Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
“Bukan cuman hot lagi..,”
“Nek ibu kan sudah tidak ada, jadi lebih baik kita tidak perlu membahasnya lagi,” ujar Santi memotong pembicaraan Mak Erot. Sedangkan Burhan hanya senyum-senyum saja tidak berbicara, ia seperti orang lain yang tengah menyimak pembicaraan.
“Begini Mak Erot, saya mau pernikahan saya sama Santi dipercepat karena saya sudah tidak sabar lagi mau malam pertama dengan Santi.”
Mbah Jarwo menjilat bibirnya seraya menatap mesum ke arah Santi.
“Bisa diatur asal Mbah jangan lupa sama uang panainya.”
“Yang seratus juta kan? Tenang ini saya bawa,” ujar Mbah Jarwo, menjentikkan tangannya sebagai kode kepada anak buahnya untuk mengambil uang seratus juta dari kopernya.
Dan dengan cepat bodyguardnya langsung membawakan satu koper uang bernilai seratus juta.
“Ini untuk kalian Mak Erot,” ujar Mbah Jarwo langsung memberikan sekoper uang senilai seratus juta kepada Mak Erot.
Mak Erot langsung meraih uang itu begitu pula dengan Burhan, mata mereka langsung memerah ketika melihat uang itu. Ternyata sebelumnya, Mak Erot sudah membicarakan hal ini kepada Mbah Jarwo. Bahwa Mak Erot punya cucu yang bisa dinikahkan kepada mbah Jarwo asalkan uang panainya seratus juta.
,“Ini uang asli semuakan Mak?” tanya Burhan kepada emaknya.
“Tenang itu semua asli dan cas, makanya saya minta secepatnya kalian undang keluarga kalian semuanya, sebab dua hari lagi saya dan Santi akan menikah di rumah saya,” ujar Mbah Jarwo
“Baik baik,“ ujar Mak Erot cepat.
“Ya sudah kalau begitu kami pulang dulu, saya mau melihat kambing,” ujar Mbah Jarwo
“Tidak sekalian saja Santi dibawa serta, kan dua hari lagi akan menikah,” tawar Mak Erot.
“Mas, Santi di sini dulu ya, kan Santi juga perlu kasih tau adik-adik Santi,” bujuk Santi. Kepada Jarwo
“Tidak perlu Mak Erot, biarlah Santi di sini dulu, mengurus adik-adiknya sebelum dia saya boyong ke rumah saya,” ujar Mbah Jarwo.
“Ohhh ya sudah kalau begitu maunya mbah Jarwo.”
Setelah Mbah Jarwo pergi, Santi langsung pergi.
“Heii kau mau ke mana?” tanya Mak Erot, dia masih asik memegang uang yang begitu banyak.
“Ke kebun Nek, mau bujuk Riski.”
“Alahhh biarkan saja adikmu itu,” sahut Mak Erot, tapi Santi tidak menghiraukannya ia berjalan menuju kebun.
“Mbak mau ke mana?” tanya Sisil dan Lili yang sedang bermain di halaman samping rumah.
Tadi Sisil dan Lili sengaja di suruh oleh Mak Erot untuk pergi ke luar rumah bermain, agar tidak mengganggu di rumah saat Mbah Jarwo datang.
“Mau ke kebun menjumpai abangmu,”
“Ikut…,” Sisil dan Lili merengek, dan berlari ke arah mbak mereka.
Santi merasa ini saatnya mereka berenam untuk bisa berkumpul, mumpung di kebun sepi hanya ada dia dan adik-adiknya. Kakeknya Bayan pergi ke warung kopi, Mak Erot dan Burhan sedang di rumah bersenang-senang dengan uang panainya, maka ini adalah kesempatannya.
“Sisil, Lili tunggu sebentar ya, mbak ke rumah dulu, ambil boneka kalian,” ujar Santi.
Sisil dan lili pun mengangguk.
Santi kembali lagi ke rumah, tapi kali ini ia tidak lewat dari pintu depan melainkan dari samping, ia masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Mak Erot dan Burhan sedang asik menghitung uang seratus juta, memastikan bahwa tidak ada sepeserpun uang itu yang berkurang, sehingga tidak memperdulikan lagi sekelilingnya. Santi masuk pelan-pelan dari jendela. Kebetulan jendela kamarnya ia buka, karena seperti biasa, pagi sampai sore jendela itu akan terbuka agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan kamar dan sirkulasi udara terjaga. Dan jendela kamar itu akan ditutup jika sudah malam
Untuk berjaga-jaga Santi terlebih dahulu mengunci pintu kamarnya dari dalam, kemudian ia mengambil tas, dan memasukkan pakaiannya dan pakaian adiknya ke dalam tas. Pakaian mereka tidaklah banyak, sebab maklum saja mereka itu jarang sekali beli pakaian, hanya sekali setahun itupun belum tentu.
Setelah itu ia masukkan juga main-mainan adiknya yang dulu ia beli pakai dengan uang hasil pinjaman ibunya kepada pak Bani.
Beruntung perlengkapan mereka tidaklah banyak. Semuanya cukup di taruh di dalam satu tas berukuran sedang aja, setelah itu ia lompat dari jendela, dan mengendap-endap menemui kedua adiknya Sisil dan Lili.
“Ayo…” ajak Santi kepada adiknya.
“Mbak kok bawa tas kita mau ke mana?” tanya Sisil
“Kita mau ke kebun jumpai abangmu, sudah jangan banyak tanya ikut mbak,” ujar Santi.
Tasnya ia taruh di bahu sebelah kiri, dan kedua tangannya menggenggam masing masing tangan adiknya, Sisil di sebelah kiri dan Lili di sebelah kanan. Santi berjalan cepat agar adik-adiknya juga jalan cepat. Beruntung ini masih pukul 12 siang, itu artinya para penduduk desa masih tengah berada di kebun mereka masing-masing, jadi perkampungan sepi, sehingga tidak ada yang menyaksikannya pergi dengan membawa tas begini.
Sesampainya di kebun, ia melihat ketiga adiknya sedang membersihkan ke kebun dengan menggunakan cangkul. Ia tidak tega tubuh kecil adiknya mengangkat cangkul yang besar. Apalagi Ujang, bahkan cangkul lebih besar dari tubuhnya.
“Riski, Ujang, Ridho sini?” panggil Santi berteriak dari pondok.
Riski langsung menoleh ke arah sumber suara, begitu pula dengan Ujang dan Ridho.
“Itu mbak…” ujar Ujang sumringah langsung berlari ke pondok menemui Santi.
“Bang ayok ke pondok, mbak datang itu," ujar Ridho.
“Malas ah, kamu saja aku mau lanjut kerja,” ujar Riski.
Ridho menelisik, ternyata di pondok tidak hanya ada mbak Santi, tetapi ada Sisil dan Lili.
“Tapi sepertinya itu penting bang, soalnya Lili dan Sisil juga dibawa sama mbak Santi, “ ucap Ridho.
Riski pun menghentikan sejenak kegiatannya membersihkan kebun, dan menatap ke arah pondok, benar saja di sana bukan hanya ada Santi, tetapi juga ada Lili, dan Sisil.
Jarak pondok ke tempat Riski dan Ridho sebenarnya lumayan jauh, tapi karena penglihatan mereka yang masih jelas, jadi mereka bisa melihat dari jarak jauh siapa saja yang ada di di pondok
“Riski Ridho!” panggil Santi sekali lagi. Tangannya ia lambaikan agar Riski dan Ridho datang
“Yok bang” ujar ridho, meletakkan cangkulnya di sembarang tempat, dan berlari ke pondok.
Riski pula sebenarnya ia malas sebab keputusan mbaknya untuk menikah dengan kakek peot, tapi melihat adik adiknya semuanya ada di pondok, ia pun turut serta.
Sesampainya di pondok Riski langsung duduk di pojokan dan meneguk air dingin, tubuhnya di penuhi keringat.
“Mbak kok bawa tas, mau ke mana?” Tanya ridho, yang baru menyadari bahwa ada tas kain di pondok itu.
Riski melihat ke arah pandangan Ridho, lalu ia mengernyitkan kening, tapi ia diam ia tidak mau berkomentar, ia masih marah kepada mbaknya.
gak punya anak kah gmn klo posisi ke 5 adik santi adalah anaknya... gak suka dg spt ini thor