Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Hati Liam Yang Patah•
Setelah melampiaskan amarahnya dengan menghancurkan guci besar, Liam kembali duduk di sofa dengan gerakan lunglai, napasnya masih memburu, namun ia mencoba menenangkan pikirannya.
Tetapi hal itu justru menenggelamkannya pada Bayangan masa lalu yang muncul, seperti rangkaian gambar yang menghantamnya dengan emosi yang mengoyak. Luka-luka lama yang ia pikir sudah sembuh tiba-tiba berdarah lagi, membuat hatinya perih.
Liam pernah mencintai seorang wanita dengan tulus, seseorang yang benar-benar ia percaya, seorang gadis berhijab yang memiliki senyum lembut dan selalu membawa ketenangan dalam hidupnya.
Dia pikir, mungkin inilah akhir dari pencariannya, seseorang yang akan mendampinginya tanpa pamrih. Liam sangat menjaga batasan batasan yang ada dalam agama, tidak menyentuh gadis itu karena sangat menghormati hijab yang dikenakannya, apalagi sampai berhubungan badan.
Namun kenyataannya jauh dari harapan. Suatu hari, ia memergoki gadis itu bersama pria lain, ia lalu mendesaknya untuk menjelaskan pria itu, dan tak diduga gadis itu mengaku bahwa ia tengah hamil, oleh mantan kekasihnya. Pengakuan itu menghancurkannya seketika, membuatnya merasa seperti bagian dari dirinya telah patah selamanya.
Hal itu jugalah yang akhirnya membuat Liam tak lagi percaya pada norma-norma agama hanya karena seseorang yang dia kira baik dan sholeha tapi nyatanya menyimpan kebusukan di balik hijabnya.
Tak berhenti di situ, Liam berkali-kali mencoba membuka hati untuk orang lain, berharap ada satu dari mereka yang benar-benar tulus. Namun setiap kali ia memberi cintanya, setiap kali ia berusaha tulus, hasilnya selalu sama. Wanita-wanita itu datang dan pergi, tak satu pun yang benar-benar mencintainya apa adanya. Mereka hanya ingin memanfaatkan pengaruh dan kekayaannya, mempermainkan perasaannya dan meninggalkannya tanpa perasaan bersalah.
Saat itu, Liam hampir tak tahan dengan hidupnya. Pernah suatu malam ia berdiri di tepi balkon kamarnya, memikirkan untuk mengakhiri semuanya. Namun, entah bagaimana ia bertahan, ia memutuskan untuk melawan rasa sakit itu dengan menguburnya dalam-dalam. Sejak saat itu, hatinya mengeras, dan ia bersumpah tak akan pernah membiarkan dirinya disakiti lagi.
Sekarang, dengan Alina di sisinya, semua luka itu terasa terbuka kembali. Meski hatinya merasakan ada yang berbeda dengan Alina, rasa takutnya jauh lebih besar. Ketakutan bahwa ia akan dikhianati lagi, dimanfaatkan, atau dibiarkan terluka.
Dalam diam, Liam mengeraskan rahangnya, menekan perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Ia sadar, dirinya telah berubah menjadi pria yang dingin dan sulit dipercaya, tapi ia merasa itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan. Menahan rasa sayangnya, menutup hatinya rapat-rapat.
“Tidak, aku tidak akan jatuh cinta lagi…” gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya penuh tekad meski hatinya terasa getir.
“Aku tak akan biarkan siapa pun menghancurkanku lagi.”
...~~~~...
...Siang Pukul 13:40...
Beberapa jam setelah pertengkaran Alina duduk di sofa ruang utama, mencoba menenggelamkan pikirannya dalam lembaran buku di tangannya. Sesekali, ia menghela napas panjang, mengusap lembut ujung halaman yang membuatnya dalam ketenangan.
Liam turun dari tangga dengan penampilan kasual dengan kaos polos dsn jaket sederhana. Langkah terdengar tegas dan berat, Alina mengangkat kepalanya tatkala Liam semakin dekat dan ia melintas dari sampingnya berjalan ke arah pintu keluar dengan ekpresi datar.
"Kau mau kemana?" tanya Alina pelan.
"Keluar," jawab Liam singkat, tanpa sedikit pun memandangnya.
Alina mendengus, tahu Liam tengah berusaha menenangkan diri karena emosinya.
"Tolong belikan bunga Lili jika kau pulang, nanti... Kau harus mengganti vas bungaku dan gucci besar yang kau hancurkan."
Langkah Liam terhenti seketika. Ia berbalik perlahan, menatap Alina dengan sorot mata tajam dan penuh tantangan. Ada kepedihan tersembunyi di balik kemarahannya, namun ia enggan menunjukkan kelembutan.
"Kenapa harus ku ganti? semua itu milikku, dan kau tidak berhak menganturku!"
Alina menutup bukunya, bangkit perlahan dan mendekat ke arah suaminya.
"Apapun milik suami itu milik istrinya juga, Liam. Dan bertanggung jawablah... pada dirimu sendiri, pada apa yang kau hancurkan," ucapnya tegas, meski suaranya bergetar sedikit.
