Menjalani kepahitan hidup bertubi-tubi, membuat Anya akhirnya terjebak dalam dunia malam yang tak pernah dibayangkannya. Suatu hari sepulang bekerja dalam keadaan setengah mabuk, Anya menabrak seorang pria. Pria itu ternyata kengalami amnesia hingga Anya terpaksa menampungnya untuk sementara waktu.
Siapa sangka jika pria tanpa identitas yang sebelumnya papa dan sebatang itu termyata adalah seorang pengusaha kaya yang dinyatakan hilang dalam sebuah kecelakaan misterius, bahkan sudah dianggap meninggal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzati Zah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Setelah membuat beberapa kesepakatan akhirnya Alina pergi meninggalkan rumah Anya. Anya setuju untuk pindah rumah dengan imbalan sejumlah uang. Dan Anya juga setuju untuk melepaskan Heru dengan memutus segala jenis kontak diantara mereka. Bagi Anya kesepakatan itu akan mendatangkan dua keuntungan sekaligus. Lepas dari Heru sekaligus mendapatkan uang. Kedatangan tamu tak diundang yang sempat ditakutinya ternyata justru mendatangkan rezeki baginya. Meski di satu sisi hatinya, Anya juga merasa amat miris, begitu licik dirinya hingga harus mencari uang dengan jalan demikian.
Ah sudahlah, Anya menghentikan segala pikiran rumitnya dan memilih kembali masuk ke kamarnya. Tapi ditengah langkahnya, Anya memergoki Anton sedang berada di dekat ruang tamu. Pandangan mereka sempat bertemu, sebelum Anton memutar kursi rodanya, bersiap untuk masuk ke kamar.
"Anton!", panggil Anya keras untuk menghentikan Anton.
Dengan terpaksa Anton berhenti dan berbalik menatap Anya.
"Ada apa?"
"Kamu mendengar pembicaraanku dengan Alina?"
"Maaf...", Jawab Anton mengambang. Dan jawaban itu sekaligus menjadi pengakuan dosa, karena telah dengan lancang menguping pembicaraan Anya dan tamunya.
Sedang tatapan Anya semakin tajam menghujam, membuat Anton jadi salah tingkah.
"Kamu sudah tahu kan siapa aku yang sebenarnya?"
Anton hanya duduk mematung, tak tahu harus menjawab apa.
"Jadi bagaimana sekarang? Apakah aku masih terlihat mengagumkan dimatamu? Oh, pasti tidak, karena apa yang kulakukan begitu kotor dan menjijikkan..."
Anya menjawab sendiri pertanyaannya dengan tatapan yang terluka.
"Anya..."
Kata-kata Anton menggantung, bingung untuk meneruskannya.
"Maaf, aku hanya bisa membiayai hidup kita dengan uang dari pekerjaan haramku..."
Anya lalu duduk di sofa dengan kepala tertunduk dan perlahan air mata turun membasahai wajahnya. Entah mengapa rasanya begitu menyakitkan. Padahal Anton hanyalah orang asing yang belum lama dikenalnya. Tapi Anya merasa begitu malu akan dirinya. Bagaimana kalau nanti keluarganya sampai tahu, bahwa dosa yang dilakukannya sekarang bukan sekedar karena kekhilafan seperti dulu, melainkan sebuah pilihan yang diambilnya dengan sadar.
Beberapa saat Anton membiarkan Anya sampai puas menangis. Lalu Anton mengambilkan segelas air putih untuk Anya.
Saat Anya terlihat lebih tenang barulah Anton memberanikan diri untuk bicara.
"Anya, apapun yang kamu lakukan tidak akan mengubah penilaianku terhadapmu...dan bagiku tetap jasamu begitu besar dan tak tergantikan oleh apapun..."
"Dan dimataku kamu sama sekali tidaklah kotor dan menjijikkan, karena aku juga bukan orang suci yang pantas untuk menilai dan menghakimi kesalahan orang lain, mungkin saja dosaku lebih besar darimu..."
"Anya, kamu adalah seseorang yang menerimaku dan menolongku di titik terendah hidupku, disaat aku benar-benar tidak berdaya. Jadi Anya, jika sekarang adalah masa yang amat berat bagimu, aku akan tetap berada disisimu, meskipun maaf, tidak banyak yang bisa kulakukan untukmu..."
Mendengar kata-kata penghiburan Anton yang terdengar begitu tulus, tangis Anya yang sempat mereda malah semakin menjadi. Dan Anton semakin dibuat bingung karenanya.
"Anya...anya...ada apa? kok malah nangis lagi? Jangan menangis terus begini...aku jadi bingung harus melakukan apa..."
Teriak Anton dengan panik.
Kemudian Anya justru berjalan mendekat, lalu memeluk Anton yang masih duduk di kursi roda.
"Peluk...aku membutuhkan pelukan seseorang saat ini, agar aku merasa tidak sendirian dan punya sandaran...", kata Anya dengan tersedu.
Meski dengan ragu-ragu akhirnya Anton membalas pelukan Anya, lalu menepuk punggungnya pelan-pelan.
"Tenang...tenang...ada aku disini...ayo kita hadapi ini bersama-sama. Saat aku pulih nanti semoga aku bisa membalas kebaikanmu satu per satu..."