🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepedulian Kecil
🌹VOTE🌹
Jika Tuhan menyayanginya, kenapa Inanti masih hidup? Kenapa dia tidak bawa saja Inanti kembali pada-Nya, berkumpul bersama ibu dan adiknya yang meninggal karena ulah Bapak.
Kini siapa yang akan mendengar keluh kesahnya? Tangisannya, siapa yang akan menyeka air matanya? Inanti masih muda, Inanti belum siap menghadapi semua kekacauan di dunia ini.
"Hei, Baby, don't cry, Ibumu punya tempat terbaik di sisi Allah," ucap Mama mengelus kepalaku, dia memelunya erat dari samping. "Sudah jangan menangis lagi, kamu tidak sendiri, masih ada Mama, ada Papa, ada Alan."
Alan? Inanti bahkan sudah tiga hari tidak bertemu dengannya.
"Pulang ya, jangan di sini terus, Mama udah nyuruh Bi Idah untuk kerja lagi di rumah kamu. Kamu ga usah kecapean, istirahat di sana ya."
Inanti masih terdiam membisu. Beberapa hari setelah kematian Ibu, Inanti diam di rumah tempatnya tumbuh, sendirian dan hanya mengeluh pada Tuhan. Beberapa tetangga datang, juga pihak rumah sakit yang kenal. Dan di hari ketiga kematian Ibu, keluarga Praja Diwangsa baru datang. Itupun hanya Mama dan Papa, tidak dengan adik adiknya Alan yang membenci Inanti.
"Hei, Sayang, jangan menangis. Sudah sudah, Mama di sini." Mama memeluknya semakin erat. "Nanti bayinya ikut menangis, sudah, Sayang. Tuhan lebih sayang sama Ibu kamu, makannya dia membawanya kembali."
"Inan gak punya siapa siapa lagi, Ma…."
"Hei, kata siapa ga punya siapa siapa? Ada Mama, ada Papa, ada Ayaza, ada Abigail, ada Alden. Kita keluarga, ingat?"
Itu semua keluarga Alan, bukan keluarganya. Mengingat si kembar Ayaza dan Abigail membuat Inanti malas, takut, marah dan sedih di saat yang bersamaan. Mana mungkin mereka peduli, sementara saat akad nikah saja Inanti dicampakan oleh mereka. Ketika Inanti bertanya, mereka pergi begitu saja dengan meninggalkan cibiran menyakitkan.
"Ayo pulang, nanti Papa akan menyuruh orang membereskan di sini," ucap Papa duduk di sampingku. "Dengar, In, sampai kapan pun kau menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang seka air mata, ayo pulang."
Belum juga Inanti membuka mulut, Papa mendahului. "Saran Papa, rumah ini jangan dijual. Untuk Ayahmu saja jika dia keluar dari masa tahanannya. Untuk kebersihan, tidak perlu khawatir, Papa akan menyuruh orang datang setiap bulannya."
Inanti membisu, memaksakan kehendak pun tidak akan bertahan lama. Inanti ingin di sini, tinggal bersama kenangan Ibu.
"Inanti?"
"Iya, Ma. Inanti pulang, Inan cuma mau beresin barang barang yang mau Inan bawa."
"Baiklah, mau dibantu Mama sama Papa?" Tawar Mama sambil mengelus punggungku.
Inanti menggeleng. "Mama dan Papa bisa tunggu di luar, Inan akan membereskan barang barang Ibu."
"Baiklah, berhenti menangis, Sayang." Mama mencium keningku, wanita bule yang terikat oleh adat jawa-Sunda, Mama suka memakai kebaya jaman dulu.
Inanti memilih milih pakaian Ibu yang masih pantas dikenakan, banyak kerudung membuatnya tersenyum. Membawanya dalam kantong kresek berwarna hitam.
Saat hendak membuka pintu, Inanti tidak sengaja mendengar percakapan Mama dan Papa.
"Hubungi kembali, Aku tidak suka Alan mencampakan istrinya seperti itu."
"Dia bukannya mencampakan istrinya." Suara Mama terdengar tercekat. "Alan hanya sedang bekerja di luar kota."
"Dan pekerjaan itu lebih penting dari anak dan istrinya?"
"Mas, kamu sendiri yang berhenti memberi dia uang, kamu memecatnya dari perusahaan kamu sendiri. Sekarang Alan harus banting tulang membangun perusahaan kamu yang hampir gulung tikar, itu juga pasti demi Inanti."
