Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Distrik Blok Bawah
Biarlah malam ini, sinar rembulan menikmati semua kesakitan yang aku alami, dan menjadi saksi atas dosa-dosa sosial yang telah aku perbuat.
Selepas adzan isya, air langit turun membasahi seluruh tanah distrik yang hitam. Kami digiring menuju blok bawah bersama dengan semua kesalahan dan penyesalan.
"Cepat - cepat, cepat," pekik Petugas distrik blok bawah yang makin garang.
Kami berjalan melewati gerbang pembatas antara blok atas dan blok bawah. Langkah kami sempoyongan di guyur air hujan, mengikuti rute kaki para petugas. Sepatu-sepatu itu menapak kuat ke tanah, sedangkan kami berjalan tanpa alas kaki, jalanan licin, berlumpur.
Beberapa dari kami terpeleset. Bangun dan terpeleset lagi.
"Cepat - cepat, bangun. Jangan tiduran di situ," teriak Petugas pada Tegar.
Aku membantunya untuk berdiri. Bekal pakaian yang hanya ditenteng menjadi basah juga penuh dengan lumpur.
"Buruan!" seru Petugas.
Kami kembali berjalan, mengikuti mereka di tengah derasnya air hujan. Tiba-tiba, Petugas yang paling depan menghentikan langkahnya.
"Dengarkan baik-baik." Ia berdiri tegak. "Di sini, bukan asrama tempatnya kalian makan dan tidur saja. Di sini, kalian akan diberikan kegiatan. Berbeda dengan tahanan di sektor satu dan di sektor dua," ungkapnya Petugas.
Kami menguatkan diri, berusaha tetap berdiri tegak layaknya para petugas. Tetapi rasa dingin tak bisa di bohongi, setengah membungkuk kami mendengarkan dan menyimak apa yang dikatakan oleh Petugas.
Petugas yang mengenakan jas hujan itu, meneruskan kalimatnya. "Kalau kalian bisa diajak kerja sama dengan baik!" seru Petugas. "Kami pun sebaliknya, akan merawat kalian dengan baik." Suaranya tinggi, melengking. "Kalau kalian berani mempersulit kami, kami nggak akan segan-segan membinasakan kalian di sini."
Kami menggigil kedinginan. "Siap, Pak."
"Ayo, cepat jalan," Suruhnya.
Kami bergegas mengikuti langkahnya tanpa berbicara. Setelah dua kali melewati belokan, kami berhenti. Air hujan tertahan di genteng komplek B.
"Tunggu," ucap salah satu Petugas, mencari kunci gerbang komplek B yang di kaitkan pada pinggangnya.
Puluhan sel tahanan berjejer berhadap-hadapan, hanya di sinari lampu remang-remang.
Semua penghuni tahanan segera menyadari ke datangan kami, setelah mendengar bunyi pintu besi yang terbuka. "MASUKAN MEREKA KE SINI, PAK!" Ratusan tangan menjulur di sela-sela jeruji besi bersamaan dengan teriakannya.
Aku menelan ludah.
"Raka, bagaimana ini," ucap Tegar, nadanya menggigil.
"Mereka masih makan nasi, sama seperti kita." Menyembunyikan rasa takut. "Tenang saja," celetukku pada Tegar.
"Aryanto ... jaga mata kamu." Supri mengingatkan.
Aryanto memalingkan pandangannya.
Teriakan Penghuni Komplek B semakin keras saat kami melewatinya. "TEMPAT KALIAN DI SINI." Tangan-tangan liarnya mereka berupaya meraih badan kami. "BAWA KEMARI, PAK!"
Para Petugas berjalan tenang, tak menghiraukan para narapidana yang menjulurkan tangannya.
Tegar berjalan merangsek di tengah-tengah kami.
Langkah Petugas terhenti di depan sel tahanan nomor delapan dan sembilan.
Petugas membuka pintu. "Masuk!" seru Petugas.
Rombongan kami di bagi menjadi dua bagian. Aku, Tegar, Aryanto, Supri dan tiga teman lainnya. Satu per satu memasuki ruang sel tahanan nomor delapan. Sisanya dimasukkan ke sel tahanan nomor sembilan.
Keadaannya di sini, tidak jauh berbeda dengan ruangan tahanan di sektor dua.
"Sekarang, di situ-lah, tempatnya kalian. Sampai masa hukuman yang sudah ditetapkan." Memukul tongkat pada jeruji. "Istirahatlah yang tenang. Saya nggak mau mendengar ada keributan, paham!" serunya Petugas, membentak kami bersamaan dengan suara kilat yang menyambar.
Kami bergeming.
Derap langkah sepatu para petugas perlahan tak terdengar, tertelan oleh suara katak yang berpesta di dalam genangan air hujan.
"Ganti pakaian kalian." Suaranya datang dari pojok tembok, tangannya menuding ke sebuah kamar mandi yang berukuran dua meter kali dua meter persegi. Kamar mandi di sini, lebih besar dibandingkan dengan kamar mandi yang berada di tahanan sektor dua. Airnya pun bersih dan lancar, juga tidak di batasi. Kami bergantian memasuki kamar mandi, keluar dengan keadaan telanjang dada.
"Ini, di minum dulu, buat menghangatkan badan," ucapnya orang tua penghuni sel tahanan.
"Terima kasih," sahutku.
"Siapa nama kalian, dan apa kasusnya?" tanya orang tua itu, kepada kami yang duduk di depannya.
Satu per satu, kami memperkenalkan diri.
Obrolan mengalir ramah. "Besok, kalian akan tahu sendiri, bagaimana kehidupan di sini," ucap Pak Erwin, orang tua penghuni kamar nomor delapan. "Setiap pukul tujuh pagi, semua pintu sel tahanan di buka. Semua narapidana bebas beraktivitas di luar distrik blok bawah, dan pada pukul empat sore, narapidana di haruskan sudah berada lagi dalam sel tahanannya masing-masing," ungkapnya Pak Erwin.
Kami berbagi segelas teh hangat, bergilir.
"Kalian pasti akan betah, di sini banyak hiburannya." Menuding keluar kamar sel tahanan.
"Jadi, di blok bawah ini, kami boleh menonton televisi?" tanya Tegar pada Pak Erwin.
"Boleh ... sebagian orang, ada juga yang menghabiskan waktunya dari pagi sampai sore hanya menonton televisi," sahut Pak Erwin. "Di distrik blok bawah juga, ada kantin dan warung telepon umumnya." Menunjuk ke arah utara.
"Bukankah di sini, kita di larang membawa uang. Kenapa di sediakan kantin dan telepon umum. Apakah semuanya gratis untuk narapidana?" tanya Supri, penasaran.
"Hahaha." Pak Erwin tertawa. "Kamu betul, di sini, dilarang membawa uang. Tapi, kami, para narapidana dan para petugas punya banyak akal. Semua fasilitas yang terpakai harus di bayar," jawabnya datar.
"Maksudnya, bagaimana?" tanya Supri semakin penasaran.
"Bagi narapidana yang mau ke kantin dan yang mau menggunakan jasa telepon umum. Dianjurkan harus mempunyai kartu kredit. Siapa saja bisa mendapatkannya dengan mudah." Memperbaiki posisi duduknya. "Tinggal mendaftarkan diri ke lurah blok bawah. Dan tinggal menyebutkan saja mau minta saldo berapapun pasti akan diberikan. Tapi, nggak secara cuma-cuma. Kalian akan tetap di tagih sesuai jumlah nominal yang sudah terpakai setiap minggunya," ungkap Pak Erwin.
Tegar menyela. "Berarti kita membayar tagihan kartu kreditnya, saat hari jam besuk?"
"Iya." Pak Erwin menganggukan kepalanya.
Aryanto yang sedari tadi hanya mendengarkan, mulai penasaran juga. "Kalau kita sudah memakai kartu kredit dan kita nggak ada besukan, bagaimana?" tanyanya.
"Mau nggak mau, orang tersebut yang nggak bisa membayar tagihan kartu kreditnya. Ia harus menerima konsekuensinya," sahut Pak Erwin.
"Apa konsekuensinya?" celetuk Aryanto.
"Ia akan di gulung ramai-ramai oleh anak buahnya lurah blok bawah, setiap hari, sampai ia melunasi semuanya," jawab Pak Erwin.
"Pak Erwin sendiri bagaimana? Apakah Pak Erwin juga punya kartu kredit," tanya Tegar.
"Punya." Pak Erwin menunjukkan semua kartu kreditnya, berjumlah tiga.
"Apakah nggak berbahaya?" Tegar meluruskan kakinya yang sedari tadi terlipat.
"Di sini, kalau kalian punya banyak uang. Kalian bisa melakukan apa saja, sesuai yang kalian mau. Tanpa terkecuali." Tangannya meraih tembakau. "Dan di sini, semua tersedia bagi mereka yang beruang. Karena di dalam sini, sudah nggak ada lagi yang namanya hukum. Kita seperti di dalam surga. Hahaha." Pak Erwin tertawa.
Aku berpikir, menebak-nebak. "Kalau begitu, enak juga yah, bisa menjadi lurah blok bawah."
"Hahaha." Pak Erwin tertawa lagi. "Lurah blok bawah dan anak buahnya itu, hanyalah boneka."
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