Hasna berusaha menerima pernikahan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah ia kenal. Bahkan pertemuan pertama, saat keduanya melangsungkan akad nikah. Tak ada perlakuan manis dan kata romantis.
"Ingat, kita menikah hanyalah karena permintaan konyol demi membalas budi. jadi jangan pernah campuri urusan saya."
_Rama Suryanata_
"Terlepas bagaimanapun perlakuanmu kepadaku. Pernikahan ini bukanlah pernikahan untuk dipermainkan. Kamu telah mengambil tanggung jawab atas hidupku dihadapan Allah."
_Hasna Ayudia_
Mampukah Hasna mempertahankan keutuhan rumah tangganya? Atau justru menyerah dengan keadaan?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ujungpena90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Hasna tengah menyelesaikan masakannya di dapur bersama seorang ART keluarga Suryanata. Pagi ini semua masakan, Hasna yang memasaknya. Mbok Sumi hanya membantu untuk menghidangkan di atas meja.
Terlihat beberapa menu sudah terhidang di meja makan. Sup iga, gurame asam manis juga menu lainnya. Bu Diana terlihat baru saja keluar dari kamar dan diikuti Pak Andi dibelakang.
"Wah...tumben mbok Sumi masak banyak menu." Kata Bu Diana.
"Yang masak non Hasna, Bu. Bukan si mbok." Jawab wanita berusia enam puluhan itu.
"Selamat pagi, Ma, Pa." Sapa Hasna seraya meletakkan semangkuk sup iga yang masih mengepulkan asap. Sungguh aromanya begitu menggoda, membuat perut ingin cepat-cepat diisi.
"Pagi, sayang. Gimana tidurnya, nyenyak?"
"Alhamdulillah, nyenyak Ma." Jawabnya sambil menampilkan senyuman manis.
Pak Andi dan Bu Diana memposisikan diri di kursi masing-masing. Tak lama Nayla pun sudah bergabung.
"Mbok, minta tolong dipanggilin Rama nya." Pinta Bu Diana.
"Baik, Bu."
"Biar Hasna saja." Cegahnya.
Perempuan itu pun beranjak dari duduknya, mencari suaminya yang tengah bersantai di teras depan sambil memainkan ponselnya.
"Mas, sarapan dulu. Sudah ditunggu Mama sama Papa di meja makan." Ucap Hasna.
Rama segera bangkit dari duduknya menuju ke ruang makan. Atensi seluruh orang yang berada di meja makan teralihkan saat Rama mendekat ke arah mereka. Bahkan mereka secara bersamaan memperhatikan penampilan tuan muda Suryanata itu.
Memakai baju Koko juga kain sarung, Rama terlihat begitu berkharisma. Apalagi saat dibelakangnya berdiri seorang perempuan cantik yang mengenakan gamis, sungguh serasi.
"Iiihhh....ganteng bangeeett...kakak siapa sih ini?" Goda Nayla dengan nada suara yang dibuat-buat.
Rama menautkan kedua alisnya saat mendengar ocehan sang adik.
"Anak Mama makin kelihatan dewasa kalau pakai baju kayak gini." Puji Bu Diana.
Seketika Rama memperhatikan penampilannya. Baju yang sama, yang Hasna siapkan untuk ia pakai sholat shubuh tadi. Ia pun seketika paham, jika dirinya tengah menjadi pusat perhatian saat ini.
"Kamu nggak ngantor?" Tanya Pak Andi, sesaat setelah Rama duduk.
"Nanti agak siangan, Pa."
Kini mereka semua telah duduk di kursi masing-masing dan mulai untuk sarapan.
Setelahnya, Bu Diana mengantarkan Pak Andi sampai ke teras. Sepertinya beliau sedang terburu-buru. Sedangkan Hasna membantu mbok Sumi membereskan sisa sarapan mereka di dapur.
Nayla memilih duduk bersama sang kakak di ruang tengah. Tak lama, Hasna menghampiri keduanya dengan membawa secangkir teh hangat untuk suaminya.
"Mbak Hasna, hari ini free nggak?" Tanya Nayla.
"Kenapa emang?"
" Temenin Nay ngampus dong."
"Bentar doang, cuma ketemu dosen pembimbing. Setelah itu kita hang out bareng. Gimana? Mau ya, pliiisss..." Bujuk Nayla, karena Hasna tak kunjung memberikan jawaban.
Hasna melirik Rama yang duduk tak jauh darinya. Nayla mengikuti arah pandangan kakak iparnya itu. Seketika gadis itu paham, jika Hasna menunggu persetujuan dari Rama.
"Boleh ya, Kak. Kita gak sampe sore kok." Kini gadis itu ganti merayu sang kakak.
"Boleh ya." Mohonnya sekali lagi.
Rama mengangguk kecil sebagai jawaban. Seketika gadis itu memeluk dan memberikan kecupan singkat di pipi kakak laki-lakinya.
"Makasih, kakakku sayang." Ucapnya dengan tangan yang masih bergelayut manja di leher sang kakak.
Kedua netra Hasna membola menyaksikan adegan dihadapannya. Tidak ada yang salah memang, mereka saudara kandung. Jadi hal itu wajar sekali mereka lakukan.
Tiba-tiba kedua pipinya terasa menghangat. Segera ia menundukkan wajahnya, menyembunyikan rona merah muda di pipinya. Ada apa dengannya? Nayla yang mencium Rama, kenapa dia yang merona?
Nayla yang menyadari perubahan ekspresi Hasna, seketika memiliki sebuah ide untuk memecah kekakuan diantara Rama juga Hasna.
"Mbak Hasna kenapa? Mbak Hasna marah ya gara-gara Nay cium kak Rama? Tapi kak Rama kan kakaknya Nay, jadi gak papa dong." Goda adik iparnya. Nayla menunjukkan ekspresi seolah-olah ia tidak terima dengan sikap Hasna.
Seketika Hasna mengangkat pandangannya, kemudian menggeleng cepat.
"Bu...bukan, bukan begitu." Sangkal Hasna.
"Terus, kenapa ekspresi mbak Hasna seperti itu?"
Rama kini ikut memperhatikan ekspresi istrinya. Terlihat rona merah jambu samar-samar menghiasi pipi putihnya.
"Nay yang cium, kenapa mbak Hasna yang tegang?" Nayla makin gencar menggoda kakak iparnya. Kini malah ia bergelayut manja di lengan Rama.
Sungguh Hasna tak mampu menjawabnya. Perempuan itu lebih memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menyembunyikan wajahnya. Entah mengapa, hal itu membuat Rama menarik sudut bibirnya ke atas, walaupun samar.
"Udah, udah, nggak usah didengerin. Nayla emang suka gitu." Ucap Bu Diana yang baru datang dari luar, dan duduk di sebelah Hasna.
"Kamu juga Nay, nggak usah usil kayak gitu ah."
Nayla yang sedari tadi menahan tawa, makin tergelak. Bu Diana sebenarnya merasa bahagia melihat Rama tak sekaku sebelumnya dengan candaan yang dilontarkan adiknya. Tapi tak tega juga jika Hasna menjadi bahan candaannya. Karena menantunya terlalu lugu dan pemalu soal percintaan.
"Jadi gimana? Kak Rama kasih izin Mbak Hasna kan?" Tanya Nayla sekali lagi untuk memastikan.
Rama mengangguk sebagai jawabannya. Reflek Nayla pun mencium pipi sang kakak kembali. Sejujurnya Nayla bahagia dengan moment ini, dia bisa kembali bermanja dengan kakaknya, setelah sekian lama kakaknya berubah menjadi sosok yang dingin.
***
Dan di sinilah mereka sekarang, di kampus tempat Nayla mengenyam pendidikan. Setelah sebelumnya Nayla mengantarkan Hasna untuk berganti pakaian di rumahnya dengan Rama. Sekaligus mengambil laptop untuk sekedar memantau gerai usahanya.
Nayla tengah berada di ruang dosen pembimbingnya. Sedangkan Hasna lebih memilih untuk menunggunya di kantin yang tak jauh dari aula kampus.
Hasna fokus dengan pekerjaannya, memeriksa beberapa email yang dikirimkan pegawainya dari setiap gerai. Kemudian memeriksanya satu persatu. Sesekali sambil menikmati jus yang dipesannya.
Fokusnya teralihkan saat ada tangan yang terulur tepat dihadapannya. Hasna sedikit terkejut saat mengangkat wajah, melihat siapakah yang tengah berdiri dihadapannya sekarang. Seorang laki-laki muda yang usianya mungkin sepantaran dengan Nayla.
"Bian." Ucap laki-laki itu. Memberikan senyuman yang bisa memikat lawan jenisnya.
Hasna tetap bergeming, tak menghiraukan ucapan pemuda dihadapannya. Laki-laki itu menggoyang-goyangkan telapak tangannya agar Hasna meresponnya.
"Jangan ganggu kakak gue, Bian."
Suara cempreng Nayla mengalihkan perhatian keduanya. Ternyata gadis itu sudah selesai dengan urusannya, dan kini tengah berdiri diantara Hasna dan laki-laki yang menyebut namanya, Bian.
"Dasar playboy cap kampret, cewek udah dimana-mana, masih aja cari mangsa. Kebiasaan, nggak bisa lihat yang bening dikit." Omel Nayla.
Bian langsung membekap mulut Nayla yang sudah bersiap akan mengeluarkan omelannya kembali.
"Ssttt...berisik lo. Nggak usah bawa-bawa gelar playboy. Nggak akan laku buat lamar kerja." Bisik Bian ditelinga Nayla.
Nayla mencubit pinggang Bian, agar pemuda itu melepaskan bekapan tangannya. Hasna masih terdiam menyimak interaksi dua mahasiswa dihadapannya.
"Aaawww...gila, cubitan lo udah kayak cubitan nyokap gue." Bian meringis menahan rasa sakit akibat cubitan maut Nayla.
"Rasain, makanya nggak usah resek."
"Ckk...apaan sih Nay, orang gue cuma mau kenalan doang. Sewot amat." Bian masih mengusap usap pinggangnya yang terasa sedikit panas. Sungguh keterlaluan Nayla, kalau mencubit tenaganya gak tanggung-tanggung.
"Cari mangsa lain sono, jangan kakak gue. Dia gak bakalan tertarik sama bocah modelan kayak lo."
"Emang, tertariknya modelan yang kayak gimana? Ada tipe khusus?"
"Ada, tipe 70." Jawab Nayla ketus.
"Lah emang Lo pikir nyari rumah, tipe 70."
"Hahaha..." Nayla terbahak mendengar Bian yang mulai sewot. Sedangkan Hasna tak bisa menyembunyikan tawanya. Segera ia gunakan telapak kirinya untuk menutup mulutnya.
Sekali lagi, Bian hanyut dalam pesona Hasna. Entah kenapa, pemuda itu merasa Hasna adalah perempuan yang istimewa.
"Nay, kanalin dong." Ucap Bian seperti sebuah permohonan.
"Ogah, kakak gue udah nikah. Jadi lebih baik lo mundur daripada patah hati." Tolak Nayla.
"Ah, bokis lo. Nggak usah alasan udah nikah segala, gue nggak bakalan percaya. Buktinya kakak lo nggak pake cincin kawin." Elak Bian.
Seketika pandangan Hasna tertuju pada jari manisnya yang memang tidak dilingkari cincin pernikahan, pun dengan Nayla. Hanya ada cincin yang diberikan mama mertuanya saat melamar waktu itu.
Nayla menepuk pelan keningnya. Tak menyadari jika kakak iparnya tidak memakai cincin pernikahan seperti yang dikatakan Bian. Apalagi Hasna menikah diusia muda, ditambah wajah Hasna yang baby face, tak salah jika salah satu teman kampusnya mengajak Hasna kenalan. Tapi bagaimana jika kakaknya tau, kalau istrinya didekati mahasiswa tampan seperti Bian?