"Kau benar-benar selalu tahu bagaimana menyulut emosiku, Alina," ucapnya pelan, bibirnya terkatup rapat setelahnya.
Alina hanya mengangkat bahu, di balik cadarnya ia tersenyum kecil, menikmati peran ini dengan baik.
"Aku hanya mencoba mengingatkanmu bahwa kita masih hidup bersama, Liam. Itu artinya kita berbagi, baik suka maupun tanggung jawab."
Liam tertawa kecil, tetapi tak ada kehangatan di balik tawa itu. Ia melangkah lebih dekat hingga jarak tubuh mereka hanya sejengkal.
"Berbagi tanggung jawab?" ulangnya dengan nada mengejek.
"Kau pikir semuanya semudah itu, ya?"
Alina mengangguk menatapnya tenang, matanya berbinar memancarkan keteguhan.
"Aku pikir kau cukup dewasa untuk memahami konsepnya. Tapi kalau itu terlalu sulit, mungkin kau hanya perlu waktu untuk memikirkannya lagi."
Liam mengerutkan dahi, merasa tertantang oleh ketenangan Alina yang tidak berubah meski setelah pertengkaran. Ia tahu Alina tidak mudah goyah, dan entah bagaimana hal itu membuatnya merasa semakin frustrasi.
Meski ada dorongan untuk terus melontarkan kata-kata tajam, ia menahan diri. Bagian dari dirinya merasa lelah, sementara bagian lain bergulat dengan perasaan bersalah yang perlahan muncul.
"Bunga Lili, huh?" gumamnya pelan, tatapannya melembut sejenak tanpa sadar.
"Ya, bunga Lili. Vas bungaku pecah karena kemarahanmu, jadi aku pikir, bunga itu layak menjadi penggantinya," ujar Alina, tersenyum tipis.
Liam menghela napas panjang, tatapannya kembali mengeras untuk menyembunyikan sisi dirinya yang mulai goyah. Ia kemudian berbalik, melangkah ke pintu tanpa bekata lagi, meninggalkan Alina yang masih memandangnya dari belakang.
Alina lalu menutup lembut pintu, setelahnya ia menghela napas lega, merasa puas, Liam perlahan lahan masuk ke dalam sandiwaranya.
...~~~...
Liam melangkah ke mobilnya dengan pikiran yang dipenuhi berbagai emosi yang sulit ia kendalikan. Setelah duduk di balik kemudi, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak pedal gas, melaju dengan kecepatan tinggi tanpa peduli dengan keselamatannya. Jalan tol yang sepi seakan memanggilnya, membiarkan ia melampiaskan amarah dan kekesalan yang memuncak.
Suara deru mesin bergemuruh, menyatu dengan denyut nadi yang berdebar cepat dalam dirinya. Matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu, kenangan yang datang seperti kilatan petir.
Wajah-wajah wanita yang pernah ia cintai, pengkhianatan yang meremukkan hatinya, setiap kata manis yang ternyata dusta, semua itu membuat dadanya sesak.
Sesaat ia tak menyadari mobilnya mulai melambung ke sisi jalan. Hanya ketika bunyi klakson keras dari arah yang berlawanan terdengar, barulah Liam tersadar.
Dalam detik yang menegangkan, ia reflek menarik kemudi, memutar tajam hingga roda berdecit menggesek aspal, nyaris kehilangan kendali. Mobilnya berputar beberapa kali, hampir menabrak pembatas jalan sebelum akhirnya berhenti mendadak di pinggir jalan.
Liam duduk terdiam, napasnya terengah-engah, jantungnya berdetak liar. Sekujur tubuhnya terasa kaku, jemarinya masih mencengkeram erat kemudi seakan takut melepaskan.
Beberapa detik berlalu yang sunyi, hanya suara napasnya yang terdengar, dan kesadaran mulai merasukinya, menyadarkan bahwa nyaris saja ia kehilangan segalanya… hanya karena amarah yang tak tersalurkan.
Liam meremas wajahnya, berusaha mengendalikan diri. Ingatannya berputar kembali pada Alina, pada sorot matanya yang tetap lembut meski Liam berulang kali mengkasarinya dengan kata mata tajam.
Suara Alina terngiang di telinganya, menyelinap ke relung hati yang selama ini ia coba keras untuk menjaganya dengan kebekuan.
Dia merasa bersalah, benar-benar bersalah. Mungkin Alina benar, mungkin, selama ini dia hanya berusaha melindungi dirinya sendiri dengan dinding yang tinggi. Dengan mengambil napas panjang, ia menunduk, menyadari betapa dalamnya luka yang ia simpan. Tanpa sadar, ia menggumamkan satu kata kecil, seakan berbicara kepada dirinya sendiri dalam keheningan malam yang melingkupinya.
"Maafkan aku, Alina." lirihnya, suaranya bergetar dalam ketidakberdayaan perasaanya.
...[••••]...
...Bersambung.......
Assalamualaikum... Guys, terus dukung karya @Pearlysea dengan like dan vote ya...Agar bisa memberikan karya karya yang menghibur dan menambah wawasan pembaca.
Matur suwun...🙏🙏🙏
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.