Istri Sejuta Luka

Istri Sejuta Luka

Pengkhianatan

Jemari tangan yang rampai tampak telaten menoreh tinta di kertas kosong. Dokter Rea demikian ia disapa, tengah menulis resep obat untuk pasiennya.

“Bu, ini resepnya semoga Ibu cepat sembuh yaa!” Rea tersenyum sembari menyerahkan secarik kertas pada seorang wanita paruh baya yang duduk persis di hadapannya.

“Terima kasih, Dok.” Wanita paruh baya berpenampilan glamor itu pun balas tersenyum meski senjang, dari wajahnya jelas terlihat ia sedang tidak baik-baik saja. Gegas wanita itu pun berlalu setelah menerima resep yang diserahkan Dokter Rea kepadanya.

Sesaat setelah kepergian wanita itu Rea tersandar di kursi tubuhnya terasa penat karena tadi banyak pasien yang sudah ia layani.

Reana Arinda adalah seorang dokter umum di salah satu rumah sakit swasta di ibukota, namanya cukup terkenal di kalangan orang-orang kelas atas bisa dikatakan Rea adalah dokternya orang-orang kaya di kota itu.

“Masih banyak?” tanya Rea pada Irina yang berdiri di ambang pintu.

Irina adalah asisten dokter sekaligus partner kerja Rea. Gadis muda itu sedang mendekap map di tangannya.

“Tinggal dua lagi, Dok,” sahut Irina memaksa senyum, sebab ia pun sama penatnya.

“Dokter mau langsung dipanggilkan pasien berikutnya atau mau istirahat dulu sebentar?” sambung Irina bertanya.

Rea tercenung, lalu menggeleng.

“Tinggal dua lagi tanggung kalau mau istirahat, ayo panggilkan pasiennya!” Rea memberi perintah.

“Baik, Dok.” Irina mengangguk cepat.

Segera Irina menarik gagang pintu kemudian berteriak menyerukan sebuah nama yang terdengar indah di telinga.

“Nyonya Anina Jelita!”

Semula tidak ada yang janggal bagi Rea, seperti biasa saat pasien masuk ia akan disibukkan mengkonfirmasi nomor urut pasien di komputernya.

“Silakan duduk!” ucap Irina saat pasien melewati pintu dan ia pun segera menutup rapat pintu itu dari dalam.

Ketika dilihatnya pasien terus saja bergeming di depan meja membuat Irina sekali lagi bersuara.

“Nona Anina, silakan duduk!” pintanya.

Berhasil mencuri perhatian Rea, ia menghentikan kesibukan saat tidak didengarnya kursi ditarik oleh pasien, padahal Irina dua kali meminta pasien itu untuk duduk.

Rea angkat pandangan, betapa matanya membulat dengan sempurna dan seketika senyum punah di wajahnya tatkala didapatinya seseorang yang sangat ia benci berdiri tepat di hadapannya.

Rea buang muka, amarah membuncah membakar menghanguskan dada. Darah mendidih hingga nyaris menyembur di ubun-ubun kepalanya saat sepenggal kejadian di masa lalu kembali hinggap di benaknya.

Rea tersenyum jengah, lalu melepaskan kacamata yang mula bertengger di hidung runcingnya.

“Hm,” dengusnya melas.

“Jadi kamu di sini, Re? Sudah lama aku mencarimu semenjak kejadian itu.”

Wanita bernama Anina bicara dengan nada rendah, napasnya memburu bahkan terpacu sepuluh kali lebih cepat. Bukan karena marah melainkan rasa bersalah. Anina masih belum percaya ia bertemu Rea, padahal sebelumnya ia sudah mencari Rea ke mana saja, tapi hasilnya nihil tetap saja tak berjumpa.

“Re, ayo kita bicara! Banyak hal yang ingin aku jelaskan, semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Dev hanya, ...”

“Anna, cukup!” potong Rea marah. Ia menyebutkan nama panggilan Anina sehari-hari. Tidak banyak orang tahu nama panggilan itu hanya beberapa saja selain keluarga, Rea adalah salah satunya.

Suara Rea melambung tinggi menyentuh langit-langit ruangan yang bercat serba putih.

“Aku tidak peduli apa yang terjadi di antara kalian waktu itu!” Rea berdiri dari duduk dan melotot ke arah wanita yang dulu pernah menjadi sahabatnya.

“Tapi, Re, ...”

“Cukup!” potongnya kian marah. Ia tidak tertarik mendengar penjelasan Anna, juga tidak peduli raut menyesal di wajah cantik wanita itu.

“Kamu pergi atau aku yang akan ke luar dari sini?” ancam Rea muak.

Tiba-tiba Irina menimpali.

“Dok maaf, tapi di luar masih ada pasien.”

“Huhf,” Rea menghela napas panjang.

Ia tidak menjawab hanya tertunduk sembari memijit pelipis mata berharap rasa sakit di kepala enyah walau sebentar. Seandainya Anna adalah pasien terakhir sudah dipastikan Rea akan menginggalkan wanita itu di sana.

“Baiklah, Re. Aku tidak akan membahas itu sekarang.” Anna mengalah. Mengerti betapa marah dan muak Rea terhadap dirinya.

Bukannya langsung pergi Anna malah menarik kursi dan duduk sebagai pasien.

Rea melirik dengan ekor matanya, namun profesionalitas kerja mengharuskan ia melayani pasien walaupun pasien itu seseorang yang sangat ia benci.

Hanya pemeriksaan singkat dan Anna didiagnosa batuk pilek biasa, setelah menyerahkan resep obat gegas Rea meminta mantan sahabatnya itu segera keluar.

“Silakan, itu pintu keluar!” Rea menunjuk pintu, bicara tanpa menatap mata Anna.

Anna terdiam tanpa menimpali, wajahnya menggambarkan rasa bersalah. Sebelum pergi ia sempatkan kembali melirik Rea yang bersikap tak acuh, lalu setelah itu benar-benar berlalu.

Rea pandangi lekat punggung Anna saat wanita itu beranjak pergi.

Rasa sedih Anna atas sikap dingin yang Rea tunjukkan tidak sebanding dengan luka yang pernah diukirnya dulu di hati Rea. Andai Anna tahu bahkan sampai detik ini luka itu masih terasa basah. Betapa tidak, di malam ulang tahunnya yang ke-20 Rea mendapat kado yang teramat sangat istimewa. Kado yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.

Flashback 7 tahun yang lalu...

Kamar apartemen milik Devan.

“Sebenarnya Dev ke mana? Sampai-sampai dia lupa kalau hari ini ulang tahunku?” Rea marah, ia menggerutu dalam hati.

Kebetulan hari itu Rea kuliah sampai malam dan tanpa ingin menunggu lebih lama ia langsung menemui Devan di apartemennya.

Ketukan sepatu high heels yang menghiasi langkah kaki jenjang itu terdengar nyaring berkesinambungan.

“Sudah lupa, ditambah tidak ada kabar seharian. Benar-benar keterlaluan kamu Devan!” lagi, Rea merutuk sendiri.

Sesampainya di depan pintu kamar apartemen tanpa ketukan ataupun aba-aba Rea langsung saja menekan memasukkan pin sehingga pintu digital itu terbuka dengan sendirinya.

Saat Rea melempar pandang hal pertama yang dapat ia lihat di ruangan super mewah itu adalah kue ulang tahun berbentuk hati di atas meja. Di sampingnya buket mawar berukuran besar berhasil membuatnya seketika melengkungkan senyum di sudut bibirnya.

“Jadi Dev sudah menyiapkan semuanya?” gumam Rea berbunga.

Amarah di hatinya ibarat kemarau dilanda hujan, pias seketika.

Di meja lain tidak jauh dari tempat Rea berdiri ia melihat sebuah kotak persegi berukuran besar, Rea kembali menautkan senyum sambil mendekati kotak itu.

“Jadi dia juga sudah menyiapkan kado?” Rea tersipu. Wajahnya bersemu.

Tapi satu hal membuat Rea menyipitkan mata saat dilihatnya tulisan ‘Untuk Sahabatku Rea.’

Rea sangat mengenali tulisan tangan itu.

“Anna juga menyiapkan ini untukku?” senyum mengambang saat sepintas wajah cantik Anna terlintas di pikiran.

“Jadi bukan Dev?” Rea merengut.

“Tapi kenapa kado dari Anna ada di sini?”

“Pantas saja tadi aku juga tidak menemui Anna di kampus.”

Rea mulai berpikir keras.

“Apa mungkin Dev dan Anna menyiapkan ini bersama?”

Rea mencoba terus berpikiran positif, walau curiga sempat menduduki sudut terdalam hatinya ia tidak terlalu menggubrisnya.

Tiba-tiba saja Rea kembali mengingat Devan.

“Di mana Dev? Kenapa sepi sekali?” dilemparnya pandang ke segala arah.

Pelan-pelan Rea susuri langkah. Ia terhenti, ada yang salah. Rea terdiam sejenak memasang telinga dengan konsentrasi penuh. Suara-suara aneh dengan lembut membelai telinganya, sesekali gelak tawa juga samar mengimbangi. Hatinya sanksi, kembali pasang pendengaran baik-baik, bukannya menghilang suara itu kian jelas dan nyata, tak ayal hiruk-pikuk lenguh dan desahan bersahutan dari balik dinding yang menjadi pemisah antara ruang tamu dan kamar tidur di apartemen itu.

“Tidak mungkin!” Rea menggeleng. Wajahnya memerah seperti tomat, detak jantungnya bertalu-talu, aliran darah di nadinya berpacu tidak beraturan. Rea hela napas dalam mencoba kuatkan hati.

Rea tetap diam dan berusaha tenang di tengah guncangan hati yang mulai tak menentu, seperti langit runtuh menimpa tubuhnya. Air mata tumpah dari telaga bening miliknya. Tungkai panjangnya seakan tidak mampu lagi jadi menyangga berat badannya sendiri. Rea bisa menebak apa yang akan dilihatnya nanti.

“Sayang, kamu begitu hangat,” bisik Devan dengan suara khasnya yang serak, didengar jelas oleh Rea yang mematung di balik dinding.

Rea tepis air mata tidak sabar untuk menangkap basah Devan. Adegan di balik sana sudah ada dalam benaknya sejak tadi.

Rea tidak ingin menunggu lebih lama dengan langkah besar ia gegas masuk.

Tap!

Langkah Rea terhenti. Benar saja, ternyata di ranjang ukuran luas sepasang anak manusia sedang asyik bergumul berbagi peluh dalam kenikmatan.

“Dev!” hanya sebuah gumaman kecil yang mampu keluar dari bibir Rea. Ke dua alisnya tampak turun seiring gerak tangan membekap mulutnya sendiri.

Namun kenikmatan yang sedang dirasa membuat telinga Devan tuli. Pria dewasa itu terus melanjutkan aksinya menghujani ciuman pada gadis yang berada di bawah kungkungannya.

“Dev! Anna!” pekik Rea mulai histeris.

Mata dan hatinya sudah tidak sanggup lagi terus menonton adegan demi adegan yang diperagakan oleh sahabat dan kekasihnya itu.

Barulah Devan dan Anna sadar jika di sana tidak hanya ada mereka berdua.

“Rea?!” Devan terkejut.

Mata pria itu terbelalak melihat Rea yang surut dan luruh ke lantai. Ia segera melepaskan pagutannya dari Anna.

“Re, Re, aku bisa jelaskan semuanya, ini hanya ...” kali ini Anna yang bicara, ia terbata. Wanita itu sibuk menyembunyikan tubuh bagian atasnya dengan selimut.

Baik Anna dan Devan kemudian mencari pakaian masing-masing.

Sementara itu Rea dengan tertatih mencoba bangkit, air mata tidak henti luruh membasahi wajah cantiknya yang memerah. Langkahnya gontai meninggalkan ruangan itu.

“Re, tunggu!” teriak Devan sambil mengenakan kembali celana.

Rea tidak menggubris ia terus berlalu meninggalkan Devan dan Anna yang mengejarnya dari belakang.

“Tega kamu Dev, kupikir tadi kalian sedang menyiapkan sebuah kejutan.” Rea usap wajahnya dengan telapak tangan, matanya memandang sayu ke depan.

Dalam tangis Rea menertawakan dirinya sendiri.

Tadi di tengah kecamuk yang ia rasa Rea sempat mengira suara desah dan rintihan di balik dinding hanyalah sebuah pancingan supaya ia gegas datang ke sana. Rea mengira Devan sedang mempersiapkan kejutan ulang tahun untuknya.

“Bodohnya aku sempat berpikir jika kamu dan Anna menungguku untuk sebuah kejutan ulang tahun. Ini baru kejutan yang sesungguhnya Dev!”

Rea meremas kuat dadanya sendiri berharap ngilu dan sesak di dalam sana pias walau sesaat.

“Terima kasih untuk kado ulang tahun yang tidak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.”

Rea sapu air mata di pipi gegas meninggalkan tempat itu sebelum Dev dan Anna berhasil mengejarnya.

Terpopuler

Comments

Murni Dewita

Murni Dewita

👣

2024-08-20

0

Anonymous

Anonymous

keren

2024-07-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!