Pemuda tampan yang sakit-sakitan dan pengangguran di usianya yang telah 30 tahun meski bergelar sarjana, ia dicap lingkungan sebagai pengantin ranjang karena tak kunjung sembuh dari sakit parah selama 2 tahun.
Saat di puncak krisis antar hidup dan mati karena penyakitnya, Jampi Linuwih, mendapat kesempatan kedua.
Jemari petir, ilmu pengobatan, hingga teknik yang tak pernah ia pelajari, tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Ia dipilih langit untuk mengemban tugas berat di pundaknya.
Mampukah ia memikul tanggung jawab itu? Saksikan perjalanan Jampi Linuwih, sang Tabib Pilihan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25_ Pria Tua Misterius
"Bagaimana pak?", tanya bu Eki dengan raut wajah khawatir.
" Ibu yang sabar dan tenang. Duduk dulu", jawab pak Joni.
"Ada apa dengan Jampi?", tanya Bu Eki lagi. Nia hanya menyimak apa yang akan pak Joni katakan.
" Kata pemilik konter, Jampi sudah tidak masuk sejak kemarin, bukan hanya hari ini. Dia juga sudah menghubungi ponsel Jampi, namun tak ada jawaban sama sekali", ujar pak Joni.
"Ha! Dua hari?", bu Eki begitu terkejut.
" Nak, coba cek ponsel Jampi dan bawa ke sini", ujar pak Joni. Nia pun bergegas ke kamar dan memeriksa laci. Benar saja, di sana ada ponsel suaminya yang hampir kehabisan baterai. Ia pun membawa ponsel beserta adaptornya ke teras.
Mereka memeriksa ponsel Jampi bersama-sama.
"Ini, benar. Ada banyak telepon dan pesan sejak kemarin pukul 8 pagi", ujar Nia setelah memeriksa ponsel Jampi dan menunjukkannya kepada kedua mertuanya.
" Jadi, benar mimpi yang kita alami bertiga? Kita juga tertidur selama Jampi menghilang", pak Joni sigap menganalisa. Bagaimanapun, dia mantan veteran yang cermat meski sudah tua.
"Lalu, kita harus bagaimana? Lapor polisi pak!", ujar bu Eki mendesak pak Joni.
" Ya, kita akan lapor setelah lebih dari 48 jam, karena dia hilang kemarin pagi, maka esok pagi baru bisa membuat aduan laporan kehilangan", ujar pak Joni.
Nampak wajah bu Eki memucat khawatir. Sedangkan Nia hanya mengucek ujung bajunya karena tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin mencari bantuan saudaranya yang berprofesi sebagai polisi, namun dia hanya polisi biasa berpangkat rendah.
"Duh, pasti juga sama, harus ikut prosedur", batin Nia. Ia menggigit ujung kukunya karena kehabisan ide.
Pak Joni hanya memeluk dan terus mengelus punggung bu Eki yang menangisi putranya.
" Sudah bu, sabar dan ridho saja. Semoga Tuhan membukakan jalan keluar dan melindungi Jampi. Tangisanmu hanya akan memberatkan mentalmu. Cukup ya", pak Joni tak ingin kesehatan istrinya jatuh karena memikirkan nasib Jampi.
Saat ketiganya sedang bingung, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucap salam.
"Assalamu'alaikum", terdengar suara seorang lelaki tua. Pria berjubah putih tengah berdiri di depan rumah. Jarak mereka 3 meter, pria itu berdiri di depan pagar, namun suaranya seperti tepat di dekat telinga mereka.
" Wa'alaikumussalam", jawab mereka bertiga, sontak melihat ke arah pria tua itu.
Pak Joni segera menghampiri pria itu dan membukakan pagar.
"Mari pak, silahkan masuk", pak Joni mempersilahkannya ke teras.
Setelah mereka berempat duduk di teras, pria itu mulai berbicara.
" Putra kalian sedang ada di tempat lain", ujar pria itu tanpa basa basi, membuat ketiganya mengernyit.
"Dia telah menyelamatkan kalian dan menukarkan itu dengan keselamatannya sendiri", tambah pria itu.
"Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu dan apa kami bisa mempercayaimu?", logika mantan veteran itu masih tajam dalam menganalisa informasi.
"Kalian takkan bisa menemukannya meski mencarinya ke seluruh dunia, ke tempat tersempit atau terpencil sekalipun. Dia ada di kerajaan ratu lautan selatan", ujar pria itu semakin membuat mereka kebingungan.
" Siapa kamu sebenarnya dan kenapa memberitahu kami hal seperti ini?", pak Joni masih belum yakin meski perkataan pria tua ini cukup masuk akal. Kejadian yang mereka bertiga alami, juga lamanya mereka tertidur, menunjukkan bahwa ini bukan dalam jangkauan logika biasa.
"Aku tahu di mana teman satu timmu yang hilang di alas Kumitir", ucap pria tua itu. Sontak mata pak Joni terbelalak, bulu kuduknya merinding, memorinya seketika memutar peristiwa mistis mengerikan yang membuat seluruh timnya lari tunggang langgang.
" Di, di mana?", meski ketakutan, pak Joni masih memberanikan diri bertanya untuk memastikan.
"Pemakaman umum Dongko, pusara tak bernisan tepat di bawah pohon cemara. Mereka menguburnya setelah meninggal di alas Kumitir, setahun yang lalu. Kamu bisa melihat baju tempur, identitas, dan sapu tangan kesayangannya di dalam pusara", ucap pria tua itu dengan suara begitu dalam dan yakin. Pak Joni berkeringat dingin. Ia tiba-tiba mengingat bahwa temannya itu selalu membawa sapu tangan kesayangan yang terbuat dari potongan celana dalam istri sahabatnya itu sebagai penyemangat.
" Kamu, siapa kamu sebenarnya? ", suara pak Joni bergetar. Bu Eki yang mengetahui kisah itu pun penasaran dengan pria tua ini.
" Siapa aku? Itu tidak penting. Saat ini putra kalian tengah menjadi budak jin. Selamatkan dia dengan menghubungi guru mengajinya yang memiliki tanda lahir di pelipis kiri, di kampung Rona", ujar pria itu. Mereka bertiga pun sontak mengingat-ingat siapa orang yang dimaksudkan.
"Oh, pak Bekti!", pekik pak Joni setelah mengingat ciri-ciri yang disebutkan.
Namun, pria tua itu tidak lagi berada di tempat.
" Loh, kemana?", ujar pak Joni yang tidak bisa menemukan keberadaan orang tua itu. Mereka bertiga melihat ke segala arah, mencari keberadaan pria tua misterius itu. Bahkan tak ada suara langkah. Pintu pagar juga masih tertutup rapi. Biasanya pagar akan berbunyi saat dibuka tutup karena karat dan kurang pelumas.
Sontak, bulu roma mereka meremang.
"Setan!", pekik bu Eki yang segera berlari ke dalam rumah disusul pak Joni dan Nia.
Nampak bu Eki menutupi tubuh hingga kepalanya dengan selimut. Nia juga ikut bersembunyi di dalam selimut bersama ibu mertuanya. Sedangkan pak Joni duduk terengah-engah di samping kasur kamar tidur mereka.
" Nak, kamu kembali ke kamarmu gih, bapak juga mau selimutan dengan ibumu", ujar pak Joni.
"Jangan pak, Nia takut. Biarkan Nia tidur di sini bersama ibu malam ini", pinta Nia yang juga gemetaran dan hampir pipis di celana.
" Duh, bagaimana ini", gumam pak Joni yang ternyata celananya sudah basah. Di antara mereka bertiga, jelas pak Joni yang paling ketakutan karena memang dia yang mengalami kengerian di alas Kumitir waktu itu.
Malam itu, mereka tidak berani keluar dari kamar. Bahkan mereka tidak berani mengunci pagar dan pintu utama. Pak Joni terus terjaga hampir sepanjang malam.
"Pak, tidur lah di sini", ujar bu Eki merasa kasihan kepada suaminya. Ia juga khawatir, jika pak Joni jatuh sakit, siapa yang akan menjaga mereka saat Jampi belum kembali.
" Tak apa bu, istirahat lah. Biar bapak tidur di sofa ini", tolak pak Joni. Meski ketakutan, ia memberanikan diri ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya yang berbau pesing.
"Bu, besok aku akan memeriksa TPU Dongko. Jika itu benar, maka aku akan mencari pak Bekti dan menyampaikan semua ini", ujar pak Joni menguatkan tekad. Bagaimanapun, ia harus mencari putra mereka.
" Iya, asalkan bapak hati-hati ya", jawab bu Eki. Nampak Nia sudah tertidur pulas karena kelelahan dan ketakutan.
"Aku akan mengunjungi pusaramu, Jono", batin pak Joni. Nama mereka memang mirip. Karena itu lah mereka begitu dekat. Saat kehilangan Jono, pak Joni hampir gila. Mereka sudah seperti saudara kandung yang punya hobi sama, yakni memancing ranjau.
lanjuttt.... semangattt