Bidadari Penghapus Luka
Suasana di tempat katering Dapur Berkah cukup sibuk pagi ini. Kebetulan ada pesanan katering lima ratus boks nasi untuk sebuah acara amal.
Hasna, gadis dua puluh tiga tahun yang menjadi pemilik tempat usaha katering itu. Usaha keluarga yang berhasil dijalankannya kembali dan ditekuninya selama menempuh pendidikan perguruan tinggi itu cukup bisa diperhitungkan.
Terbukti dengan dua cabang yang telah berhasil dibukanya. Begitupun banyaknya pelanggan yang mempercayakan acaranya pada usaha katering yang dikelolanya. Tak hanya menyediakan menu berupa nasi dengan paket komplit lainnya. Namun juga cake dan pastry.
"Mbak, tolong dicek lagi yah sebelum dikirim ke pelanggan." Pinta Hasna pada salah satu pegawainya.
"Siap mbak Hasna."
Hasna kembali mengecek semua orderan yang akan dikirimkan siang ini. Karena acara akan dilaksanakan sore hari.
"Mbak, untuk cakenya apa nantinya akan dikirimkan secara bersamaan?" Tanya salah satu pegawai Hasna.
"Tidak. Nanti cakenya akan dikirimkan setelah kita mengirimkan boks nasi. Saya akan cek dulu pesanannya." Jawab Hasna.
"Baik mbak"
Begitulah Hasna, walaupun dia pemilik usaha, namun dia tak pernah lepas tangan saat berurusan dengan para pelanggannya. Karena menurutnya kepuasan dari pelanggan adalah nomer satu.
Itulah sebabnya, walaupun usaha yang ditekuninya baru berjalan sekitar tiga tahun lamanya itu, mampu disandingkan dengan usaha kuliner yang senior.
Gadis berparas ayu itu segera melangkah keluar dari gedung katering miliknya. Ia segera menuju ke toko cake and pastry miliknya yang bersebelahan dengan gedung katering.
Sebenarnya tempat katering miliknya berlantai dua. Awalnya toko cake and pastry miliknya ada di lantai dua. Namun karena usahanya berkembang sangat pesat, akhirnya dia menyewa ruko disebelah tempat usaha kateringnya. Awalnya hanya menyewa, tapi tahun lalu ruko ini berhasil dimilikinya dan direnovasi menjadi toko dan juga kafe dilantai dua.
Drrrtt...drrrttt...
Ponsel yang digenggamnya berbunyi. Panggilan dari kakek, keluarga satu-satunya yang mengasuh dirinya sepeninggal kedua orang tuanya.
"Halo, assalamu'alaikum kek?" ucap Hasna saat panggilan telah tersambung.
"Wa'alaikumussalam, nak. Kamu sibuk?." Terdengar suara kakek dari seberang sana.
"Lumayan sih kek, ngecek pesanan yang akan dikirim siang nanti. Ada apa?"
"Gimana, sudah siap?" Tanya Hasna dari gerakan bibir pada pagawai tokonya, karena sambungan telepon masih tersambung.
"Beres mbak" jawab Nadia, orang kepercayaannya.
"Malam nanti, bisa pulang cepat nak?" Tanya kakek.
"Insyaallah bisa kek. Hasna hanya cek pesanan. Nanti setelah diantar, Hasna mau cek pembukuan toko dan katering. Setelah itu Hasna langsung pulang."
"Baiklah, kakek tunggu cucu kesayangan kakek pulang. Hati-hati ya nak."
"Iya kek. Oh ya, kakek mau dibawain apa nanti?"
"Tidak perlu nak, cukup senyuman gadis kecil kakek."
"Baiklah kek, tunggu Hasna pulang." kekeh Hasna. "Assalamu'alaikum kakek."
"Wa'alaikumussalam, sayang." Sambungan pun terputus.
Setelah memastikan semua pesanan pelanggan, Hasna segera menyelasaikan pekerjaannya mengecek laporan keuangan.
***
"Assalamu'alaikum, kek." Hasna mencium tangan kakek setelah mengucapkan salam.
"Wa'alaikumussalam, sini duduklah nak." Kakek menepuk sisi kanan tempat beliau duduk agar diduduki Hasna.
"Ada apa kek? Sepertinya ada hal yang serius?."
Tak langsung menjawab, justru kakek menghela nafas panjang. Hasna pun menggenggam talapak tangan kakek.
"Kek, ada apa?" Hasna mengulang pertanyaan itu kembali.
"Katakanlah kek."
"Hasna, maafkan kakek. Mungkin apa yang akan kakek katakan, dapat melukaimu secara tidak sengaja." jawab kakek
Tak segera menjawab perkataan sang kakek, justru Hasna menatap lurus manik mata tua yang penuh cinta itu.
"Dulu, Firman ayahmu mengalami kebangkrutan dalam usahanya bersama ibumu. Usaha yang mereka rintis hampir saja gulung tikar. Kalau tidak ada kemurahan hati dari pak Andi, mungkin usaha ayahmu benar-benar bangkrut, dan usaha katering ini tidak akan bisa bertahan sampai sekarang." Kakek menjeda ucapannya dan menatap lurus manik sang cucu yang sangat dikasihinya.
