Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TETAPLAH DISISIKU
"Dam, kamu disini bentar ya, aku mau keluar dulu sama Vani. Ada yang perlu kami bicarakan." Belum sempat Damian menyatakan keberatannya, Dilan sudah lebih dulu menarik tangan Vani keluar dari ruang rawat Sisi. Meninggalkan Damian yang masih terbengong melihat tautan tangan mereka.
Dilan mengajak Vani ke taman yang ada disebelah rumah sakit. Duduk disebuah bangku panjang yang ada disebelah kolam ikan. Siang ini udaranya cukup panas, tapi dibawah pohon yang rindang serta semilir angin membuat rasa gerah sedikit berkurang.
"Mau aku belikan minuman?" tawar Dilan. Dia melihat showcase berisi minuman tak jauh dari tempat mereka duduk.
Vani menggeleng, "Gak usah." Sebenarnya dia merasa sedikit haus, tapi tak enak mau merepotkan Dilan.
Dilan menghela nafas berat sambil menarik rambutnya kebelakang. Setelah dirasa cukup rilex, dia menoleh pada Vani yang duduk disebelahnya. Menatapnya cukup lama sampai Vani salah tingkah.
"A-aku dan Mas Damian gak ada apa-apa kok."
Dilan tersenyum mendengar penjelasan Vani. Dia tahu seperti apa adiknya itu. Damian tipe cowok selengekan, gak pernah serius, mana mungkin dia percaya begitu saja dengan omongannya.
"Bukan itu yang ingin aku bahas."
"Hah, bu-bukan ya?" Wajah Vani langsung memerah karena malu. Bisa-bisanya dia mengira jika Dilan sedang cemburu.
"Tapi aku senang mendengarnya," ucap Dilan sambil tersenyum.
"Lalu, apa yang ingin Mas bicarakan berdua denganku?"
Dilan terdiam beberapa saat, sampai akhirnya, dia kembali menatap Vani.
"Tentang penilaianmu padaku? Aku yakin, ada yang berubah saat tahu jika aku yang menghamili Rani."
Vani mengalihkan pandangan pada orang yang sedang berlalu lalang. Dia masih ingat seperti apa hujatan tetangga pada Rani yang hamil diluar nikah. Tak mungkin dia tak kecewa pada Dilan.
"Mungkin kamu berfikir, aku adalah bajingan yang memanfaatkan kepolosan Rani. Tapi aku bersumpah, itu sama sekali tidak benar. Aku sangat mencintai Rani, dan kejadian malam itu seperti terjadi begitu saja. Kami yang sama-sama terbuai dengan cinta, tak berfikir panjang. Sampai akhirnya kebablasan."
"Tapi tidakkah kamu berfikir, apa yang kalian lakukan malam itu, bisa menghasilnya benih?"
Dilan tersenyum mendengar pertanyaan Vani. "Tentu saja aku tahu, aku bukan anak kecil. Tapi semua diluar kendali. Kami sama-sama pertama malam itu, jadi minim pengalaman."
"Tak pernahkah kamu kepikiran, kalau Kak Rani hamil karena kejadian malam itu?"
Dilan menggeleng. "Rani tak pernah mengatakan dia hamil, jadi aku tak pernah berfikir kesana. Wanita tak selalu berada dalam masa subur, jadii aku fikir, Rani sedang tak masa subur malam itu, makanya dia tak hamil. Aku sangat menyesal Van," Dilan menatap Vani dengan mata berkaca-kaca. "Harusnya malam itu kami tak melakukan sampai sejauh itu. Tapi semua sudah terjadi, dan sekarang ada Sisi. Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku, aku akan menjadi ayah terbaik untuk Sisi."
Vani bisa melihat keseriusan diwajah Dilan. Selain itu, pria itu juga sudah membuktikan selama 3 hari ini, dengan terus menjaga Sisi serta mengupayakan pengobatan terbaik untuk bocah itu.
"Aku sudah bicara pada Dokter Ilham, tentang aku yang akan menjadi donor untuk Sisi. Beberapa hari kedepan, aku akan mulai melakukan tes. Semoga saja cocok, agar Sisi bisa segera sembuh."
"Aamiin."
Dilan meraih tangan Vani lalu menggenggamnya. "Maukah kamu terus disisiku dan mendukungku?" Vani hendak menarik tangannya tapi Dilan malah mengeratkan genggamannya. "Aku mohon, tetaplah berada disisiku. Aku yakin, kau tahu seperti apa perasaanku padamu."
Rasa kecewa pada Dilan jelas ada, tapi rasa cinta, juga ada, bahkan jauh lebih besar. Dia juga tak bisa terlalu menyalahkan Dilan atas kehamilan Rani. Karena Rani juga melakukannya tanpa paksaan. Vani juga yakin jika bukan karena kehamilannya yang membuat Rani depresi, terbukti dari kakaknya itu yang tak pernah berusaha menggugurkan kandungannya.
Vani akhirnya mengangguk. Marah pada Dilan juga tak ada gunanya. Saat ini, kebahagiaan dan kesembuhan Sisi yang paling utama. Melihat kedekatan keduanya tadi, dia yakin, jika Sisi bahagia atas kehadiran Dilan disisinya.
"Makasih karena masih mau tetap disisiku." Dilan menyandarkan kepalanya dibahu Vani. Sebenarnya, dia sangat lelah saat ini.
"Bagiku, kebahagiaan Sisi yang paling utama."
"Tetaplah disisiku selamanya, Van. Aku sudah pernah merasakan sakitnya kehilangan. Dan aku tak mau merasakannya lagi."
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan