Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepatu Kulit
Pukul tujuh pagi Kimi menatap keluar jendela kamar kontrakannya. Baru satu minggu Kimi dan ibunya tinggal di rumah sederhana itu.
Dari jendela kamar, Kimi dapat melihat halaman samping rumah berumput dihiasi pot-pot bunga sederhana. Halaman samping itu berbatasan langsung dengan dinding samping rumah tetangganya. Sebuah rumah tiga lantai bercat putih. Megah dan mewah, bergaya Eropa klasik.
Telah beberapa kali Kimi melihat rumah tetangganya itu. Bentuk megahnya memancarkan aura kemewahan yang mencolok dari sekitarnya.
Bagian fasad rumah itu dikuasai pilar-pilar Corinthian yang kokoh, berdiri tegak menopang atap depan. Sementara jendela-jendela besarnya berbingkai putih berhiaskan tirai beludru, memberi kesan elegan. Di atas jendela, terdapat ornamen-ornamen klasik seperti relief bunga dan daun yang indah berjalin.
Di halaman depan, taman luas ditanami bunga-bunga. Aneka tanaman hias pun tertata rapi dalam pot-pot cantik.
Dari halaman depan, jalan setapak berbahan batu pualam mengarah ke pintu utama berukuran besar dan diukir dengan detail ukiran yang rumit. Sementara gerbang logam tempa tampak berdiri kokoh membatasi halaman, memberikan kesan eksklusif pada rumah tersebut.
Dari sisi gerbang itu dinding bersambung ke tembok pembatas halaman samping rumah Kimi. Tampak dari sana sebuah balkon mewah sedikit menggantung tepat di atas sudut belakang halaman samping rumah Kimi.
Hingga saat ini, Kimi dan ibunya, Rosmalia Maharani, masih berusaha mengenal seraya menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Mengamati sekeliling. Mulai berkenalan dengan tetangga baru, terutama rumah-rumah di belakang kontrakan mereka setelah masuk gang.
Namun untuk penghuni rumah mewah di samping rumah mereka. Baik Kimi maupun Rosmalia belum mengenal baik, kecuali hanya sepintas. Itu pun dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Sempat beberapa kali Kimi menengadah ke balkon rumah mewah tetangganya itu saat menjemur pakaian. Namun ia tak pernah melihat seorang pun di sana.
Di sana Kimi hanya melihat Kemewahan. Kemewahan balkon itu tampak begitu kontras dengan keadaan rumah kontrakan Kimi yang sederhana.
Rumah kontrakan Kimi hanya sebuah rumah dua kamar dengan ruang tengah dan ruang tamu kecil. Di ruang tengah itu terdapat meja makan empat kursi dan sebuah sofa sederhana untuk menonton televisi. Sementara di ruang tamu terdapat satu set kursi tamu klasik.
Semua perabotan di rumah itu sudah tersedia. Kimi dan ibunya tinggal menempati dan memakai semua perabotan itu. Mereka tinggal menjaga kebersihannya saja.
Sementara di bagian belakang terdapat sebuah dapur dan kamar mandi yang ukurannya jauh lebih kecil lagi. Tapi tidak mengganggu kegiatan harian sama sekali. Malahan membuat mereka lebih mudah untuk menjaga kerapian dan kebersihan di area belakang.
Untuk mengontrak rumah sederhana yang mereka tempati, Rosmalia harus menjual beberapa perhiasan berharga miliknya. Beruntung, karena kebaikan pemilik rumah, mereka mendapatkan harga sewa yang terbilang murah dibandingkan rumah kontrakan sebelumnya.
Hasil penjualan perhiasan itu pun sebagian bisa dipergunakan untuk melunasi tunggakan rumah kontrakan sebelumnya meski hanya satu bulan dan masih tersisa dua bulan lagi.
Di ruangan lain, dalam sapuan sinar matahari pagi menembus jendela, Rosmalia tampak cemas setelah menerima telepon dari pemilik kontrakan sebelumnya. Suara pemilik kontrakan terdengar tegas dan tidak sabar.
“Ibu Maharani, kami memerlukan pelunasan untuk tunggakan dua bulan kontrakan yang belum dibayar. Mohon segera dibayar, kami tunggu minggu ini!”
Rosmalia menghela napas panjang, memikirkan bagaimana cara untuk mencari uang tambahan dengan cepat.
“Iya Bu, insyaAllah, kami sedang berusaha,” katanya.
