan dulu saja. Ayo, Levin, duduk dan makan.”Levin, yang baru saja duduk, menoleh ke sekeliling ruang makan. “Oh iya, Mah, Vanya mana ya? Kok belum kelihatan?”
Tante Maya menjawab sambil mengaduk sup di depannya. “Vanya ada di kamarnya. Dari tadi sore belum keluar. “Yaudah, Mah, Levin panggil Vanya dulu,” kata Levin sambil bangkit dan menaiki tangga menuju lantai dua.
Sementara itu, Dira yang sudah duduk di meja makan mendadak merasa ada yang tidak beres. “Aduh, ini nggak enak,” batinnya gelisah. “Tante, Dira ke kamar dulu ya, mau ambil sesuatu,” katanya buru-buru, sebelum berlari ke lantai dua mengikuti Levin.
Pikirannya kalut. "Wah, bisa gawat kalau Levin marahin Vanya." Tanpa pikir panjang, Dira langsung membuka pintu kamar Vanya dengan tangan gemetar. “Ceklek. “Vanya?” panggilnya pelan, dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Vanya menangis tersedu-sedu di samping Levin.
Dira tak membuang waktu. Ia langsung memeluk Vanya yang terisak, menatap Levin dengan sorot mata marah. “Lo nggak bisa begitu, Van sampai nangis gini,” katanya menahan emosi. Levin menoleh, terkejut. “Emang gue ngapain? Gue cuma nanya doang.”
Dira mendengus kesal. “Lo pasti marahin dia, kan? Lo nggak bisa ngomong baik-baik sama cewek?” katanya dengan nada geram, merasa perlu membela Vanya dari kekerasan emosional kakaknya.
“Gapapa, tadi Levin sudah kasih kabar ke Tante kalau kalian bakal telat. Jadi, Tante yang masak hari ini,” ucap Tante Maya dengan senyuman lembut.
“Yaudah, Tante, besok biar Dira yang siapin sarapan dan makan siang, gantian sama Tante,” sahut Dira, merasa tak enak karena membebani Tante Maya.
Tante Maya mengangguk sambil tersenyum. “Iya, terserah kamu. Sekarang makan dulu saja. Ayo, Levin, duduk dan makan.” Levin, yang baru saja duduk, menoleh ke sekeliling ruang makan. “Oh iya, Mah, Vanya mana ya? Kok belum kelihatan?”
Tante Maya menjawab sambil mengaduk sup di depannya. “Vanya ada di kamarnya. Dari tadi sore belum keluar. “Yaudah, Mah, Levin panggil Vanya dulu,” kata Levin sambil bangkit dan menaiki tangga menuju lantai dua.
Sementara itu, Dira yang sudah duduk di meja makan mendadak merasa ada yang tidak beres. “Aduh, ini nggak enak,” batinnya gelisah. “Tante, Dira ke kamar dulu ya, mau ambil sesuatu,” katanya buru-buru, sebelum berlari ke lantai dua mengikuti Levin.
Pikirannya kalut. "Wah, bisa gawat kalau Levin marahin Vanya." Tanpa pikir panjang, Dira langsung membuka pintu kamar Vanya dengan tangan gemetar. “Ceklek.”Vanya?” panggilnya pelan, dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Vanya menangis tersedu-sedu di samping Levin.
Dira tak membuang waktu. Ia langsung memeluk Vanya yang terisak, menatap Levin dengan sorot mata marah. “Lo nggak bisa begitu, Van sampai nangis gini,” katanya menahan emosi.
Levin menoleh, terkejut. “Emang gue ngapain? Gue cuma nanya doang.” Dira mendengus kesal. “Lo pasti marahin dia, kan? Lo nggak bisa ngomong baik-baik sama cewek?” katanya dengan nada geram, merasa perlu membela Vanya dari kekerasan emosional kakaknya
“Kak… sudah, Kak Levin nggak marahin aku. Ini memang salahku, aku nggak pernah dengerin Kakak… semua ini salahku,” Vanya terus menangis, suaranya pecah di tengah isakan yang tak kunjung reda.
Levin mengepalkan tangannya, amarahnya belum surut. “Yaudah, besok Kakak samperin dia! Dia harus tanggung jawab, nggak bisa begini aja!” ucap Levin dengan nada penuh amarah, semakin tersulut oleh rasa perlindungan pada adiknya.
Vanya menggeleng cepat, tangisnya semakin menjadi. “Jangan, Kak… Kumohon, jangan! Aku nggak mau orang lain tahu soal ini. Kalau sampai semua tahu, aku nggak bisa bayangin… Dia pasti bakal nyebarin videoku, Kak!” Vanya memohon dengan suara bergetar, matanya yang bengkak penuh ketakutan.
