Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 25
Lavina kini tengah menunggu Abyan yang belum sadarkan diri. Setelah mendapati pria itu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit oleh Aidan tadi, tentu saja Lavina tak bisa untuk tak acuh dengan keadaan pria yang masih menjadi suaminya itu.
Meski sakit dan kecewa telah ditorehkan oleh Abyan, tetapi rasa kalut tetap ada saat melihat bagaimana menyedihkannya Abyan. Wajah pucat, lingkaran mata menghitam, rambut berantakan, dan rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar rahang pria itu. Sangat tidak terawat sebagai mana semestinya.
“Vina, lo mending tidur juga. Abang gak apa-apa, dia cuma kelelahan kata dokter. Lo juga denger sendiri tadi, kan?” Aidan mencoba membujuk kakak iparnya itu, setelah tadi menyempatkan diri untuk mengantar Luna pulang.
Lavina tetap bergeming di tempatnya. Duduk di samping brankar suaminya, dengan tangan yang menggenggam erat tangan Abyan. Matanya sama sekali tak beralih menatap wajah Abyan yang baru dia sadari lebih tirus dan ada bekas memar.
“Vin, lo gak lupa kalau lagi hamil, kan? Ayo istirahat di brankar sebelah itu. Biar gue yang jaga abang,” lontar Aidan lagi yang kini berhasil mengalihkan atensi si ibu hamil.
“Apa Mas Aby kecelakaan atau jatuh sebelumnya?” tanya Lavina tak mengindahkan bujukan Aidan sebelumnya.
Aidan sontak menghela napas panjang. Mengenal Lavina sejak lama, membuat dia sangat hafal dengan sifat keras kepala temannya itu. “Abang gak pernah kecelakaan atau jatuh. Itu hadiah dari Om Farhan,” balasnya.
Sepasang mata Lavina membola sempurna dengan mulut yang sedikit ternganga. Kenapa bisa ayahnya memberi pukulan kepada Abyan? Apa sebenarnya yang terjadi di belakangnya? Padahal sang ayah selalu menampilkan senyuman hangat setiap hari saat mengunjunginya.
“Gak ada satu pun seorang ayah yang akan diam saja melihat putrinya disakiti, Lav. Jadi, kamu bisa menyimpulkan sendiri apa jawabannya,” ujar Aidan tentunya menjawab rasa penasaran Lavina.
Lantas, ibu hamil itu kembali menatap wajah Abyan yang masih betah menutup matanya. “Seberapa parah papa mukulnya?” tanyanya, enggan mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Entahlah! Gue juga gak tau. Karena gue gak ada di tempat kejadian. Cuma sebelumnya, lebamnya lebih parah dari yang sekarang ini,” tutur Aidan jujur.
Helaan napas berat pun lolos dari bilah bibir Lavina. “Sepertinya, gue harus tanya sendiri ke papa,” gumam ibu hamil itu pelan.
Begitu matahari menjemput, kedua orang tua Abyan datang. Setelahnya kedua orang tua Lavina pun ikut menyusul. Kini, di ruangan rawat inap Abyan, diisi oleh kedua keluarga besar. Sedangkan si empunya yang dirawat masih belum sadarkan diri.
“Pa,” panggil Lavina mengalihkan atensi sang ayah.
“Kenapa, Dek?” Farhan dengan sigap menoleh dan mengelus lembut surai putrinya sayang.
“Papa mukul Mas Aby, ya? Kenapa?” tanya Lavina pelan tanpa basa-basi. Hal itu membuat suasana ruangan itu menjadi senyap seketika.
Farhan menghela napas panjang, sebab dia sangat tahu kalau putrinya itu tidak pernah suka dengan kekerasan. Entah karena masalah apa pun, Lavina sangat tidak mentolerir main tangan seperti itu.
“Maaf, Sayang. Papa lepas kendali waktu dengerin penjelasan Abyan,” ungkapnya tak mengelak.
Tentunya Lavina terkejut dengan pengakuan sang ayah. Sepertinya, penjelasan Abyan sesuai dengan praduganya. Tidak hanya mengecewakannya saja, tetapi juga mengecewakan orang tuanya.
“Otaknya jangan dibuat mikir aneh-aneh, ya, Dek. Saran papa kamu dengerin dulu penjelasan Abyan, ya,” ujar Farhan sukses menarik rasa penasaran Lavina.
“Kenapa semuanya menyuruh buat dengerin penjelasan Mas Aby?” batin Lavina bertanya-tanya.
***
Sejak kembali membuka matanya, Abyan selalu sempatkan mencuri pandang ke arah istrinya. Bohong jika dia bilang tidak senang dengan keberadaan Lavina ketika dia baru sadar dari pingsannya. Bolehkah dia merasa memiliki kesempatan kedua untuk memperbaiki rumah tangganya?
Membangun kembali keluarga kecilnya dengan bahagia? Memberikan seluruh cinta pada istri dan anak-anak mereka kelak? Apakah Tuhan mengizinkannya?
“Turunin egonya dulu, ya, Dek. Biar perasaan kalian bisa sama-sama plong,” pesan Farhan sebelum pulang meninggalkan putrinya berdua dengan Abyan.
Kini suasana di ruangan Abyan seketika menjadi canggung. Atmosfernya terasa dingin, sebab sepasang anak manusia itu tak ada yang membuka obrolan. Sampai helaan napas Lavina berhasil membuat Abyan berani untuk mengambil langkah.
“Lav,” panggil Abyan dengan suara seraknya.
“Mau minum?” Lavina sontak bersiaga. Takutnya Abyan perlu sesuatu.
Tak ingin membuat keadaan menjadi lebih canggung, Abyan pun mengangguk. Lantas, Lavina dengan sigap mengambilkan air minum untuk pria yang menjadi suaminya itu.
Setelah membasahi tenggorokannya yang terasa kering, Abyan kembali memberanikan diri mencekal tangan Lavina yang hendak memberi jarak. “Lav, terima kasih sudah mau merawatku,” ucapnya tulus.
Lavina hanya bergumam tak jelas. Bola matanya bergerak liar, untuk menghindari tatapan Abyan. Hal itu membuat Abyan tersenyum getir, tetapi tak urung juga dia melanjutkan niatnya.
“Kita bicara, ya, Lav. Mas harus menjelaskan semuanya ke kamu. Mau, ya, Sayang?” mohon Abyan.
Tubuh Lavina menegang mendengar panggilan yang sudah lama sekali tidak dia dengar dari Abyan. Apakah memang sekarang waktu yang tepat untuk mendengar semuanya? Sebenarnya, dia tidak siap dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tetapi, dia tak bisa menghindar terus menerus.
Akhirnya dengan gerakan kaku, Lavina menganggukkan kepala. “Jelasin semua,” ujarnya hampir tercekat.
Mendengar hal itu Abyan terbelalak kaget. Namun, tak urung juga dia bernapas lega. Kemudian, dia menyuruh Lavina untuk duduk agar lebih nyaman mendengarkannya. Tak lupa juga, dia mengeratkan genggamannya di tangan Lavina, menyalurkan kekuatan serta sayangnya pada sang istri.
“Maaf, tapi mas mengakui kalau mas memang pernah berpikir untuk menjadikanmu seperti Felita,” aku Abyan yang sukses membuat tubuh Lavina menegang.
Luka yang pria itu torehkan kembali terasa pedih, bak disiram air garam begitu mendengar pengakuan jujur sang suami. Namun, genggaman ditangannya membuat Lavina tak bisa pergi.
“Dengerin dulu, Lav. Mas mohon,” pinta Abyan dengan wajah pucatnya. Mau tak mau Lavina mengangguk.
“Waktu liat foto kamu untuk pertama kalinya, mas kaget karena kamu mirip dengan Felita dulu. Makanya, mas sampai punya pikiran bodoh seperti itu. Menjadikanmu fantasi untuk memuaskan ego mas yang tak terealisasikan. Mas gak akan membela diri akan hal ini, karena mas memang salah. Maafin mas, Lav,” tutur Abyan tanpa mengalihkan tatapan putus asanya ke arah sang istri. Sedangkan Lavina masih bergeming, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Setelah menikah, mas baru mengerti dan sadar bahwa semirip apa pun wajah kalian. Kepribadian kalian beda. Felita ya Felita kamu ya kamu. Kamu Lavina, dengan segala sikap manjanya, sikap ketusnya, sikap cerianya, yang tak takut mengekspresikan apa pun yang kamu rasakan. Dan semua itu buat mas sadar, kamu berhasil membuat mas jatuh hati dengan semua hal yang ada di diri kamu. Mas selalu suka setiap kamu manja, setiap kamu bercerita, setiap kamu mengeluh, karena mas merasa seperti dibutuhkan dan disempurnakan oleh kamu, Lav. Yang sebelumnya tidak pernah mas dapatkan dari siapa pun, bahkan dari Felita pun tidak,” ungkap Abyan panjang lebar sesuai isi hatinya.
Sepasang mata bulat Lavina mengerjap-ngerjap pelan. Masih mencerna semua yang dikatakan Abyan. Terlalu tiba-tiba dan dia tak pernah mengiranya.
“Lav, mas gak pernah menjadikanmu bayangan masa lalu. Kamu adalah Lavina si manja, istri Abyan. Mas benar-benar sayang sama kamu. Mas cinta sama kamu karena kamu Lavina Chandani Ghifari, bukan sebagai orang lain,” tegas Abyan tanpa ragu, menyembunyikan gemuruh di jantungnya.
“Lalu, Kenapa Mas pengen aku bersikap lemah lembut kalau sejatinya Mas Aby gak pengen menjadikanku seperti dia? Kenapa Mas Aby manggil aku seperti Mas Aby manggil dia? Apa Mas bisa jelasin itu semua?” Lavina menatap nanar Abyan di depannya. Sekuat tenaga dia menahan air mata yang sudah memupuk di pelupuk matanya.
Segera saja Abyan memberikan usapan lembut di punggung tangan Lavina. “Mas gak minta kamu untuk bersikap lemah lembut, Lav. Mas hanya minta kamu untuk bersikap sebagaimana seorang istri bersikap kepada suaminya. Mas ingin dekat dengan kamu, mas ingin menjalani pernikahan dengan normal. Makanya mas meminta kamu untuk bersikap sopan, dan gak ketus. Maafin mas, kalau hal itu membuat kamu salah paham, Sayang,” jelas Abyan penuh kelembutan, menatap teduh sang istri, sampai-sampai Lavina dibuat terisak.
“Lalu untuk panggilan yang sama itu,” ucap Abyan menggantung. Dan hal itu berhasil menciptakan tanda tanya besar di benak Lavina.
“Apa?”
*
*
Haloo semuaaa
Masih mau lanjut?