Hasna masih setia menunggu ucapan kakek selanjutnya, tanpa adanya keinginan untuk menyela sedikitpun.
"Hasna, minggu lalu keluarga pak Andi menelepon kakek. Beliau ingin meminta hal berharga yang selama ini kakek jaga. Dulu sewaktu ayahmu masih hidup, ayahmu pernah akan mengembalikan modal yang dipinjamkan oleh pak Andi. Namun pak Andi menolak, dan merangkul ayahmu seperti keluarganya sendiri. Dan disaat, beliau meminta suatu hal yang sangat berharga yang dimiliki keluarga kita, kakek tidak sanggup menolak. Tapi kakek tidak bisa memutuskannya sendiri." ucap kakek.
"Kalau kekek yakin akan memberikannya kepada mereka, dan kakek mampu. Maka berikanlah kek. Kakek tidak usah memikirkan bagaimana kita akan mendapatkannya kembali. Harta bisa dicari ,tapi hutang budi tak akan pernah bisa kita ganti, walaupun dengan nominal yang sama." Ucap Hasna begitu bijak.
"Tapi nak, bukan masalah berapa nominal yang harus kita ganti kepad beliau." Ucapan kakek terdengar masih mengambang.
"Lalu?"
"Keluarga pak Andi meminta kakek untuk menikahkan putri dari almarhum putra kekek, yaitu kamu, dengan putra beliau." ucap kakek hati-hati.
Seketika genggaman tangan Hasna merenggang. Ia begitu terkejut dengan apa yang disampaikan oleh sang kakek. Tak tau bagaimana ia menyikapi masalah yang tengah dihadapi. Semuanya terjadi secara tiba-tiba.
"Nak, kakek tau apa yang kamu rasakan sekarang. Kakek tidak akan memutuskan secara sepihak. Bagaimanapun nantinya kamu yang akan menjalaninya. Menikah adalah ibadah terpanjang yang akan dijalani seumur hidup. Baik buruknya rumah tangga tergantung bagaimana kamu dan pasangan menjalaninya. Tak perlu kamu menjawabnya sekarang nak. Pikirkanlah matang-matang. Mintalah petunjuk pada Allah. Semoga jawaban yang terbaik yang akan kamu peroleh." Ucap kakek sambil mengusap lembut pucuk kepala cucu perempuannya.
"Sekarang istirahatlah nak." Kakek pun beranjak meninggalkan Hasna seorang diri di ruang tengah menuju ke kamar beliau.
Hasna menghirup nafas sepenuh dada untuk menetralkan suasana yang berkecamuk di dalam dadanya. Tak pernah terfikirkan olehnya akan menikah secepat ini. Masih banyak impian yang ingin dicapainya. Ia ingin menjadi seorang cucu yang bisa dibanggakan oleh seseorang yang telah membesarkannya dengan penuh sayang.
***
"Nak, tidak sarapan dulu?" Tanya kakek saat melihat Hasna sudah menenteng tas dan menyambar kunci mobilnya.
"Tidak kek, Hasna buru-buru. Hasna mau mengecek persiapan pembukaan restoran kek." Hasna Hanya meneguk segelas susu hangat di atas meja makan.
"Jadi diresmikan bulan depan?" Tanya kakek sambil menyuap sarapannya.
"Dua minggu lagi kek. Ini sudah tangah bulan." Hasna terkikik menjawabnya.
"Yaaa, kakek hampir lupa kalau ini sudah tengah bulan." Kakek ikut terkekeh
"Ya sudah, hati-hati dijalan. Jangan lupa makan tepat waktu sayang."
"Iya kakek. Hasna pergi dulu. Assalamu'alaikum." Hasna berpamitan sambil mencium tangan kakek.
"Wa'alaikumussalam." Jawab kakek sambil mencium pucuk kepala cucu tersayangnya.
Mobil Hasna berlalu meninggalkan pekarangan rumah menuju ke tempat yang akan dijadikannya restoran. Ya, usaha katering Hasna mulai melebarkan sayapnya merambah ke usaha restoran.
Hasna memang memiliki hobi memasak. Sejak dirinya masih kecil, Hasna sering membantu ibunya di dapur katering guna menyiapkan pesanan para pelanggan. Dan inilah salah satu alasan Hasna mempertahankan usaha keluarganya. Yang awalnya hanya usaha katering rumahan, menjadi usaha katering besar dengan dua cabang beserta dua toko kue and pastry. Dan sekarang ia akan memulai usaha restoran.
Setelah kepergian orang tuanya, Hasna tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Bahkan biaya pendidikannya pun tak bergantung dari harta sang kakek.
Dia mampu membiayai pendidikannya sampai selesai dari hasil keringatnya sendiri, juga dari bea siswa yang ia peroleh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Fajar Ayu Kurniawati
.
2024-07-21
1
Anonymous
p
2024-06-26
0
Anonymous
ok
2024-06-21
0