Tabib Pilihan Langit : Ditemukan
"Jampi! Mau sampai kapan kamu begini nak? Ibu saja sudah jadi pegawai tetap di usiamu ini. Bahkan sudah punya 2 anak loh. Kok kamu masih saja pengangguran! Ibu malu sama teman-teman ibu, tetangga juga menanyakan perihal kamu. Tapi ibu hanya bisa mengalihkan pembicaraan", tegur bu Eki, perempuan paruh baya yang hampir pensiun dan lelah menunggu anaknya sukses ataupun berkeluarga.
Jampi, pemuda lulusan sarjana, ipk 2 koma, selesai pun hampir drop out dari kampusnya. Ia hanya bisa diam, karena semua yang dikatakan ibunya adalah kebenaran yang pahit dan harus dia terima.
" Kenapa diam? Ayo jawab nak, ibu harus bagaimana coba?" tanya bu Eki melihat Jampi hanya diam dengan tatapan kosong.
Wajah Jampi nampak putih pucat. Ia duduk sendiri di kasurnya, di ruangan yang tertutup rapat, berbalut selimut. Bahkan ia tak berani membuka lebar-lebar jendelanya karena takut masuk angin. Bu Eki yang kesal dengan heningnya Jampi pun beranjak dan membuka sedikit jendela kamar sebesar 2 x 3 meter ini.
"Gini loh, kamar kok lembab. Nanti yang ada kamu tambah sakit!", tegur bu Eki. Perempuan ini sudah tahu kondisi putranya.
Meski kesal, ia tak berani terlalu menekan mental putranya. Ia hanya bermaksud agar putranya semangat untuk pulih dan menjalani aktivitas pemuda seusianya.
Selepas itu, bu Eki meninggalkan Jampi sendiri. Ia tahu bahwa putranya sangat cerdas, bahkan ia sangat sering juara kelas saat sekolah dasar hingga menengah. Saat kuliah di awal semester, Jampi berhasil meraih beasiswa presetasi.
Namun, sejak semester ke lima lah, bu Eki mulai marah-marah karena Jampi hanya mampu meraih ipk 2,4. Terlebih, Jampi terlalu pendiam. Jangan kan bercerita kepada orang tua, teman saja, hanya 2 orang pria yang dekat dengan anaknya, itu pun tak tahu apa yang dialami Jampi.
" Bu, aku tahu aku ini tidak berguna. Aku juga tak tahu bagaimana mengakhiri semua ini. Huh", desah Jampi sendiri. Pemuda berkaki dingin itu pun membenamkan kedua kakinya yang serasa membeku ke dalam selimut.
Hanya 5 menit saja ia kuat duduk bersandar. Selebihnya, ia hanya bisa tiduran. Hari demi hari, selama 2 tahun, Jampi tidak bisa tidur nyenyak. Hampir setiap malam, ia merasakan kedinginan ekstrim hingga menggigil. Bahkan ia harus tidur dengan posisi duduk agar tubuhnya sedikit hangat dan kepalanya terasa teraliri oksigen. Selang beberapa menit pun, ia harus segera berbaring. Rasa kantuk begitu menyiksa namun keberanian untuk tidur pun sirna. Jampi akan kehabisan nafas dan memaksanya bangun jika tidur selama lebih dari 30 menit di posisi yang sama. Perutnya senantiasa kembung dan begah. Makan tidak nyaman, tidur pun tak bisa ia lakukan karena perutnya keroncongan.
Pagi itu,
"Nak, apa yang kamu rasakan?", tanya bu Eki yang melihat Jampi kram dan pucat. Tangan pemuda itu menunjukkan gejala penyakit gerd, terasa suhu tubuhnya begitu dingin.
Bibir Jampi pun nampak sedikit membiru, tanda bahwa pria ini kekurangan oksigen. Sembari membaluri minyak kayu putih ke tubuh anaknya, bu Eki sedikit mengelus lengan dan kepala Jampi. Ia memandang mata putranya yang masih kosong namun bibirnya memaksakan senyum.
Bu Eki tahu, putranya ini begitu baik hati dan murah senyum. Bahkan di saat separah ini, ia masih berusaha tersenyum di hadapan ibunya.
" Nggak apa-apa kok bu. Ini sudah membaik daripada semalam", jawab Jampi agar ibunya tidak terlalu khawatir. Meski sakit-sakitan, Jampi yang merasa menjadi beban orang tua, tidak ingin menambah beban pikiran ibunya.
"Ya sudah, ini segera sarapan", kata bu Eki sembari menyodorkan semangkuk labu kukus. Jampi hanya tersenyum dan mengangguk sembari menyantap labu itu sedikit demi sedikit. Hanya 5 sendok, ia harus berhenti makan atau perutnya akan sangat begah bahkan muntah. Jampi hanya bisa makan sedikit demi sedikit saja namun tidak boleh berjarak lebih dari 1 jam atau gejala gerd nya akan kambuh.
Saat hendak buang air pun, itu berat baginya.
