🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
#19
"Apakah sekarang Mas akan menjadikan aku tersangka?"
Aldy yang tak siap mendengar pertanyaan Hilda, jadi tergagap, "Bukan begitu maksudku … tapi bukankah kenyataan ini tak adil bagiku?"
Hilda tertawa hambar, "Adil, mas? Adil? keadilan apa yang kamu maksudkan? Adil untukmu? apa aku tak salah dengar?!!" pekik Hilda dengan suara tertahan, sadar karena mereka sedang berada di Rumah Sakit.
"Apa Mas tahu? aku tak pernah berniat menyembunyikan keberadaan Ammar," Bibir Hilda mulai bergetar menahan tangis. "Aku bahagia, teramat sangat bahagia ketika mengetahui ada janin yang sedang tumbuh di rahimku, aku bahkan melupakan kenyataan bahwa kita sudah bercerai, secepat mungkin aku kembali dan berharap Tuhan masih mengizinkan kita bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi ternyata … anganku tak seindah kenyataan, keping hatiku kembali hancur, ketika melihat sendiri bagaimana Mas dengan lantang mengucap ijab qabul, demi menghalalkan dia di sisimu."
"Lalu jika sudah demikian, apakah kami masih akan memiliki arti di hidupmu? sementara kamu tak pernah menyisakan sedikit rasa untukku, karena semua rasa cintamu sudah habis untuknya seorang."
Hilda menumpahkan semuanya, bagaimana hancur dan sakitnya ia kala itu, sementara Aldy memulai kembali kebahagiaannya bersama wanita lain.
Aldy terdiam sesaat, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya, karena dada nya mulai terasa sesak, teringat bagaimana dulu ia dengan kejam memberikan Hilda pilihan yang sama-sama tidak mengenakkan. Kini ketika kembali menatap kedua iris mata Hilda yang sudah basah oleh air mata, sungguh tak ada kata yang mampu mengungkapkan betapa hancur perasaannya kini.
"Baiklah … jika Mas ingin tahu, Yah … Ammar memang anakmu, anak kita, sekarang Mas sudah tahu kan? pergilah … !!!" Usir Hilda tanpa perasaan, ia tak mau hati Ammar Hancur ketika mengetahui bahwa pria yang menimangnya sejak bayi, bukanlah Ayah kandungnya."
Aldy menggeleng, "Tidak Hilda … kumohon jangan mengusirku, aku masih ingin bersama anakku." Mohon Aldy dengan linangan air mata.
"Tapi Ammar sama sekali tak membutuhkan kehadiran mu, Mas." balas Hilda.
Aldy mengangguk pasrah, "Baik lah … Ammar memang tak membutuhkan kehadiranku, tapi ku mohon kasihanilah aku, yang sedang mengemis untuk berada di sisi anakku sendiri."
Hilda bisa merasakan sakitnya hati Aldy, karena dulu pun ia menangis, mencoba memohon dengan linangan air mata serta ketidakberdayaan sebagai seorang wanita dan seorang istri, tapi Aldy seolah menganggap 4 tahun mereka hanyalah kenangan yang harus dihilangkan. jadi kini ketika melihat Aldy mengemis, hatinya masih terasa kaku seperti batu yang sulit untuk dipecahkan.
"Memang ada yang akan berubah setelah Mas berada di sisi Ammar? tidak Mas. Anak itu memang anakmu, tapi sejak lahir Mas Irfanlah yang menimang dan menyayanginya dengan tulus tak kurang satu apapun."
Jleb !!
Kalimat Hida bak peluru yang melesat kencang dari senapan, dan tepat menembus ulu hatinya, nyeri mendera namun Aldy tak dapat melakukan apa-apa demi menyembuhkan sakitnya, serta menyembuhkan luka yang terlanjur ia torehkan di hati Hilda.
Keberadaannya kini laksana sekarung sampah yang harus Hilda singkirkan, agar aromanya tak meracuni udara di sekitarnya. Tapi itu sepadan, sangat sepadan jika dibandingkan dengan kekecewaan yang dulu ia perbuat pada Hilda.
Lengkap sudah kini rasa sakit nya, ini bahkan melebihi batas kemampuannya, bayangan senyum ceria Ammar kini menjadi hal yang sangat Aldy rindukan, tapi semua itu sepert harapan semu ketika Aldy melihat sendiri bagaimana Hilda mengusir serta menolak kehadirannya di sisi Ammar.
Ironisnya, Aldy tak dapat melakukan apa-apa, selain merelakan Hilda dan Ammar berbahagia dengan kehidupan mereka kini. Hilda membuang muka, tak sudi walau hanya sekedar menurunkan egonya, ia kembali ke ruangan Ammar dan meninggalkan Aldy seorang diri dalam keterpurukannya.
.
.
Hilda merasakan hawa dingin menyapu wajahnya, pelan-pelan ia membuka kedua matanya, wajah Irfan tersenyum menatap ke arahnya.
"Eh … Mas … sudah lama datangnya? maaf aku ketiduran."
"Gak papa, apa Mas mengganggumu?"
Hilda menggeleng, kemudian merenggangkan otot tubuhnya yang kaku, karena terlalu lama tidur dengan posisi menelungkup di sisi Ammar.
Usai pertengkarannya dengan Aldy, Hilda kembali ke ruangan Ammar, ia bahkan melupakan rasa lapar yang mendera perutnya, karena terlalu marah menghadapi kelakuan mantan suaminya.
Irfan mengusap kepala Hilda yang tertutup hijab, bahkan merapikan anak rambut sang istri yang agak berantakan. "Tidurlah di sofa, biar aku yang menjaga Ammar di sini."
"Tidak, Mas … ayo kita sama-sama duduk di sofa, aku sedang butuh bersandar di bahumu." pinta Hilda sendu.
"Pasti berhubungan dengan Aldy?" tebak Irfan.
Hilda menubruk dada sang suami, "Aku bingung, Mas, aku harus bagaimana?" bisik Hilda yang mulai menangis.
Impiannya adalah menjadi Ibu yang tangguh untuk anak-anaknya, tapi kenyataannya … ia masih saja rapuh ketika Tuhan kembali mempertemukannya dengan pria dari masa lalunya. Sekuat tenaga ia berusaha melupakan pahit dan getir masa lalu pernikahan pertamanya, pelan-pelan bangkit dan kembali merajut asa dengan pria yang menerima segala kekurangan dirinya, tapi setangguh dan sekuat apapun ia, Hilda tetaplah Hilda, wanita yang pernah terluka oleh pahitnya masa lalu.
Irfan semakin mengeratkan pelukannya, "Menangislah … tak apa … itu sesuatu yang wajar, ketika kamu merasakan sakit, tapi kamu harus janji, esok akan berdiri tegak menghadapi kenyataan."
Mendengar penuturan suaminya, air mata Hilda semakin mengalir, tangisnya pun semakin kencang. setidaknya Hilda bersyukur karena disaat-saat seperti ini, Irfan tak cemburu melihat kehadiran Aldy.
Beberapa waktu berlalu, Irfan benar-benar menepati janjinya, untuk jadi pendengar yang baik, ia hanya memberi kekuatan untuk menopang bahu rapuh sang istri, serta menjadi tiang penopang untuk menjaga keluarganya dari keras dan kejamnya dunia.
"Terima kasih, Mas."
"Untuk?"
"Semua yang sudah Mas lakukan untuk ku."
"Itu adalah janjiku, ketika aku menggenggam tangan penghulu yang menikahkan kita, bukan janjiku padamu, tapi janji kepada tuhanku, dan beginilah caraku memuliakanmu sebagai istriku." Irfan kembali merapikan rambut Hilda yang berantakan keluar dari sela-sela hijabnya. "kurang dan lebihnya adalah wajar karena kita hanya manusia biasa, tempatnya lupa dan salah."
Cup … Hilda mencium pipi suaminya, "sekali lagi terima kasih, Mas."
"Sekali lagi bilang terima kasih, aku akan menciummu sampai kehabisan nafas." ancam Irfan yang mulai lelah mendengar ucapan terima kasih.
Mendengar ancaman Irfan, wajah Hilda mendadak tersenyum jahil. "Terima kasih, terima kasih, thanks, gumawo, hatur nuhun, matur suwun kang mas …" seolah menantang sang suami, Hilda justru mengucapkan terima kasih dengan menggunakan berbagai bahasa yang ia ketahui.
"Nakal juga ternyata, dilarang malah seperti disuruh." kekeh Irfan gemas, ia mulai melancarkan ancamannya, bahkan tepukan keras Hilda ia abaikan, padahal Hilda takut jika sewaktu waktu, perawat masuk ke ruangan Ammar, dan melihat tingkah mesum suaminya.
"Belum kapok?" Tanya Irfan dengan nafas tidak teratur.
"Belum, tapi malu karena ini bukan kamar kita." Jawab Hilda jahil.
"Baiklah … nanti kita lanjutkan kalau Ammar sudah boleh pulang."
kruuuk kruuuk kruuuk
Suara perut Irfan membuat Hilda menoleh terkejut. "Mas, belum makan?"
Irfan menggeleng, "Tidak ada kamu, mana bisa mas makan?" Ifan mengeluarkan box berisi makan malam yang disiapkan Bu Ratih untuk mereka. "Sini … aku akan menyuapimu."
"Aku bisa makan sendiri."
"Sssttt … diamlah, malam ini biarkan aku yang memanjakanmu, sayang."
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg