Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasang Karpet Baru
Ciumannya lambat dan tenang. Itu kebalikan dari denyut nadi gue.
Tangan kanannya bergerak ke belakang kepala gue, dan tangan kirinya melingkar ke punggung bawah gue. Dia menjelajahi mulut gue dengan sabar, seakan-akan dia berniat buat menjaga gue di balik gorden ini seharian.
Gue mencari sisa kekuatan gue buat tahan diri dari dia agar gue enggak melingkarkan tangan dan kaki gue ke dia. Gue coba menemukan kesabaran yang dia tunjukkan, tapi susah banget ketika jari, tangan, dan bibirnya bikin gue gila.
Pintu toko tiba-tiba terbuka, dan bunyi sepatu hak tinggi terdengar di lantai. Dia berhenti cium gue, dan hati gue teriak. Untungnya, teriakan itu cuma bisa dirasakan, jadi enggak ada yang dengar.
Bukannya mundur dan balik ke meja kasir, dia malah pegang muka gue dengan kedua tangannya dan tatap gue dalam diam selama beberapa detik. Jempolnya mengelus pelan rahang gue, dan dia membuang napas pelan.
Alisnya berkerut, dan matanya merem. Keningnya menempel ke kening gue, masih pegang muka gue, dan gue bisa merasakan isi hatinya.
"Tia."
Dia sebut nama gue dengan suara pelan banget, gue bisa rasakan penyesalan dia, walau kata-kata itu belum dia ucapkan.
"Gue suka..." Dia buka matanya dan tatap gue. "Gue suka sama body lo."
Gue enggak tahu kenapa kalimat itu kayaknya susah banget buat dia ucapkan, tapi suara pelan di akhir kalimat, seolah-olah dia berusaha tahan diri buat enggak terusin kata-katanya.
Begitu kalimat itu keluar dari mulutnya, dia lepas gue dan cepat-cepat meluncur ke kasir.
Meskipun gue rasa dia menyesal mengucapkan itu, gue yakin kata-kata itu bakal terus terngiang di kepala gue sepanjang hari.
Gue habiskan sekitar sepuluh menit mondar-mandir sambil mengulangi lagi kata-katanya, gue tunggu dia beresin transaksinya. Dia lagi kasih kartu kreditnya pas gue sampai di meja kasir.
"Kami akan kirim ini dalam waktu satu jam," kata pramuniaga itu. Dia kembalikan kartu kreditnya dan mulai angkat tas-tas belanjaannya buat ditaruh di belakang.
Tama ambil satu tas dari tangan pramuniaga itu pas dia mulai mengangkatnya. "Yang ini biar gue bawa sendiri," katanya. Dia menghadap ke gue.
"Siap."
Kita jalan keluar, dan entah kenapa, rasanya suhu di sini turun dua puluh derajat sejak terakhir kita di luar. Dan sekarang kita saling diam.
Kita sampai di ujung jalan, dan gue mulai jalan balik ke arah apartemen, tapi gue lihat dia berhenti jalan.
Gue berbalik, dan dia lagi mengeluarkan sesuatu dari tas yang dia bawa. Dia melepas labelnya, dan selimut pun terbuka.
Enggak mungkin, kan?
Dia kasih selimut itu ke kakek tua yang masih duduk di trotoar. Kakek itu melihat ke atas, mengambil selimutnya, tapi mereka berdua enggak ngomong apa-apa.
Tama jalan ke tempat sampah dan buang tas kereseknya di situ, lalu balik lagi ke arah gue sambil terus menatap tanah. Dia bahkan enggak menatap mata gue sama sekali pas kita mulai jalan ke arah apartemen.
Gue ingin bilang terima kasih, tapi gue enggak bilang apa-apa. Karena kalau gue bilang, kesannya gue menganggap dia melakukan itu buat gue. Gue tahu dia enggak melakukan itu buat gue. Dia melakukan itu buat kakek tua yang kedinginan.
...***...
Begitu sampai di apartemen, Tama langsung suruh gue pulang. Dia bilang enggak mau gue lihat apartemennya sampai semuanya selesai dipasang, dan karena gue juga punya banyak tugas kuliah yang harus gue kerjakan.
Gue memang enggak ada waktu buat bantu pasang gorden, jadi gue bersyukur dia enggak berharap bantuan dari gue.
Sudah beberapa jam berlalu. Gue harus kerja dalam waktu kurang dari tiga jam lagi, dan pas gue mulai berpikir apa dia bakal ajak gue balik ke apartemennya lagi atau enggak, gue dapat chat darinya.
Tama : Udah makan belum?
^^^Gue: Udah.^^^
Gue tiba-tiba kecewa karena gue makan tadi. Tapi gue capek menunggu dia, dan dia enggak ngomong apa-apa soal rencana makan malam.
^^^Gue: Amio bikin ayam goreng tadi malam sebelum dia pergi. Lo mau gue bawain sepiring?^^^
Tama: Mau banget. Laper. Sini bawa sekarang.
Gue siapkan sepiring buat dia dan bungkus pakai aluminium foil sebelum menyeberang ke apartemennya.
Dia sudah buka pintu sebelum gue sempat ketuk.
Dia ambil piring itu dari tangan gue.
"Tunggu di sini," katanya.
Dia masuk ke apartemennya dan kembali beberapa detik kemudian tanpa piring. "Siap."
Gue enggak tahu apa yang lagi dia rasakan, karena dia enggak senyum sama sekali. Tapi gue bisa dengar di suaranya. Sedikit ada perubahan yang bikin gue senyum, tahu kalau hal sesederhana pasang gorden saja bisa bikin dia senang.
Entah kenapa, gue merasa enggak ada banyak hal di hidupnya yang bikin dia senang, jadi gue suka kalo hal ini bisa bikin dia senang.
Dia buka pintu lebar-lebar, dan gue masuk beberapa langkah ke dalam apartemennya.
Gordennya selesai dipasang, dan meskipun hal sekecil ini, rasanya jadi besar banget. Karena tahu kalau dia sudah tinggal di sini empat tahun dan baru sekarang dipasang gorden, bikin apartemen ini terasa beda.
"Pilihan lo bagus," kata gue sambil melihat bagaimana gorden itu pas banget sama kepribadiannya, senggaknya dari yang gue tahu.
Gue lihat ke karpet, dan dia bisa lihat kebingungan di wajah gue.
"Gue tahu itu harusnya di bawah meja," katanya, sambil lihat ke bawah. "Nanti juga dipindah."
Karpet itu posisinya aneh. Enggak di tengah ruangan atau di depan sofa atau di bawah meja, melainkan terlipat setengah seakan-akan kita lagi piknik di padang savana.
Gue bingung kenapa dia taruh di situ kalo dia tahu tempat terbaik buatnya.
"Gue biarin di situ karena gue harap kita bisa rayain dulu."
Gue lihat ke atas lagi dan liat ekspresi penuh harap di wajahnya yang bikin dia kelihatan imut. Gue senyum. "Boleh juga," kata gue sambil liat lagi ke karpet.
Kita diam lama.
Gue enggak yakin dia mau 'rayain' karpetnya sekarang atau nanti setelah makan. Gue sih oke-oke saja, asal sesuai sama jatah waktu gue yang cuma tiga jam ini.
Kita masih saling menatap karpetnya pas dia akhirnya ngomong lagi. "Gue makan nanti aja," katanya, menjawab pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di kepala gue.
Dia melepas kaosnya.
Gue melepas sepatu gue.
Dan akhirnya, baju kita berdua pun bersanding bareng, di samping karpet itu.
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
Semua jadi lebih indah sekarang karena ada Yesica. Tidur jadi lebih enak, karena gue tahu Yesica tidur di seberang kamar gue.
Bangun pagi juga jadi lebih indah, karena gue tahu Yesica bangun di seberang kamar gue. Pergi ke sekolah juga lebih seru, karena sekarang kita berangkat dan pulang bareng.
"Cabut aja hari ini," kata gue ke Yesica pas kita sampai di tempat parkir sekolah.
Gue yakin bolos sekolah bakal lebih seru bareng dia.
"Gimana kalau nanti kita ketahuan?" Nada suaranya kayak enggak terlalu peduli kalau kita ketahuan.
"Semoga kita ketahuan," kata gue. "Itu berarti kita bakal dikurung di rumah. Bareng. Di rumah kita, di rumah yang sama."
Kata-kata gue bikin Yesica senyum. Dia menyender ke kursi dan keluarkan tangannya buat melingkari leher gue.
Gue suka banget kalo dia melakukan itu.