Setelah kembali dari Inggris delapan belas tahun silam, Rosmalia berharap memulai babak baru yang lebih baik. Namun, realitas yang dihadapi jauh dari yang diimpikan.
Keahlian dan pengalaman internasionalnya sebagai desainer tidak mudah diterima pasar lokal yang lebih fokus pada gaya dan pendekatan kontemporer. Apalagi kini, setelah usianya memasuki kepala empat membuat ia semakin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor seni dan desain, terutama di Jakarta, di mana pasar kerja seringkali lebih mengutamakan tenaga muda dengan tren terbaru.
Rosmalia sudah berusaha. Namun setiap upaya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang dan kondisinya selalu berakhir dengan penolakan. Penolakan yang kemudian menyisakan kekhawatiran dan ketidakpastian mengenai masa depan dirinya dan masa depan putrinya, Kimberly.
Dalam situasi itu akhirnya Rosmalia memilih jadi buruh cuci dan setrika baju. Berkeliling menawarkan jasa ke setiap rumah.
Setelah memperingatkan sekali lagi, si penelepon mengakhiri panggilan. Rosmalia termenung sejenak, kemudian pergi ke dapur.
Sementara itu, Kimi bersiap untuk wawancara kerja di perusahaan ke dua belas. Dengan niqab Yaman dua lapis warna hitam favoritnya, dipadu gamis blazer warna krem beraksen warna hitam, Kimi tampil anggun namun tetap mengesankan nuansa formal.
Saat menatap bayangan dirinya di depan cermin Kimi merasa sedikit gugup. Namun, di tengah segala ketidakpastian, ia berharap wawancara kali ini akan menjadi titik balik yang membawanya pada kesempatan yang telah lama ia impikan.
Ketika Kimi berdiri dan bersiap keluar kamar, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di halaman samping rumah.
Kimi melongok-longok lewat jendela. Ia tak melihat apa pun. Kemudian gadis itu keluar kamar mencari ibunya. Tak ada siapa pun di ruang tengah.
“Mom! Mom!” panggilnya.
“Ada apa? Mommy lagi sibuk!” jawab Rosmalia dari arah dapur. “Tunggu sebentar!”
Dengan langkah cepat Kimi membuka pintu menuju halaman samping rumah. Setelah memeriksa lebih teliti, ia melihat sebuah sepatu pantofel oxford cokelat tergeletak di atas rumput halaman samping sebelah belakang.
Sepatu itu tampak mengkilap namun sedikit kotor di beberapa bagian. Mungkin karena membentur tanah halaman sebelum mendarat di rumput.
Kimi menunduk untuk mengambil sepatu itu. Sesaat kemudian ia menengadah. Kimi merasa bahwa benda itu sepertinya jatuh dari arah atas, dari arah balkon rumah tetangganya.
Kimi memutuskan untuk membersihkan sepatu itu menggunakan tisu kemudian menyimpannya dalam sebuah kantong kresek putih. Kimi menjinjing kantong kresek itu, bermaksud mengembalikan sepatu itu, namun tiba-tiba ponselnya berdering.
Kimi terkejut. Kimi menyimpan kantong keresek itu di bawah lantai dekat beberapa kantong keresek lain di ruang tengah kemudian bergegas menuju kamar untuk mengangkat panggilan telepon. Rupanya dari perusahaan waktu itu.
“Halo Ibu…”
“Ya, Pak,” jawab Kimi.
“Selamat pagi, Ibu… Kimberly. Saya Darmanto dari PT Anugerah Jaya Persada. Saya ingin memberi tahu bahwa setelah mempertimbangkan… semua kandidat, kami… memutuskan untuk melanjutkan wawancara dengan kandidat lain.”
“Oh, iya Pak, saya mengerti,” Kimi menghela napas. “Tapi... apakah bisa diberi tahu alasannya?”
“Tentu. Begini, Bu… mmm… ya, kami menghargai pendidikan dan keahlian multi bahasa Anda, namun cadar Anda… tidak sesuai dengan kebijakan perusahaan kami mengenai penampilan di lingkungan kerja.”
“Baiklah…,” Kimi menarik napas panjang. “Terima kasih atas penjelasannya.”
“Terima kasih juga atas minat Anda dan pengorbanan Anda mengikuti wawancara di kantor kami.”
“Sama-sama Pak!”
“Saya rasa itu saja yang dapat saya sampaikan, mungkin… ada yang ditanyakan lagi sebelum diakhiri?”
“Tidak Pak, sudah cukup jelas.”