Levin terdiam, alisnya mengerut dalam-dalam. “Video? Video apa maksudmu?” tanyanya dengan suara rendah, menahan gejolak di dadanya.
Vanya tak mampu menjawab. Bibirnya bergetar, dan hanya isakan yang keluar. “Itu… Kak…” ucapnya lirih, suaranya hilang dalam kesedihan yang mendalam.
Melihat situasi yang semakin tegang, Dira berdiri dan melangkah ke arah Levin. “Sudah, Lev. Lo keluar dulu. Gue yang akan bicara sama Vanya,” kata Dira dengan nada tenang tapi tegas.
Levin menatap Dira, matanya masih memancarkan amarah yang terpendam. Namun, ia tahu Dira benar. Dengan napas berat, ia berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Dira bersama Vanya.
Turun ke lantai bawah, Levin berjalan menuju ruang makan dengan langkah berat. Sesampainya di meja makan, ia duduk dan berusaha menahan gejolak di hatinya. Tatapannya kosong saat melihat Mamah Maya, perasaan bersalah membebani pikirannya.
"Kalau Mamah tahu... pasti kecewa banget," batinnya. Ia merasa tak berdaya menghadapi masalah yang Vanya alami.
“Kemana Vanya? Kok belum turun juga?” tanya Mamah Maya dengan nada khawatir saat melihat Levin kembali sendirian.
Levin menunduk sebentar, mencari alasan. “Vanya lagi sakit, Mah. Dia lagi istirahat di kamarnya. Ada Dira yang nemenin dia.”Mamah Maya tampak terkejut. “Sakit? Sakit apa, Nak?” tanyanya, jelas khawatir.
Levin menelan ludah, lalu menjawab pelan, “Nggak apa-apa, cuma kecapekan aja, Mah. Besok juga udah baikan.”Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih rumit daripada sekadar sakit fisik..
“Biasalah, Mah, itu cuma kecapekan doang,” jawab Levin cepat, berusaha menutupi kekhawatirannya.
Namun Mamah Maya tidak begitu saja percaya. “Yaudah, Mamah cek dulu, sekalian anterin makanan ke kamarnya,” ujarnya seraya bersiap-siap naik ke lantai dua.
Levin panik. “Jangan, Mah, nanti sama Dira aja!” sergahnya, mencoba mencegah. Namun, Mamah Maya hanya menoleh sebentar, tatapannya penuh rasa ingin tahu. “Ih, kenapa sih? Mamah kan cuma pengen lihat keadaan Vanya,” katanya, lalu melanjutkan menaiki tangga tanpa mendengarkan protes Levin.
Sesampainya di depan kamar Vanya, Mamah Maya mengetuk pintu pelan. “Tok, tok, tok. Vanya, kamu nggak apa-apa? Mamah masuk ya,” ucapnya lembut, membuka pintu tanpa menunggu jawaban.
Begitu masuk, ia melihat Dira tengah duduk di samping Vanya yang terbaring lemah di tempat tidur, mengompres keningnya dengan kain basah. Mamah Maya terkejut. “Eh, Dira, Vanya kenapa?” tanyanya cemas.
Dira tersenyum tipis, namun tampak ragu. “Ini… Vanya demam, Tante,” jawabnya pelan, berusaha menenangkan situasi.
Mamah Maya segera menyentuh dahi Vanya. “Ah, iya, panas,” katanya dengan nada terkejut. Tanpa pikir panjang, dia bergegas keluar kamar. “Mamah ambil obat dulu ya!” ujarnya panik sambil berlari menuju dapur untuk mengambil obat.
Dira terdiam, melihat sosok Vanya yang tampak lemah di depannya. “Kok beneran panas, ya?” gumam Dira kebingungan, merasa tak yakin apakah ini benar-benar demam atau ada hal lain yang mengganggu emosi Vanya.
Tiba-tiba, suara dingin Levin terdengar dari pintu kamar yang terbuka. “Itu namanya respons emosional yang kuat,” ujarnya sinis. “Kalau orang lagi emosi, wajah mereka bisa memerah—atau ‘blushing’, istilahnya. Aliran darah ke wajah jadi meningkat. Lo nggak tahu, ya?”
Dira menoleh tajam ke arah Levin, yang kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh sarkasme. Ia tahu maksud sindiran Levin, tapi memilih tidak membalas. Situasi sudah cukup tegang, dan Vanya yang terbaring tak bergerak membuat semuanya terasa lebih berat.
Levin berjalan mendekat, matanya menatap Vanya dengan campuran kemarahan dan keprihatinan yang tak bisa ia sembunyikan
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx