NovelToon NovelToon
JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Poligami / Mafia
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Withlove9897_1

kumpulan fic Jaewoo

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Attached [Oneshoot]

Siapa sangka, penyangkalan dan keliaran Kim Jungwoo membuat Jung Jaehyun ketagihan.

...Cast:...

...Jaehyun as Pengacara Sosialita...

...Jungwoo as Wartawan Majalah Gosip...

...Attached...

...***...

Tuas kaleng soda ditarik hingga terbuka. Tidak sabaran, ia buru-buru meneguk isinya.

"Pengacara? Narasumberku pengacara?"

Serius. Jungwoo sudah bosan protes pada redaktur gilanya itu. Rubrik baru bertitel 'Pria Lajang Impian' tak ada bedanya dengan usaha jualan sampah tanpa diolah. Perempuan jetset zaman sekarang urung memikirkan eksistensi pangeran tampan berkuda putih. Manfaat faktualnya nol. Cuma angan kosong dan pemborosan halaman majalah.

"Kakek-"

"Om, anak muda. Panggil yang benar atau kartu pers abal-abalmu kusita."

"Maniak."

"APA KATAMU, NAK!?"

"Setan!"

Terkejut, Jungwoo tanpa sengaja menumpahkan soda di kemeja merahnya.

"Tidak usah membuatku kaget kenapa, sih!?"

"Siapa suruh mendumal."

"Terserah."

Bosnya memang tidak merokok. Tapi Johnny selalu meneguk minuman keras sesantai mengulum permen-bahkan di jam kerja.

Jungwoo tidak pernah terbiasa dengan bau menyengat dan selalu memilih untuk sedikit menjauh.

"Sekarang berangkatlah, Jungwoo. Time is news. Pastikan ada kabar baik untukku sore ini. Kamu sudah bawa alat perekam, nak?"

Tanpa mengulur waktu menyahut sadistik 'ini udah zaman android' dan semacamnya, Jungwoo mengaduk ransel dan meremas kunci motor. Ia berjalan keluar, tegap melintasi pintu geser otomatis ke lahan parkir. Selalu serba terdesak dan buru-buru.

"Dasar kakek tua bau tanah."

Punggung helm merah terang, berkilap, dipapar jatuhan matahari yang sudah terik sebelum waktunya. Mesin tunggangan si pemuda menderum berani. Membawa pergi Jungwoo dan seluruh uneg-uneg sinting yang terpaksa ditelan begitu saja tanpa saluran pembuangan.

Johnny, minat berlebihan pada wanita, dan titah tak terbantah adalah kombinasi kombo yang tidak pernah gagal membuatnya uring-uringan seharian.

"Mungkin aku harusnya pilih ikut magang gratisan di redaktur koran kriminal atau kantor advertising."

Kim Jungwoo. 20 tahun. Bermimpi jadi wartawan di bawah banner penerbitan berita skala nasional.

Mengisi kegiatan asal karena masih menunggu ijazah dari kampus. Ibu di rumah selalu membesarkan hatinya: anak mami harus kuat jadi kacung sebelum punya kantor redaksi sendiri.

Motor besar itu berbelok. Menyusuri protokol dengan debit kendaraan melimpah, berlomba-lomba membunyikan klakson.

Jungwoo mengingat-ingat alamat pendek yang kemarin diselipkan Johnny dalam genggamannya sebelum jam kerja berakhir.

Gedung firma hukum; Jung Jaehyun and Partners.

Jung Jaehyun yang terkenal itu.

"Pengacara sosialita jualan tampang"-pendapat pertama Jungwoo kemarin disuarakan dengan cuek sambil mengunyah permen karet. Ia memang tidak suka berbasa-basi untuk urusan apapun. Dan sialnya pesan tambahan bos tua, membuatnya makin apatis.

"Tidak usah takut tersasar, Jungwoo. Tanya orang di jalan pasti semua tahu Mr. Jung. Kau akan bersemangat."

Terserahlah.

Jungwoo akan bersemangat kalau sekretaris Mr. Jung, lawyer penyetir nasib selebriti yang berkasus dan sering muncul di infotainment itu

"Siapa tahu nasibku bagus."

Membanting arah tanpa memberi tanda, rem tangan kencang ditarik dan Jungwoo bergerak turun dengan malasnya.

...***...

"Wawancara? Dari majalah atau tabloid apa?"

"Cosmopolitan. Janjinya atas nama Johnny Suh."

"Oh, baiklah... Mr. Joh-"

"Kim Jungwoo," ralatnya.

"Ah. Baik, Mr. Kim. Hari ini Mr. Jung memiliki delapan janji dengan media massa . Masing-masing bisa bertemu dengannya selama sepuluh menit. Anda bisa menunggu? Mungkin satu jam. Beliau sedang bertemu klien."

Jungwoo mengangguk. Lekas beranjak sembarangan menduduki sofa kosong dan bersandar. Berpikir apakah dalam satu jam ke depan ia tidur saja. Bahkan jadwal Jung Jaehyun lebih padat dari presiden.

Jungwoo menyesal tidak bawa laptop. Setidaknya ia bisa menunggu sambil mengolah artikel mentah online atau melakukan apapun yang lebih berguna.

"Jadwal konferensi pers dengan wartawan sudah diset untuk hari Minggu jam 8. Pastikan Mr. Jung hadir dan dan berbicara meyakinkan sebagai kuasa hukum saya"

Jungwoo mengangkat mata dan tidak terkejut. Yang sedang bersalaman dengan bawahan Jung Jaehyun adalah model cantik Krystal. Sosialita kelas atas itu sedang terjerat kasus 'penganiayaan istri muda.'

Jungwoo justru tertarik dengan sosok semampai berjas marun yang tidak banyak bicara. Berjalan anggun. Membuatnya refleks memaksakan senyum aneh saat sekilas dilirik.

Salah tingkah.

"Yena, siapa yang harus ditemui Mr. Jung selanjutnya? Aku tidak sempat buka catatan."

Jungwoo diam-diam berdoa sang wanita cantik-siapapun nama depannya-tidak terlibat skandal majikan-pelayan dengan Jung Jaehyun.

"Harusnya... eum, dengan Mrs. Jennie Kim. Tapi orangnya belum datang. Apa kau keberatan untuk membawa Mr. Kim dulu?"

Namanya sudah disebut. Jungwoo buru-buru berdiri. Menyusut tangan di serat celana, berusaha tampak formal agar mengesankan.

"Halo."

Dahi Yena berkerut. "Klien?"

"Bukan. Dari Tabloid Cosmopolitan," Jungwoo menyeringai bangga.

"Apa itu? Acara TV?"

Sial. Sepulang dari sini Jungwoo merasa wajib memprotes Johnny lagi soal trik promosi perusahaan mereka.

"Ah, dari manapun Anda-"

Choi Yena tampaknya bukan gadis labil yang suka buang-buang kosakata. Jungwoo makin terkesima.

"-mari ikut saya bertemu Mr. Jung. Anda punya waktu lima menit untuk wawancara."

"Eh? Bukan sepuluh?"

Jungwoo berlari kecil mengikuti langkah cepat Yena.

"Lima menit. Injury time satu menit."

Jungwoo tak paham Jung Jaehyun dan sepeleton bawahannya itu orang-orang macam apa.

...***...

Jungwoo selalu tahu bagaimana harus memulai.

Namun ia tidak pernah tahu, bagaimana cara memulai tanpa harus terkesan buru-buru.

"OK. Saya Kim Jungwoo."

Lelaki tampan yang berdiri di depannya menatapnya-sementara Jungwoo sendiri sibuk memasang perekam.

"Kau gugup?" Pengacara itu bertanya,

"Apa aku membuatmu takut?"

"Tidak sama sekali," Jungwoo buru-buru menampik.

"OK. Lebih baik segera kita mulai. Aku tahu Anda tidak punya banyak waktu. Jadi ... pertanyaan pertama, Mr. Jung-"

"Jaehyun."

"OK. Mr. Jaehyun."

"Jaehyun."

Narasumbernya hari ini ternyata cukup menjengkelkan, dan tidak bisa diajak mengikuti jamnya yang seolah selalu berdetak lebih cepat dibanding waktu normal.

Jung Jaehyun, 27 tahun. Penampilan dan kerapiannya di atas rata-rata. Kepopulerannya telah lama menjadi menjadi huru-hara-tapi Jungwoo sungguh tidak menyukai tatapan intimidatif lelaki itu.

Jungwoo tidak suka diamati tanpa kedip. Berusaha menyibukkan diri dengan menulis, Jungwoo menangkap apa saja pada catatannya. Apapun kesan pertama. Yang fakta maupun cuma hasil terka. Ini dan itu. Negatif. Positif. Semua ditulis tanpa terlupa.

Padahal kalau saja ia masih bisa berpikir efektif, perekam yang dipasangnya pun sudah cukup mendokumentasikan interview mereka.

Jungwoo menarik napas dalam, tanpa sadar.

"Jika sudah siap kita mulai saja," Jungwoo kembali membuka suara

"Pertanyaan pertama... Kenapa mengambil bidang keahlian hukum? Apakah kau adalah tipe manusia yang sangat berpegang teguh pada aturan, norma, adat dan semacamnya? Apakah kau konservatif?"

Pertanyaan yang mengalir kaku seperti robot. Tapi Jaehyun justru menerimanya lebih lembut dari yang Jungwoo sangka.

"Tidak. Justru sebaliknya," sang pengacara menjawab dengan suaranya yang meleleh di telinga Junhwoo

"Aku sangat mencintai kebebasan dan kontra terhadap pengekangan dalam bentuk apapun."

"Baik, kau memang selalu tampak mumpuni dalam urusan membebaskan orang."

Pena tergores cepat tanpa aturan. Tulisan cakar ayam. Pemuda itu terus menunduk. Karena Jungwoo tidak tahu mengapa setiap kali melirik, Jaehyun selalu terlihat mengawasi dirinya.

"Kau bahkan bisa membebaskan penjahat kelas kakap yang untuk ukuran orang normal seharusnya dia sudah tidak termaafkan. Kau cukup hebat di bidangmu."

Senyum tipis lelaki itu menyimpul samar.

"Tidak ada kesalahan yang tidak termaafkan kurasa. Dan, Jungwoo, aku tidak hanya gemar membebaskan orang. Aku juga sangat gemar membebaskan diriku sendiri. Dalam perkara apapun aku sangat bebas dan tidak bisa diikat."

Jungwoo berdecak tak sopan. "Entah kenapa kau sekarang terdengar seperti orang yang berminat melajang selamanya, Jaehyun."

"Aku tidak berminat..." senyuman Jaehyun tampan terpulas

"...asal kau mau denganku."

"Apa?"

"Kidding."

Sebuah dengusan. "Siapa juga yang mau denganmu."

Ujung sepatu mengetuk lantai. Bagi Jungwoo, berduaan dengan seorang bujangan populer yang selalu menanggapi sindiran-sindirannya dengan tenang adalah siksaan.

"Padahal tadinya aku ingin bertanya padamu seperti apa tipe pasangan idealmu. Tapi kurasa pertanyaan itu lebih baik kucoret saja."

Alis Jaehyun terangkat. Ekspresi Jaehyun di mata Jungwoo bagai memberi isyarat jika mereka seharusnya duduk bersisian.

"Jika kau tanya tipe pasangan idealku," telunjuk dan jari tengah Jaehyun menekan bibir yang menggoreskan seringai.

"Seperti orang yang sedang berada di depanku, kurang lebih."

"OK, aku tahu. Dia kan? Sekretarismu memang menawan."

Jungwoo melirik ruang sebelah. Cjoi Yena sedang mengetik sesuatu, dibatasi dinding kaca dari mereka berdua, seperti orang beda dunia.

Gadis muda itu memang cantik. Dan melihat Jung Jaehyun yang-di mata hampir semua orang-terlihat serba sempurna, Jungwoo tahu diri untuk tidak berharap terlalu jauh. Choi Yena tidak mungkin melirik dirinya.

"Nona itu memang sangat menawan. Kurasa semua pria normal menyadarinya. Kurasa kalian wajar jika terjebak... dinamika cinta antara atasan dan bawahan."

Namun Jaehyun justru menggeleng, mengambil pena Jungwoo, mencoret sembarangan lima kata yang terakhir digores.

"Maksudku bukan Choi Yena."

Jungwoo menggeser duduk. Perasaannya tidak enak. Ia bertanya,

"Lalu siapa?"

"Orang yang duduk di depanku," jawab Jaehyun tanpa canggung,

"Sepuluh menit lalu ia memperkenalkan diri sebagai Kim Jungwoo."

Alis Jungwoo bertaut. "Apa katamu?"

Tatapan tajamnya seakan ingin mencabik kulit Jaehyun seperti capit kepiting. Benar-benar baru sepuluh menit dan di luar dugaan Jungwoo sudah merasa suntuk.

Jung Jaehyun barangkali makhluk dunia lain yang tidak tahu aturan standar di bumi manusia. Lagipula-apa-apaan senyum kalem yang tidak pernah tanggal itu?

Jungwoo ingin sekali melempar pena ke wajah hipokrit sang pengacara.

"Kurasa bosku yang botak itu memang sudah salah memilihmu sebagai narasumber," Jungwoo mendumal.

"Kau sangat salah untuk diwawancarai. Seperti tidak ada gunanya."

"Memangnya kenapa?" Jaehyun balik bertanya

"Bukankah kau wartawan majalah gay?"

Jungwoo hampir tersedak ludah sendiri.

"Apa katamu?"

Tersinggung berat.

"Apa aku salah bicara?" Jaehyun balas bertanya.

"Tentu saja kau keterlaluan salah," Jungwoo mengaduk tas.

Menyodorkan sampel majalah yang sudah terbit minggu lalu.

"Aku adalah wartawan tabloid wanita dewasa. Aku sedang mengisi rubrik Pria Lajang Impian dan sangat mencengangkan karena ternyata narasumberku hari ini adalah penyuka sesama jenis. Sepertinya memang aku harus pergi sekarang. Ini sungguh membuang-buang waktu."

"Ah, begitu." Jaehyun menggulung majalah di tangannya. Menepuk-nepuk telapak, tetap tidak menunjukkan emosi berlebih seperti Jungwoo yang selalu saja ekspresif.

"Aku bukan gay, Kim Jungwoo. Aku hanya mengatakan kalau tipe pasangan idealku adalah orang sepertimu. Entahlah, tapi kurasa sangat menarik menjalin hubungan dengan orang yang selalu blak-blakan dan emosional dalam mengungkapkan pendapatnya. Apakah kau juga penganut paham kebebasan sepertiku? Kurasa kita akan bisa berhubungan baik."

"Berhubunganlah sana dengan keset kaki, Jaehyun. Maaf, tapi aku penganut paham stay clean dari orang-orang sepertimu," Jungwoo mendumal penat.

"Kau bilang bukan gay, tapi mengatakan tipemu adalah yang seperti aku. Informasi tambahan, Jaehyun. Aku ini laki-laki. Tulen. Setulen-tulennya. Aku memiliki otot dan aku berjakun. Jadi apakah aku harus mengarang di sini... bahwa Jung Jaehyun menyukai perempuan berdada besar, berhidung mancung, berambut panjang, dan dia bukan gay-"

"Terserah saja," seringai Jaehyun muncul kembali

"Tapi aku bisa memperkarakanmu karena menulis sesuatu yang tidak benar tentangku di media massa."

Mata Jungwoo berputar sinis. "Aku tidak tahu ternyata kau selicik ini, Jaehyun. Pantas saja kau bisa membuat seluruh dunia jadi berpaling padamu."

Lama-lama Jungwoo merasa... senyuman Jaehyun mengesankan bahwa lelaki yang pasti lebih tua darinya itu hanyalah robot yang disetel penuh tata krama tapi tak punya jiwa.

Jung Jaehyun mengherankan dan membuat kesal dalam banyak arti. Sikap serba teraturnya bukan meneduhkan, malah presisten memanasi isi tengkorak.

Entah dia manusia, separuh troll, ataukah siluman.

"Tanyakan yang lain. Mumpung aku masih mau melayani wawancaramu, Jungwoo."

Tidak mau juga terserah-Jungwoo mulai tak fokus. Membalik-balik halaman buku catatan, menyentil-nyetil ujung kertas, mengetuk-ngetuk pena tanpa nada hanya untuk membunuh kesal yang selalu saja sulit ia kendalikan.

Sementara Jaehyun masih berdiri, bersandar di meja kerja, bersidekap. Mengawasinya seperti anak TK yang baru bisa belajar menulis dan menunggunya berbuat kesalahan untuk dicela atau dikomentari.

Jaehyun tipe manusia penuh selidik, pandai mengambil celah dan cerdas melakukan serangan balik-Jungwoo bukannya menghormati, malah secara keseluruhan menyadari penggambaran hiperbolis publik tentang 'Jung Jaehyun adalah sampel lelaki pujaan masyarakat', perlu dicoret dengan spidol blok. Dimusnahkan habis dari muka bumi.

"Kau tidak punya ide untuk memberiku satu pertanyaan lagi, Jungwoo?"

"Ceritakan saja apa yang menurutmu berhak masuk dalam domain publik," Jungwoo menyambar tak sabar. Ia sudah menutup buku dan hanya menyiapkan alat perekam.

Sebisa mungkin akan dibantainya kemungkinan bahwa Jung Jaehyun akan muncul di majalah mereka minggu depan. Johnny tidak akan bisa membantah jika ia punya alasan masuk akal.

"Aku tidak akan bertanya"-lebih tepatnya, ia sudah tidak berminat bertanya.

"Baik. Kalau begitu biar aku saja yang bertanya padamu." Jaehyun tersenyum kalem. "Kau lajang atau punya pacar?"

"Punya pacar"-tapi sudah putus awal tahun lalu-"Dan pacarku adalah seorang perempuan. Mau apa kau."

"Baguslah kalau begitu."

Jungwoo penasaran kenapa Jaehyun tidak tampak kecewa, dan mendadak memarahi diri sendiri karena ia sedikit berharap Jaehyun setidaknya mendengus atau melirik sinis.

Kenapa pikirannya jadi ambigu dan paradoksal begini-ujung pena itu terlihat sangat lancip untuk mengorek gelambir otaknya yang mulai dicemari wajah tak berdosa Jung Jaehyun. Lelaki itu pasti bermental penjebak, dan menyesatkan seperti narkotik.

"Kau memang membutuhkan perhatian dari seorang gadis agar tidak terperangkap dalam orientasi lain yang bisa membuatmu kacau balau, Jungwoo."

"Aku straight, Jaehyun. Terima kasih atas peringatannya. Aku tidak akan terperangkap sekesepian apapun aku"

-apalagi kalau pemerangkapnya adalah lelaki hipokrit macam kau-

"Lagipula tanpa harus menghabiskan waktu berpacaran pun sebenarnya aku menyukai kegiatan fisik seperti outbond, atletik, menembak, berkuda, melewatkan sore hari sampai berkeringat di gym-heh, kenapa aku jadi bercerita padamu coba? Kau ini sedang memancingku untuk bercerita atau apa?"

Curiga level maksimal. Jungwoo masih tidak bisa menebak apa maksud dari senyuman tampan yang selalu tersungging itu.

Eh, tampan?

Kepala batu Jungwoo berpaling.

Pura-pura menatap Yena yang masih sibuk sendiri dengan layar monitornya.

"Ternyata kau suka olahraga, ya. Aku belum tahu di kota ini ada gym yang lebih baik dari Neo Gym yang berada di basement Lotte Avenue-"

"Ah, jangan salah!"

Jungwoo menggeleng antusias. Seketika bercerita sendiri tanpa perlu diberi aba-aba. Ia bisa memulai pembicaraan dengan sangat mudah tentang sesuatu yang disukainya.

Dan demi mendengarkan itu, Jung Jaehyun mengambil tempat di sofa panjang yang sama, memberikan kesan sangat tertarik dan tidak sekalipun menyela.

"Neo Gym memang bagus, tapi sekarang perangkat treadmill-nya dikurangi. Kalau mau latihan angkat beban kadang juga harus antre. Aku lebih suka berlatih di First Class Fitness Club. Kau tahu, Jaehyun? 24 jam bebas keluar masuk untuk yang sudah jadi member. Aku sudah setia latihan di sana sekitar dua tahun terakhir."

"Ah, begitukah," Jaehyun menyahut

"Tapi sejujurnya aku jarang punya waktu untuk berolahraga kecuali pada akhir pekan."

Menarik. Jaehyun melihat sendiri binar mata Jungwoo yang membuatnya bersinar-sinar seperti ledakan kembang api. Saturasi antara minat murni dan kejujuran yang kadang-kadang kelewat berlebihan sampai sering menceploskan hal tabu.

Bocah galak ini ternyata juga sangat cerewet.

"Jadi kau benar-benar suka berolahraga, ya Jungwoo?"

Senyum Jaehyun memang tidak pernah pudar. Rasa terkesima dan geli, untuk seorang Jung Jaehyun, ternyata masih cukup sulit didestilasi.

"Iya," Jungwoo tanpa sadar menunduk. "Seperti... laki-laki pada umumnya."

Kim Jungwoo cukup berhasil menggoda dunianya yang selalu terasa kering. Seperti matahari musim panas, sekaligus mendung tebal yang membawa hujan.

"Memangnya...," mata kalem Jaehyun menembus mata Jungwoo yang mulai berlarian mendadak karena ditatap terlalu dekat, ada percikan ganjil mengganggu batin

"...Kalau olahraga begitu idealnya jam berapa agar pembakaran kalori berlangsung maksimal? Aku sepertinya hanya bisa berolahraga sekali seminggu." Pertanyaan macam apa yang terlontar dari mulutnya-Jaehyun sungguh sudah tidak peduli.

Dan nyatanya Jungwoo masih menyambar dengan rentetan kosakata penuh semangat.

"Kau bisa datang pada akhir pekan, Jaehyun. Sekali seminggu sudah lumayan daripada tidak sama sekali. Kesehatan itu mahal. Kalau sudah sakit baru kelimpungan," si wartawan muda menandas sok tahu

"Aku juga selalu datang pada akhir pekan. Besok hari Sabtu kan. Aku akan pergi ke First sekitar jam empat sore karena kantorku hanya libur pada hari Minggu-HEH? Kenapa aku jadi bercerita aneh-aneh denganmu, sih? Tadi kan aku sudah mengakhiri wawancara!"

Jaehyun menahan tawa sampai terbatuk pelan. "Belum kok, belum kau akhiri. Lagipula aku mendapatkan rekomendasi fitness center yang bagus darimu."

Pena runcing teracung galak. "Jangan ikut jadi member di sana Jaehyun-kuperingatkan kau."

"Kenapa? Kan jadi ada teman mengobrol nanti kalau kau sedang berlari di atas treadmill."

"Asal kau tahu aku tidak mau berteman dengan buaya sepertimu Jaehyun."

"Bagaimana kau tahu aku buaya sementara jadi pacarku saja kau belum pernah? Tertarik mencobanya...?"

"Aku juga pria, Jaehyun. Standar pria buaya semua kau miliki. Tidak hanya tampang, tapi juga reputasi. Ck, cocok sekali kau ini dengan klasifikasi ilmiah lelaki jahanam penebar ranjau darat. Aku pergi sekarang-e-eh! J-Jaehyun!"

Jaehyun-untuk yang kesekian juta kalinya di mata Jungwoo-tersenyum seolah seluruh dirinya terbentuk dari unsur malaikat, padahal Jungwoo dengan jelas bisa mengendus aura iblis yang sangat tajam dari sang lawyer.

"J-Jaehyun ..."

Jungwoo mundur, menjauhkan diri, makin melekatkan punggungnya dengan sandaran kursi.

"Ap-apa yang kau lakukan, J-Jaehyun!?"

Jung Jaehyun yang menunduk di hadapannya, mendekatkan hidung, membaui bekas tumpahan minuman di atas kemeja Jungwoo.

"Soda? Apa kau minum sambil salto hingga ada soda tumpah ke bajumu?"

Kenapa juga dia peduli!

"J-Jaehyun!" Jungwoo makin merah padam.

"Menjauhlah! Aku risih! Cukup-J-JAEHYUN!"

Napas berat dihela. Jaehyun menjauh. Jungwoo kembali merapikan duduk. Jujur, jantungnya hampir rubuh gara-gara diendusi pria tampan-DAN KENAPA JUGA DIRINYA HARUS SETEGANG ITU KALAU TIDAK TERTARIK PADA DEDEMIT JUNG JAEHYUN!?

Diam-diam Jungwoo stres, tanpa sadar melirik pintu keluar.

Jaehyun di balik meja, mengaduk-aduk tas kerja, menarik selembar kemeja yang terlipat rapi Dilemparkannya benda itu ke pelukan Jungwoo. "Ganti bajumu Jungwoo"

"E-eh?" Pria yang lebih muda ragu.

"U-untuk apa?"

"Untuk dipakai. Lekas tukar kemejamu sekarang, Jungwoo. Tenang saja, bajuku bersih."

Jungwoo makin depresi.

"Bukan itu masalahnya." Jungwoo menatap Jaehyun, enggan.

"Masalahnya, untuk apa?"

"Aku selalu peduli dengan kebersihan dan kerapian semua hal yang melekat di tubuh-termasuk di tubuh tamu specialku. Kau." Jaehyun menarik kemeja di tangan Jungwoo, membantu membuka kancingnya satu-persatu.

"Pakai saja. Gratis. Tidak usah dikembalikan."

"OK." Jungwoo siap melangkah keluar. "Aku pakai di toilet-"

"Hei." Jaehyun kembali memanggil, mencetus, "Ganti saja di sini. Kita sesama lelaki."

"Tidak." Jungwoo menggeleng kencang. "Aku tidak biasa ganti pakaian di hadapan orang asing."

Lengan bersidekap. "Lho, aku orang asing?" Jaehyun balas bertanya, "Kupikir kita sudah berkenalan setengah jam lalu. Apa kau sudah melupakan namaku?"

Jungwoo sungguh tidak mengerti bagaimana pola pikir lelaki itu.

"Pokoknya aku tidak mau ganti di sini"-alasan dicari-cari-"Lihat, ada sekretarismu."

"Dia melihat pun tidak masalah kan?" Jaehyun melirik. "Kau kan tidak punya payudara."

"JAEHYUN!"

"Atau jangan-jangan kau ini sebenarnya wanita, Jungwoo?"

"JANGAN SEMBARANGAN! KAU MAU BUKTI KALAU AKU BENAR-BENAR PEJANTAN!?"

Bagaimanapun, Kim Jungwoo tetaplah Kim Jungwoo. Sangat mudah membuat tensi darahnya naik hanya dengan bermodal satu sentilan.

Jaehyun menyembunyikan senyum tertahannya saat melihat Jungwoo melucuti kemeja di depan matanya.

"Benar-benar otot hasil latihan,"Jaehyun, sang pengacara berkomentar.

"Aku juga ingin jadi member tempat kau berolahraga kalau begitu. Aku tidak mau kalah dari bocah bau kencur sepertimu, Jungwoo."

