Lara telah menghabiskan tiga belas tahun hidupnya sebagai wanita simpanan, terperangkap dalam cinta yang terlarang dengan kekasihnya, seorang pria yang telah menikah dengan wanita lain. Meski hatinya terluka, Lara tetap bertahan dalam hubungan penuh rahasia dan ketidakpastian itu. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu Firman, seorang pria yang berbeda. Di tengah kehampaan dan kerapuhan emosinya, Lara menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
Kisahnya berubah menjadi lebih rumit saat Lara mengandung anak Firman, tanpa ada ikatan pernikahan yang mengesahkan hubungan mereka. Dalam pergolakan batin, Lara harus menghadapi keputusan-keputusan berat, tentang masa depannya, anaknya, dan cinta yang selama ini ia perjuangkan. Apakah ia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalunya, atau memilih lembaran baru bersama Firman dan anak mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syah🖤, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 07
Sore harinya, Arini pergi menemui Dinda di sebuah kafe favorit mereka. Dinda, sahabat terbaiknya sejak SMA, adalah satu-satunya orang yang Arini percaya untuk berbagi rasa sakit ini. Saat Arini tiba, Dinda sudah menunggu, dengan senyum penuh dukungan.
“Rin, kamu kelihatan letih,” ujar Dinda begitu Arini duduk. “Gimana keadaanmu? Ada perkembangan?”
Arini menghela napas panjang, menatap lurus ke arah temannya. “Aku nggak tahu, Din. David bilang dia mau memperbaiki semuanya, tapi setiap kali aku melihatnya, semua luka itu terasa segar lagi.”
Dinda mengangguk penuh pengertian. “Itu wajar. Kamu nggak bisa cuma melupakan semua yang terjadi begitu saja. Kepercayaan itu sulit dibangun lagi setelah dihancurkan.”
Arini meraih cangkir tehnya, mengaduk perlahan. “Aku bertemu dengan Lara minggu lalu.”
Tatapan Dinda langsung berubah terkejut. “Kamu serius? Kalian ketemu? Apa yang dia bilang?”
“Dia bilang hubungan mereka sudah berakhir sebelum aku tahu. Dan bahwa David memilih aku.” Arini menelan ludah, berusaha meredakan emosi yang mulai muncul kembali. “Tapi entah kenapa, itu nggak membuatku merasa lebih baik.”
Dinda terdiam sejenak, sebelum merespon dengan hati-hati. “Rin, mungkin yang perlu kamu tanyakan sekarang adalah bukan siapa yang dipilih David, tapi apakah kamu masih mau memilih dia?”
Pertanyaan itu menggema di dalam benak Arini. "Apakah ia masih mau memilih David?"
Selama ini, ia terjebak dalam pemikiran bahwa David-lah yang harus memilih. Tapi kini, pertanyaan yang lebih penting muncul: Apakah ia masih ingin tetap berada di dalam pernikahan ini?
“Aku nggak tahu, Din,” jawab Arini akhirnya. “Bagaimana caranya aku bisa kembali mempercayai dia? Bagaimana aku bisa mencintainya lagi dengan luka sebesar ini?”
Dinda mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Arini dengan lembut. “Kamu nggak harus buru-buru menjawab itu, Rin. Tapi kamu juga perlu tanya pada dirimu sendiri: apakah cinta itu masih ada? Apakah kamu mau memperjuangkannya? Kalau jawabannya tidak, maka mungkin sudah saatnya kamu memikirkan hidupmu sendiri.”
Arini terdiam, membiarkan kata-kata Dinda meresap. Apakah cinta itu masih ada? Ia tak bisa menjawabnya dengan pasti. Cinta yang pernah ia rasakan untuk David terasa jauh, seolah tenggelam di balik lautan rasa sakit dan kekecewaan.
***
Malam itu, setelah pertemuannya dengan Dinda, Arini pulang ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. David sedang duduk di ruang tamu, membaca buku, tapi ia segera menurunkannya saat melihat Arini masuk.
“Kamu sudah pulang,” ucap David, mencoba tersenyum. “Gimana tadi dengan Dinda?”
Arini hanya mengangguk, melepaskan sepatu dan menuju kamar tanpa banyak bicara. Di dalam kamar, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Di wajahnya, ia bisa melihat jejak kelelahan dan kesedihan yang selama ini ia coba sembunyikan. Tapi lebih dari itu, ia melihat seseorang yang telah berubah—seseorang yang tak lagi sama dengan Arini yang dulu.
Setelah beberapa menit terdiam, ia memutuskan untuk berbicara. Arini keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu, di mana David masih menunggunya dengan tatapan penuh harap.
“David, aku butuh jujur,” kata Arini, suaranya tenang namun tegas. “Aku nggak tahu apakah aku masih bisa mencintaimu seperti dulu. Dan aku juga nggak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”
David terkejut mendengar kata-kata itu. Wajahnya memucat, dan ia tampak seperti ingin berkata sesuatu, tapi Arini melanjutkan sebelum ia sempat membuka mulut.
“Selama ini, aku berpikir tentang apa yang kamu lakukan, tentang bagaimana kamu menyembunyikan semuanya dari aku. Dan aku mulai bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar ingin melanjutkan ini? Aku nggak bisa cuma terus berharap kamu berubah atau semuanya akan kembali seperti semula. Itu nggak realistis.”
David mengangguk pelan, matanya penuh penyesalan. “Aku mengerti, Rin. Aku tahu aku sudah menghancurkan kepercayaanmu. Tapi aku masih berharap kita bisa mencoba lagi. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali hatimu.”
Arini menggeleng pelan, tatapannya penuh dengan kejujuran yang menyakitkan. “Aku belum tahu, David. Aku butuh waktu untuk benar-benar memikirkan ini. Mungkin kita butuh waktu terpisah. Mungkin kita harus memberikan ruang untuk diri kita masing-masing.”
Wajah David berubah semakin pucat. “Kamu... ingin berpisah?”
“Bukan berpisah selamanya, mungkin hanya sementara. Aku butuh waktu untuk berpikir, untuk mengetahui apa yang benar-benar aku inginkan. Tanpa kamu terus berada di sekitarku, tanpa kamu terus mencoba memperbaiki sesuatu yang belum tentu bisa diperbaiki.”
David tertunduk, tampak kehilangan kata-kata. Ia tahu bahwa inilah saatnya untuk memberi Arini ruang. “Kalau itu yang kamu mau, aku akan menghormatinya.”
Arini menelan ludah, meskipun hatinya sakit. “Aku akan tinggal di rumah Dinda untuk sementara waktu. Aku butuh waktu sendirian, David.”
Malam itu, Arini mulai mengemasi barang-barangnya. Rasanya aneh, seperti baru saja mengambil langkah pertama menuju hidup yang belum pasti. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa sedikit lebih ringan—seolah telah membuka pintu kecil menuju kebebasan, meski ia belum tahu apa yang akan ada di baliknya.
***
Hari-hari berlalu, dan Arini tinggal di rumah Dinda untuk merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi. Meskipun merasa lebih baik dengan jarak yang diciptakan, ada bagian dari dirinya yang masih merindukan kehadiran David. Namun, kesedihan dan rasa sakit yang menyertai pengkhianatan itu selalu mengingatkannya untuk menjaga jarak.
Di sisi lain, David berusaha menghadapi kesedihan dan kehilangan. Ia merasa seolah kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Keputusan Arini untuk memberi jarak menciptakan kekosongan yang tidak bisa ia penuhi. David tahu bahwa kesalahannya telah menghancurkan segalanya, dan ia bertekad untuk mendapatkan Arini kembali.
Sementara itu, Lara, mantan kekasih David, merasa bingung. Ia tidak tahu apakah perasaannya terhadap David sudah sepenuhnya sirna atau masih ada sisa rasa yang tersisa. Dia telah berusaha menjauh dari David, tetapi pengakuan Arini yang baru-baru ini membuatnya berpikir ulang tentang perasaannya. Setiap kali memikirkan David, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Dan saat-saat kesepian mulai menggerogoti hatinya, dia merasa terjebak antara masa lalu dan masa depan.
Katanya perlu bicara ujung2nya perlu waktu lagi dan lagi baik sama lara juga sama arini beberapa bab muter itu2 aja, Maaf ya Thor kayak ceritanya hanya jalan di tempat aja 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