" Ya Allah", lirih Jampi yang beranjak ke kamar mandi. Ia tidak ingin dipasang kateter dan membebani orang di sekitarnya. Karenanya, ia paksakan diri berjalan ke kamar mandi meski nafasnya terengah-engah. Di dalam kamar mandi, pemuda itu berusaha secepat mungkin menuntaskan hajatnya.
"Aku harus segera tuntas nih", lirih Jampi bergegas membersihkan diri, kemudian mencuci pakaiannya sendiri, dan mandi air hangat. Meski di bawah shower air hangat, Jampi masih merasa kedinginan dan bahkan semakin susah bernafas jika berlama-lama di dalam kamar mandi.
Deg dag deg dug
Jantung Jampi berdegup kencang. Semakin susah bernafas, ia semakin panik karena belum berbilas setelah meratakan sabun mandi sambil menggosok gigi. Segera, Jampi melangkahkan kaki sembari menata nafas agar tidak pingsan.
Jarak kamar mandi dan kamar tidurnya hanya 7 meter, namun itu terasa 100 meter lebih bagi Jampi.
Bugh
Pemuda itu merebahkan tubuhnya segera.
" Alhamdulillah", lirih Jampi setelah meluruskan tubuhnya ke kasur. Ia harus menata nafas agar tidak terus terengah-engah. Meski begitu, butuh 4 jam penuh agar energinya pulih kembali, hanya untuk mandi dan cuci baju.
Di kesehariannya, pemuda itu membuka layanan servis komputer. Sekedar agar ia tak disebut pengangguran.
Hari itu, Jampi dibangunkan ibunya.
" Jampi, ini ada orang yang mau memperbaiki komputer", ucap bu Eki sembari menyodorkan sebuah laptop hitam ke sisi Jampi. Ia tahu putranya bisa memperbaiki laptop meski hanya servis ringan saja. Nampak wajah Jampi bahagia dan susah bersamaan.
Ibunya tahu bahwa putranya sedang sakit, namun ia tak ingin putranya terlarut dalam kondisinya. Ia berharap, dengan banyak gerak, Jampi akan segera sehat.
"Baik bu", jawab Jampi pelan. Setelah mencoba memperbaiki kerusakan sederhana di laptop itu selama 3 jam penuh, tentu Jampi hanya bisa melakukannya sembari tiduran atau duduk sebentar, ia berhasil mendapat sedikit upah jerih payahnya.
" Alhamdulillah ", ucap Jampi sembari menyimpan lembaran 50 ribu itu. Ia merasa bahagia sejenak, namun kemudian tatapannya kosong. Karena yang ia butuhkan sekarang adalah kesehatan, bukan uang atau sanjungan.
" Untuk apa sebenarnya aku hidup? Kondisiku benar-benar menyusahkanku bahkan ibuku pun lelah mengobatkanku", lirih Jampi. Ia tahu sebenarnya tak ada orang tua normal yang tega menelantarkan anaknya. Ia sadar bahwa ini hanya cara ibunya agar ia mau berjuang lebih keras untuk bisa sembuh.
Satu ketika, hari selasa, pukul 10 pagi, Jampi yang kesulitan bernafas dan tubuhnya sangat kedinginan pun mencoba bangkit dari kasurnya. Ia memaksakan diri untuk melangkah ke sofa merah di ruang tamu.
Bugh
Jampi duduk bersandar dengan lemas. Ia melihat ayah, ibu, adik, dan kakaknya di ruang tamu. Mereka sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Huft huft huft
Nafas Jampi terengah, keringat dingin sebesar beberapa biji beras menggantung di dahinya. Ia berjuang keras menahan sakit, melawan rasa dingin, dan sulitnya bernafas. Mulutnya begitu kaku untuk berucap. Hanya sedikit terbuka dan ia putuskan untuk menutup rapat, menghemat tenaga.
"Aku, aku, ugh, tolong aku", batin Jampi yang ingin meminta bantuan keluarganya agar diantar ke rumah sakit terdekat.
" Ugh, percuma juga aku ke rumah sakit. Sepertinya aku akan mati sekarang", batin Jampi yang merasa sia-sia jika meminta bantuan keluarganya. Toh mereka hanya bisa panik. Jika pun di antar ke rumah sakit berjarak 1km, belum tentu dia bisa bertahan sampai tindak darurat petugas medis diberikan.
Putus asa! Itu yang ada dalam benak Jampi. Saat pandangannya mulai menggelap.
Brush
Ibu jari Jampi tiba-tiba terbimbing untuk menyentuh titik tengah toraknya. Rasa hangat begitu kuat menguar, melibas semua hawa dingin yang ia rasakan. Nafasnya berangsur normal, pandangannya pun kembali jernih.
Sebelum itu, di tengah keputus asaannya, ia meminta kepada Tuhan untuk memberinya kesempatan ke dua.
Woosh,
Sebuah kemampuan penyembuhan tiba-tiba muncul di jarinya, jemari petir. Secara ajaib, ia berangsur pulih. Bahkan dalam benaknya, pemuda itu dituntun untuk membuat kasur ajaib yang bisa menyembuhkan keropos tulang dan katarak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Zoelf 212 🛡⚡🔱
mampir
2024-10-27
1
Jimmy Avolution
hadir
2024-09-14
2