Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. MELARIKAN DIRI
MELARIKAN DIRI
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Kini, Alya duduk terpaku di depan cermin sambil merasakan perih di wajahnya yang baru saja dirusak oleh amukan Lestari.
Riasan yang sebelumnya membuatnya tampak menawan kini berantakan, bercampur dengan darah dan air mata yang terus mengalir dari matanya yang merah.
Di balik cermin, ia bisa melihat bayangan dirinya dengan wajah cantik yang kini terluka, seolah mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat ini.
MUA yang bertugas merias Alya pun tampak kebingungan dan prihatin. Dengan lembut, ia membersihkan darah yang mengalir dari luka di wajah Alya dan mencoba merapikan riasannya kembali.
"Aduh... Kasihan sekali kamu, Alya," katanya dengan suara iba. "Wajah cantikmu kini terluka, berdarah lagi. Kejam sekali sih istri juragan Anton itu."
Alya hanya bisa menatap dirinya di cermin dengan tatapan kosong dan merasa miris. Ia tidak bisa menghentikan air mata yang terus mengalir hingga membasahi riasannya yang baru saja diperbaiki.
Segala penderitaan yang ia rasakan kini terpampang jelas di cermin itu. Hatinya berteriak, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya dan tidak bisa keluar.
Melihat Alya yang terus menangis, MUA itu pun mencoba menenangkannya. "Alya, kalau kamu menangis terus, make-up-nya akan mudah luntur. Ini sudah jadi nasibmu, jadi terima saja. Lagipula, kamu tidak bisa lari dari juragan Anton. Dia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," ujarnya.
Kata-kata itu menusuk hati Alya. Meski MUA itu berniat menenangkannya, apa yang dikatakannya itu justru membuat Alya semakin sadar akan nasib buruk yang kini ia jalani.
"Benarkah? Benarkah hidupku selamanya akan menderita? Apakah tidak ada sedikitpun kebahagiaan untukku? 😭😭😭."
Hatinya semakin hancur, dan pikirannya mulai dipenuhi oleh keputusasaan. Namun, di balik rasa putus asa itu, munculah satu pemikiran yang tiba-tiba melintas di benaknya, yaitu...
Melarikan diri.
Alya tidak ingin hidup dalam genggaman Anton. Jika sekarang saja ia sudah mengalami penyiksaan fisik dan mental, ia bisa membayangkan betapa mengerikannya hidup sebagai istri keempat Anton.
"Aku tidak bisa hidup seperti ini," pikir Alya dalam hati. "Aku harus menemukan cara untuk keluar dari semua ini. Aku tidak bisa membiarkan diriku hancur di tangan mereka."
**
Beberapa saat...
Ketika MUA menyelesaikan pekerjaannya, Alya tersenyum lemah sambil berkata, "Bisakah aku minta waktu sebentar untuk sendiri di kamar?," pintanya dengan suara lirih.
MUA itu mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan sopan sambil menutup pintu dengan lembut di belakangnya.
Begitu sendirian, Alya berdiri dari kursi dan melihat sekeliling kamar kecil yang sudah mulai terasa seperti penjara baginya.
Pikiran untuk melarikan diri semakin mendesak, namun ia sempat ragu untuk melakukannya.
Bagaimana nasib orang tuanya dan adik-adiknya jika ia pergi? Apakah mereka akan aman?
Namun, Alya pikir saat ini ia harus melindungi dirinya sendiri terlebih dahulu. Hanya dengan begitu ia bisa kembali dan menyelamatkan keluarganya.
Alya mengambil napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat.
"Aku harus keluar dari sini," bisiknya sambil memandangi jendela kecil di kamar itu, yang menjadi satu-satunya jalan keluar yang tampak masuk akal.
Dengan hati-hati, Alya membuka jendela dan melihat keluar.
Kerumunan orang yang menghadiri pernikahan masih ramai di luar, tapi sebagian besar perhatian mereka terfokus pada area pelaminan dan meja hidangan.
Alya merasa ini kesempatan terbaiknya untuk kabur tanpa menarik perhatian orang-orang.
Kemudian, Alya mengangkat ujung gaunnya agar tidak tersangkut dan perlahan-lahan memanjat keluar dari jendela.
Kakinya gemetar ketika ia meraih tanah di luar. Baru beberapa langkah dari jendela, Alya berhenti sejenak dan merasa ragu kembali. "Ayah, Ibu... Maafkan aku, aku harus pergi tanpa bertemu dengan kalian lebih dulu hiks hiks...."
Dengan hati-hati, Alya menyelinap menghindari kerumunan tamu. Ia berusaha untuk tidak menarik perhatian siapa pun, meski setiap suara langkahnya terdengar begitu keras di telinganya.
Tiba-tiba...
"Kakak?." Sebuah suara memanggilnya dengan lembut.
Suara itu milik adik perempuannya yang bernama Nina. Ia berdiri di dekat tumpukan hadiah pernikahan seraya menatap Alya dengan tanda tanya.
Mata Alya melebar, tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Nina sudah berlari mendekatinya.
"Kakak, mau ke mana? Apa yang kakak lakukan?," tanya Nina cemas, namun merasa khawatir.
Alya menatap adiknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, lalu berkata, "Nina, kakak harus pergi. Kakak tidak bisa menikah dengan Anton. Kakak tidak bisa hidup seperti ini," bisiknya sambil menggenggam tangan adiknya erat-erat.
Nina mengangguk, seolah memahami keputusan yang berat itu. "Aku tahu, Kak. Aku mengerti. Tapi bagaimana dengan Ayah dan Ibu?."
"Kakak akan kembali untuk mereka, Nina. Kakak janji. Tapi sekarang, Kakak harus melindungi diri sendiri dulu. Kakak mohon, jaga mereka untukku," pinta Alya.
"Aku akan menjaga mereka, Kak. Pergilah sekarang, sebelum mereka menyadari Kakak hilang," jawab adiknya yang terpaut lima tahun itu.
Alya menatap adiknya sekali lagi dan berterima kasih dalam hati karena Nina mengerti betapa sulitnya keputusan ini.
"Terima kasih, Nina. Aku sangat menyayangimu."
Alya memberikan pelukan terakhir kepada adiknya sebelum kembali melangkah menuju kebebasan.
Namun, saat Alya hendak melanjutkan pelariannya, sebuah teriakan dari arah pelaminan membuatnya berhenti.
"Alya! Di mana Alya?!."
Ternyata, seseorang telah menyadari ketidakhadirannya di pelaminan. Keributan kecil pun mulai terjadi, dan Alya pun merasa semakin terdesak.
"Kak, jalan pintas lewat belakang rumah ke arah hutan! Kakak bisa bersembunyi di sana sementara waktu!," ucap Nina memberi arahan.
Tanpa berpikir dua kali, Alya mengikuti petunjuk adiknya dan berlari secepat yang ia bisa ke arah belakang rumah.
Jantungnya berdegup kencang, dan kakinya nyaris terantuk beberapa kali. Namun, dengan kekuatan yang tersisa, ia pun berhasil sampai di pinggir hutan.
Sementara itu, Nina kembali ke kerumunan dan berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi.
Ia berusaha keras menahan air mata saat melihat Anton dan beberapa anak buahnya mulai mencari Alya dengan kemarahan. Hati Nina berdebar dan berharap kakaknya itu berhasil melarikan diri tanpa tertangkap.
"Kakak, larilah... Jangan sampai tertangkap."