Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Malam itu Dewa merasa hatinya hancur, setelah kepergian Lintang yang ia usir dengan begitu kejamnya. Dewa menyesal teramat sangat, dari bibirnya keluar kalimat yang sangat ia benci. Hanya Karena aduan sepihak, ia berani mengambil keputusan besar dengan menceraikan Lintang. Bagaimana, ia harus memberi alasan yang masuk akal? Sudah dapat dipastikan Om Ahmad akan kecewa dengan perbuatannya, apalagi ia adalah seorang yang di beri tanggungjawab oleh sang ibu. Merawat dan menyayangi Lintang, adalah permintaan terakhir Nyonya Rahayu.
Dewa mengacak-acak rambutnya kesal, lalu ia terduduk lesu di balkon kamarnya. Satu jam lalu, ia melihat Lintang pergi membawa ransel dengan taksi online. Sungguh Dewa tak memikirkan kemana kiranya Lintang akan pergi, karena selama ini pergaulannya dibatasi. Dewa melirik jam di tangannya yang menunjukkan angka 20.00 WIB, kiranya ia masih bisa menyusul Lintang. Tapi harus kemana? Ah ya, mungkin ke rumah dokter Zian, karena dialah laki-laki yang dekat dengan adiknya selama ini. Di sambarannya kunci mobil yang ada di atas meja rias, secepat kilat ia berlari keluar. Dewa membuka pintu mobil kemudian memasang seltbelt dan segera berlalu. Pak Jaja yang tengah bermain kartu, tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang. Tuan mudanya mengendarai kendaraan dengan kencang, selepas pintu terbuka.
"Ada apa dengan Den Dewa ya, Pak Jaja?" tanya Mang Usep, suami Bik Inah dengan logat sundanya.
"Enggak tau, saya juga bingung. Tadi Non Lintang pergi dengan ranselnya, sekarang suaminya ikut juga pergi" jawab Pak Jaja, sambil menggaruk tengkuknya.
"Daripada ngurusin majikan kita, mending terusin lagi aja mainnya" ucap Mang Usep, mengocok kartu gaplenya.
Sementara itu Dewa seolah berkejaran dengan waktu, menyalip beberapa kendaraan yang menghalangi. Terkadang ia mendapat makian, akibat dari ulahnya yang ugal-ugalan. Tapi ia abaikan, Lintang adalah yang utama saat ini.
Tiba di sebuah rumah mewah bergaya Eropa, Dewa turun dan menanyakan pada satpam yang bertugas. "Maaf Pak, apa dokter Zian ada di rumah?"
"Wah, Bapak terlambat barusan dokter Zian pergi ke rumah sakit" jawab sang security bertampang sangar itu ramah.
"Oh ya, terimakasih Pak" kembali Dewa memutar arah kemudi, menuju tempat kerja dokter Zian. Sepanjang jalan ia merutuki perbuatannya sendiri. Menceraikan dan mengusir Lintang, dari rumah yang selama ini menaunginya. "Ah, tolol sekali aku" gerutu Dewa, sembari memukul-mukul stir mobil.
Tiba di RS tempat dokter Zian bertugas, Dewa segera mendatangi bagian informasi. "Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang petugas ramah.
"Selamat malam, saya ingin bertemu dengan dokter Zian Iskandar" jawab Dewa.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan segera hubungi beliau."
Sambil menunggu Dewa memandang sekeliling, melihat aktifitas yang tengah di lakukan para petugas medis. Pasien datang silih berganti memasuki ruangan UGD, rupanya cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini banyak membuat masyarakat terserang penyakit.
"Maaf, nama bapak siapa?" tanya, petugas ber-name tag Sandra.
"Saya Dewa Hanggara, katakan saya harus bertemu beliau secepatnya" ucap Dewa, sedikit memaksa.
"Baik pak, mohon sabar menunggu" sambil tersenyum manis, Sandra kembali menghubungi dokter Zian. Setelah mendapatkan jawaban, barulah ia memberitahu Dewa.
"Pak Dewa, saya sudah menyampaikan pesan bapak. Sebentar lagi, beliau akan datang."
"Baik, terimakasih atas bantuannya." Dewa menggangguk, lalu duduk di kursi besi yang ada di ruang tunggu. Beberapa menit kemudian, terlihat dokter Zian datang masih dengan seragam putih dan sneli di lehernya.
"Ada keperluan apa, mencari saya?" tanyanya tegas, penuh penekanan.
"Bisa kita bicara, di depan ada cafe yang masih buka" ucap Dewa, memberi saran.
"Baiklah, tapi saya tidak bisa berlama-lama" Zian melirik arloji branded ditangannya.
"Ayok, kita sekarang ke sana."
Dewa memimpin jalan menuju seberang RS, di ikuti Zian yang berjalan tegap di belakangnya. Begitu sampai, Dewa segera memesan kopi hitam berikut camilannya pada seorang waiters. Mereka duduk saling berhadapan, layaknya musuh yang hendak bernegosiasi.
"Silahkan, apa keperluan Pak Dewa mencari saya?"
"Tadi siang, apakah dokter bertemu dengan Lintang?"
"Iya, kamu bertemu di cafe Anyelir."
"Apa, yang kalian bicarakan?"
Dokter Zian tampak tersenyum tipis, ia hanya mengendikkan bahunya. "Apakah, Pak Dewa cemburu?" tanyanya sinis, jari tangannya mengetuk-ngetuk permukaan meja.
"Cukup dokter! Jangan bermain-main dengan saya" ujar Dewa emosi.
"Hahaha!" Zian tertawa terbahak, melihat ekspresi Dewa yang gusar. "Siapa, yang bermain-main?" tanyanya membalikkan pertanyaan. "Bukankah Pak Dewa yang selama ini, mempermainkan pernikahan?"
"Oh ****!" gumam Dewa kasar. "Jangan ikut campur, urusan ku."
"Ya, sudah kalau begitu. Saya akan kembali, masih banyak pasien yang butuh pertolongan" ucap Zian mengangkat b*k*ngnya dari kursi.
"Tunggu dokter!" cegah Dewa cepat.
"Apalagi?" tanya Zian, mulai kesal.
"Dokter tau, kemana Lintang pergi?"
"Kenapa tanya saya? Bukankah, Pak Dewa suaminya?!"
"Lintang pergi dari rumah, tepatnya saya sudah mengusir juga menalak dia."
"Apa kamu bilang?!" tanya Zian sambil berteriak, tangannya spontan menarik kerah baju Dewa. "Kalau terjadi apa-apa dengan Lintang, saya akan beri pelajaran pada anda" dengan sekali sentak, Zian mendorong tubuh tinggi Dewa. "Bruuk!"
Dewa terjatuh, dari kursi yang di dudukinya. Pinggangnya terasa sakit, dan sulit untuk berdiri. Untungnya seorang seorang pengunjung pria membantunya bangkit, sementara Zian hanya menatapnya sinis.
"Sebagai lelaki, seharusnya Pak Dewa malu. Berani berpoligami, harus berani pula menerima semua konsekwensinya. Jangan berat sebelah, harus adil dan mau mengayomi wanitanya. Camkan baik-baik, ini peringatan dari saya" ucap Zian, panjang lebar. Ia berlalu begitu saja, tanpa melihat lagi ke arah Dewa.
Sang waiters mengantar pesanannya, secangkir kopi hitam untuknya, dan espresso buat Zian. Dewa menyeruput kopi, yang masih mengepulkan asapnya. Terasa panas, tetapi lebih panas hatinya di bandingkan kopinya. Diam-diam, ternyata Zian menaruh hati pada Lintang. Dunia memang adil, orang baik banyak di sayang teman. Seperti halnya Lintang, tutur kata dan lakunya yang sopan membuat banyak orang simpati.
"Hai bro!" sapa pria dewasa, dengan jambang tipis di rahangnya. "Sendiri aja, mana ke dua istri mu?" tanyanya, sembari menarik kursi.
"Frans, lagi apa di sini?"
"Aku bekerja."
"Oh ya, jadi waiters."
"Lebih dari itu, aku pemilik cafe ini. Kenapa kamu malah keluyuran? bukannya menunggui istri siri mu."
"Aku sedang mencari Lintang..."
"Apa kamu mengusirnya? Hanya karena aduan dari Haruna, kamu jadi gelap mata, begitukah Dewa?"
"Aku menyesali perbuatan ku, yang sudah semena-mena terhadap Lintang."
"Baguslah, kalau kau sadar. Tapi, apa yang kamu perbuat terhadap Lintang?"
"Aku mengusirnya..."
"B*jing*n!" sekali lagi, Dewa menerima makian. Dan parahnya, Frans mendaratkan bogem mentahnya pada pipi Dewa. Kembali, ia terjungkal dari kursinya.
"Cuih!" Dewa merasakan asinnya darah di mulutnya, ia memegangi pipinya yang terasa sakit.
Frans menarik Dewa agar bangkit, kemudian menepuk-nepuk pipinya. "Lebih sakit mana? Lintang yang kau usir, atau tonjokkan ku yang tak seberapa ini."
****
yg ad hidupx sendirian nnt x