“Baik kalau begitu, selamat pagi…”
“Selamat pagi Pak…”
Kimi duduk termenung di tempat tidur lalu memasukan ponselnya ke dalam tas. Setelah itu ia bergegas ke ruang tengah dan duduk di sofa. Tampak ibunya baru kembali dari luar.
“Have you eaten?” (Sudah sarapan?) tanya Rosmalia.
“Yes, Mom,” (Sudah, Bu,) jawab Kimi, termenung.
Rosmalia menangkap keanehan itu.
“What's up, honey? Why the long face?” (Ada apa, sayang? Kenapa termenung?)
“I got… rejected again, Mom!” (Aku… ditolak lagi, Bu!)
“Pasti karena cadar lagi ya?”
Kimi menganguk.
Rosmalia menghembuskan nafas lalu duduk di dekat Kimi.
“Meskipun Mommy sendiri belum siap berhijab, tapi melihatmu teguh dalam pakaian muslimahmu ini, Mommy sangat bangga dan bersyukur. Stay strong, honey. I always love you, and I'm so proud of you!" (Tetaplah kuat, sayang. Aku selalu mencintaimu, dan aku sangat bangga padamu!)
Mendengar ucapan ibunya, mata Kimi berkaca-kaca.
Rosmalia beranjak ke dapur. Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, namun tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari depan rumah.
“Permisi… Paaak, Buuuu, permisiiii…!!”
Kimi beranjak ke ruang tamu. Gadis itu terkejut, seorang pria dalam setelan kemeja berdasi sudah berdiri di halaman rumahnya. Kimi menemui ibunya memberitahu ada tamu. Ibunya yang sedang sibuk mencuci piring berpesan supaya Kimi saja yang menemui si tamu.
Kimi pun beranjak ke ruang tamu dan membuka pintu. Rupanya itu adalah si pria berjambang tipis. Tak seperti sebelumnya, rambut slicked-back-nya pagi ini tampak belum tersisir rapi. Sementara matanya yang tak terhalang kacamata hitam terlihat lebih jelas. Tajam dan bernas.
Dalam setelan kemaja, dasi dan celana katun mahal, penampilan pria muda bertubuh ramping itu tampak sangat elegan. Hanya saja… ia bertelanjang kaki.
Pria itu menatap Kimi dengan sorot mata aneh. Namun kemudian memaksakan senyum sambil menyapa :
“Halooo… selamat pagi!”
“Selamat pagi,” jawab Kimi, bingung.
“Maaf Buuu, sepertinya tadi sepatu saya terjatuh di… sana.” Kata pria itu sambil menunjuk halaman samping.
Kimi langsung teringat.
“Oh iya, sebentar Pak!”
Kimi kembali ke ruang tengah.
“Tidak dipersilahkan masuk dulu?” gumam pria itu, lebih kepada dirinya sendiri, dengan suara hampir tak terdengar dan senyum menguncup.
Di ruang tengah, Kimi mencari-cari kantong kresek yang ia letakkan di lantai. “Mom! Kantong kresek di sini ke mana ya?” tanya Kimi.
Rosmalia muncul dari arah dapur.
“Kantong kresek apa?” tanya Rosmalia, memastikan.
“Tadi di sini ada kantong kresek kan Mom?”
“Oh kantong-kantong sampah, tadi sudah Mommy buang ke gerobak tukang sampah. Kebetulan tadi lewat depan rumah. Memangnya ada apa?”
“Hah, dibuang? Semuanya?” tanya Kimi, mulai panik.
“Ya, semuanya dong, Kimi… Masa sampah mau dibiarin numpuk? Nggak bagus. Nanti banyak kecoak.”
Sekarang Kimi benar-benar panik. “Kresek yang warna putih juga, Mom?” tanya gadis itu dengan mata membelalak.
Rosmalia berkernyit tak mengerti. “Iyaaa, Kimi… Ada apa sih memangnya?”
“Astaghfirullooh!" gumam Kimi, terkejut.
Kimi segera beranjak ke depan menemui si pria dengan tergopoh-gopoh. “Kayaknya sepatu… sepatu Anda... tadi... tak sengaja terbuang ke gerobak sampah,” ujar Kimi, panik.
“Terbuang? Ke gerobak sampah?”
“Iya Pak!”
“Mana, mana gerobak sampah itu?”
Kimi melongok-longok, “Sepertinya sudah pergi Pak.”
“Oh, tidak! Tidak mungkin!”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.