"Tentu saja. Bagaimana? Aku gagah bukan?" Jungwoo-dengan bodohnya-menyodorkan lengannya untuk dipijit Jaehyun. "Apa lenganmu sekencang aku?"

"Hm, sepertinya masih kokoh ototku. Tapi untuk bocah seusiamu, tubuhmu lebih dari sekedar menarik untuk dilihat." Jaehyun sengaja menyentuh dada Jungwoo. Dan sedikit menggoda putting pemuda itu.

Belum terlalu terbentuk memang, kalau dibandingkan dengan miliknya sendiri. Tapi jujur saja, hobi olahraga pemuda itu memberikan kontribusi besar untuk tubuh tegapnya yang kencang dan 'menjual'.

Telapak Jaehyun terpulas di atas rusuk Jungwoo.

"Kau berkeringat. Apa kantorku panas?"

"T-tidak!" Baru sadar (setelah sempat tertegun begitu lama)

Jungwoo buru-buru mengambil tas dan barang-barangnya. Insting penyelamatan diri berteriak agar dirinya segera kabur.

"Terima kasih atas waktunya-heh, kembalikan catatanku. Jaehyun! Siapa suruh kau membacanya!? Lancang! Berikan padaku, Jaehyun!"

Sayang sekali, Jung Jaehyun memang lebih gesit darinya.

"Hm. Deskripsi fisikal...," Jaehyun iseng membaca, menjauhkan bundelan penuh coretan itu dari tangan Jungwoo yang menggapai-gapai. Suaranya sengaja dikeraskan,

"Tidak bisa dipungkiri, sekali wanita melihat seorang Jung Jaehyun pasti tidak akan pernah lupa seperti apa mata teduh itu memandang lembut tapi mengintimidasi-hei, benarkah pandanganku terlihat berpotensi mengintimidasi? Atau jangan-jangan hanya kau yang merasa terintimidasi olehku?"

"Terserah! Terima kasih atas waktunya," Jungwoo merah padam. Buru-buru berdiri dan berkata ketus.

"Selamat siang dan selamat tinggal!"

Bocah galak berjalan keluar tanpa pikir panjang. Bahkan ia lupa kalau sejak tadi sebenarnya masih berharap bisa 'diantar' Choi Yena.

Jaehyun membersitkan senyum penuh arti, melirik kartu pers tak resmi yang tergeletak damai di atas meja kerjanya.

Kadang-kadang, sengaja melakukan kejahatan kecil akan membawa dampak mengejutkan yang tak terduga.

Jung Jaehyun sangat mengerti aturan sebab-akibat itu. Dan barangkali akan menyenangkan jika ia melakukan kejahatan-kejahatan kecil mulai hari ini ... dengan sangat rapi dan terencana.

Kim Jungwoo barangkali bisa membuat hari-harinya yang kering terasa lebih semarak, kesampingkan kenyataan bahwa kelakuan bocah pasca pubertas itu sedikit norak.

"Menarik."

Mungkin ia harus meluangkan sedikit waktu untuk bertemu bocah itu lagi akhir minggu ini. Ah tidak sepertinya malam ini.

"Yena, aku harus bertemu dengan siapa lagi setelah ini?"

Bersikap normal, kartu Jungwoo yang tertinggal itu telah melesap ke saku jasnya.

End

See you... Ready for the next story??

1
🌸 Airyein 🌸
Buset bang 😭
🌸 Airyein 🌸
Heleh nanti juga kau suka. Banyak pula cerita kau woo
🌸 Airyein 🌸
Bisa bisanya aku ketinggalan notif ini
Novita Handriyani
masak iya tiap kali selesai baca harus ninggalin jejak, Thor. saya hadir ✋️
Novita Handriyani
ngga suka cerita sedih
Novita Handriyani
kayaknya pernah baca nih cerita
kebikusi
astaga cerita ini mau dibaca berapa kali kok tetep bikin berkaca-kaca ya, untung banget punya otak pikunan jadi setiap baca selalu ngerasa kaya buat yang pertama kalinya.. NANGIS
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!