Rea memilih berdamai dengan keadaan setelah pacar dan sahabatnya kedapatan tidur bersama. Rasa cinta yang sejatinya masih bertuan pada Devan membuat Rea akhirnya memaafkan dan menerima lamaran pria itu.
Sepuluh tahun telah berlalu mereka hidup bahagia dikarunia seorang putri yang cantik jelita, ibarat tengah berlayar perahu mereka tiba-tiba diterjang badai besar. Rea tidak pernah menduga seseorang di masa lalu datang kembali memporak-porandakan cintanya bersama Devan.
Rea berjuang sendirian untuk membongkar perselingkuhan Devan, termasuk orang-orang di belakang Devan yang membantunya menyembunyikan semua kebusukan itu.
IG. ikeaariska
Fb. Ike Ariska
Tiktok. ikeariskaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ike Ariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teledor
Tungkai panjang Rea cepat-cepat melangkah meninggalkan gedung kantor milik suaminya, Devan.
Tiba-tiba...
“Ya Tuhan, Airin?!”
Rea terperanjat saat mengingat Airin, ia bahkan lupa menjemput putri kesayangannya itu.
“Ya Tuhan, Re. Bagaimana bisa kamu melupakan Airin?” Rea membatin.
“Ini semua gara-gara Devan!” umpatnya sambil menyentakkan tangan ke bawah.
Memikirkan semua tentang Devan hampir membuat Rea gila.
Tergesa ia masuk ke dalam mobil yang masih setia menunggunya di depan pintu utama kantor, setelah itu Rea berlalu menuju tempat les. Rea melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya kini sudah berlalu hampir satu jam.
Rea meraih ponsel di atas dashboard ia berinisiatif menelepon guru les untuk meminta Airin menunggu kedatangannya.
‘Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan!’
“Ah, sial!” Rea memukul kemudi kuat-kuat.
Ia menekan dalam pedal gas berharap cepat sampai di tempat les. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit karena terjebak macet akhirnya sedan yang Rea tunggangi pun menepi di depan bangunan yang menyerupai sekolah tempat di mana Rea menitipkan Airin untuk menimba ilmu di sana.
Rea mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu mengernyit ketika dilihatnya sepi sekali, meski begitu Rea pun memilih untuk turun dari mobil memastikan langsung apakah masih ada orang atau tidak.
Rea angkat pandangan dan dilihatnya pagar sudah terkunci. Itu tandanya tidak ada lagi orang sama sekali.
“Airin, di mana kamu sayang?” gumam Rea risau.
Kembali Rea memperhatikan sekeliling berharap netranya melihat sosok kecil si buah hatinya yang manis.
Setengah berlari Rea kembali ke dalam mobil, diraihnya ponsel dan langsung menghubungi Devan.
Tut...
“Sayang, kamu ke mana saja sih?” tanya Devan di ujung telepon.
“A-aku,” Rea tergugup.
“Airin sudah sama aku sekarang, ayo cepat pulang!” potong Devan.
“Ya, Dev. Aku jalan sekarang,” timpal Rea.
Tut.
Sambungan telepon pun akhirnya terputus.
Lama Rea memperhatikan ponsel hingga akhirnya layarnya pun padam dan menghitam.
*****
“Sayang, sebenarnya tadi kamu ke mana?” tanya Devan.
Pria itu tampak sibuk menyeruput rokok di balkon kamar duduk dengan santainya menikmati udara malam.
“Guru les Airin menelepon tadi katanya sudah hampir satu jam dia menunggu karena belum dijemput,” sambung Devan.
Rea tidak menyahut ia yang tengah membersihkan wajahnya di meja rias sesekali memperhatikan Devan yang membelakangi dari pantulan cermin.
Hati Rea terasa sakit mengingat apa yang dikatakan Zyfana tadi Devan tidak lembur, bahkan pria itu jarang sekali datang ke kantor. Lantas ke mana saja dia selama ini?
Tanpa sadar Rea meremas kapas yang semula ia gunakan untuk membersihkan wajahnya, jemarinya terkepal membentuk tinju hatinya meradang melihat Devan yang pandai bersandiwara seolah tidak terjadi apa-apa.
Devan mengernyit saat tidak didengarnya jawaban dari pertanyaannya, pria itu bangun dari tempat duduknya di balkon kamar mendekati Rea di meja rias.
Rea tersentak tatkala merasakan sentuhan lembut di bahunya, sentuhan yang berhasil membawanya kembali ke dunia nyata setelah tadi tenggelam dalam lamunan.
“Sayang, kamu tadi ke rumah mama, ‘kan? Apa sebenarnya yang ingin disampaikan Naumi? Sepertinya penting sekali,” ucap Devan.
Pria itu seperti berusaha mencairkan suasana.
Sesaat Rea tatap mata Devan dari pantulan cermin, sedetik kemudian memilih untuk beralih pandang dari keindahan sorot setajam elang.
Rea taruh kapas yang baru saja ia gunakan di atas meja, lalu beranjak dari sana melangkah gontai menuju balkon tempat di mana tadi Devan duduk di sana.
Rea tahu Devan mengikutinya dari belakang.
“Re, kamu tidak dengar tadi aku bicara?” tanya Devan.
Pria itu kembali duduk di kursinya sambil memperhatikan Rea yang membelakangi dirinya.
Sesaat Rea menghela napas dalam berharap sesak di dalam dadanya enyah walau sebentar.
“Naumi bilang dia hamil,” ucap Rea datar.
“Naumi hamil?” gumam Devan seolah tak percaya. Kebahagiaan tersirat di raut tampannya.
emang. sahabat adalah maut...
mudah2an aja meningkat. trus nggak jadi nikah sama Sam...
Sam kalau tau masa lalu ana pasti mikir dua kali lah .. tu si ana aja masih ingat waktu devan menghujam dirinya... munafik bngt