"Jangan pura pura tidak tahu, Elle. Kamu tahu Alan pergi karena Vanesa pulang."
"Vanesa? Bukankah dia pergi ke Italia sejak Alan menikah?"
"Dia pulang?"
"Ya, dan kau tahu? Venesa yang akan menjadi arsitek untuk kantor baru Alan."
🌹🌹🌹
"Bu, mau makan sama apa?"
Inanti melihat Bi Idah yang mendekat. "Tolong buatkan sayur sop saja ya, Bi."
"Baik, Bu."
Fokusnya kembali pada hape jadul, ingin sekali Inanti menghubungi Alan. Menanyakan keberadaannya, ini sudah malam. Di mana dia?
"Bi, saya mau tiduran dulu ya, kalau sudah siap ketuk saja pintunya."
"Baik, Bu."
Dan Inanti melihat bagaimana Bi Idah menatap kasihan padanya, yang berjalan menuju kamar bekasnya dulu. Inanti mana peduli, Inanti hanya ingin berbaring sembari menunggu isya, juga menunggu Alan.
Namun, matanya enggan terpejam, Inanti terus menangis, meneteskan air mata. Inanti butuh seseorang di sisinya, memeluknya, dan membisikan kata kata pada Inanti bahwa semuanya akan baik baik saja.
Nyatanya, tidak ada. Tidak ada hal lain lagi yang bisa Inanti lakukan selain berwudhu, sholat isya dan bersujud pada Allah. Satu keyakinannya, Allah mengelus kepalanya, dan berkata padanya, "Hambaku, aku mencintaimu, tetaplah sabar dan ikhlas, dan kau akan mendapatkan balasannya."
Dan setelah sholat, Inanti merasa lebih baik.
"Bu, sudah siap."
"Makasih, Bi."
"Iya, Bu. Saya pulang dulu, besok pagi saya datang lagi. Ibu besok mau makan apa? Saya sekalian mau ke Pasar sebelum ke sini."
"Mau bacem tempe deh, Bi, tapi yang pake cabe ijo."
"Baik, Bu, ada pesanan lain?"
Inanti tidak boleh menyia-nyiakannya, jarang jarang makan makanan enak, apalagi Alan tidak menjatahnya dengan pasti, harus Inanti yang meminta uang lalu mendapatkan kata kata sinis darinya.
"Mau buah naga, Bi, sama pisang ambon yang agak belum matang."
"Ibu mau dibuatkan bolu?"
"Dari pisang ambon? Engga deh, Bi. Saya mau makan langsung saja."
"Baik, Bu. Kalau begitu saya pulang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Setelahnya, hanya ada keheningan. Dentingan sendok dan detak jam di rumah besar dua lantai ini. Hanya Inanti seorang diri, supir dan pembantu pulang jika sudah isya.
Sampai terdengar suara pintu utama terbuka, Inanti kaget. "Bi Idah?"
Tidak ada sahutan, yang mana membuatnya mengakhiri makan dan segera memeriksa. Takut takutnya itu orang jahat. "Bi Idah?"
Hingga matInanti melihatnya. "Kak Alan?"
Jambangnya mulai lebat, garis rahangnya tetap kokoh. Dan Inanti melihat kesedihan di wajahnya, entah karena apa.
"Kakak baru pulang?"
Dia tidak menjawab, hanya fokus membuka sepatunya, sambil duduk di sofa. Biasanya dia datang dari pintu belakang, rak sepatu ada di sana.
"Kakak mau mandi? Mau Inan siapkan air hangat?"
Dan ketika Inanti berjongkok hendak mengambil sepatunya, tangan Alan menahan, membuatnya terhenti untuk mengambil sepatu.
"Kenapa, Kak?"
"Tadi saya dari makam Ibu kamu."
Desiran yang tidak bisa Inanti jelaskan merambat seketika di tubuhnya.
"Saya minta maaf tidak bisa hadir saat pemakamannya. Untuk ke depannya kamu tidak perlu khawatir, tahlilan, empat puluh harian, saya yang akan menanggung semuanya."
Dan seketika air mata Inanti luluh.
"Kamu istirahat saja," ucapnya menepuk bahunya dan melangkah begitu saja.
Nyatanya, kepedulian Alan hanya sebatas itu. Dan Inanti bersyukur, Allah mengasihinya.
🌹🌹🌹
Tbc