Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 10
"Tunggu" ucap Mia, segera menurunkan bakul di gazebo, kemudian menemui pria yang masih berdiri di samping mobil. Pria itu menatap Mia dengan dahi berkerut.
"Siapa kamu?" Tanya si pria ketika Mia sudah berdiri di depanya.
"Mase lupa sama saya? Ya Allah... saya cari kemana-mana tidak bertemu. Alhamdulillah... akhirnya Allah menuntun saya bisa menemukan Anda disini," Mia mengangkat kain kebaya ke atas hingga menampilkan celana panjang berwarna cream.
"Eh, eh. Mau apa kamu?" Pria itu kaget, dia pikir Mia mau mem*erkosa dirinya.
"Mase pikir saya mau apa?" Mia menarik dompet berwarna hitam dari saku celana. Dompet yang berbeda dengan yang Mia selipkan di pinggir bakul untuk tempat uang hasil penjualan jamu.
Mia menarik uang yang sampai gepeng karena terus dia bawa-bawa, berharap bertemu Vano. Lalu mengembalikan uang yang totalnya.2.350.000 kepada Vano.
"Uang apa ini?" Vano bingung, rupanya dia lupa dengan wajah Mia, tentu saja dengan kostum yang dikenakan Mia saat ini merubah wajah Mia.
"Mase ngapain repot-repot membayar kompor yang saya pilih? Kalau saya memilih kompor itu, artinya saya sudah siap uang untuk membayar kok. Lain kali jangan menilai orang dari penampilan. Walaupun tampang saya ini miskin, saya masih mampu membayar belanja saya" Mia masukan uang tersebut ke saku baju Vano. Vano terkesiap, tenggorokan tercekat.
Vano memandangi Mia yang sudah menggendong jamu, kemudian ke luar pagar. Mereka tidak tahu jika di dalam kamar ada sepasang mata yang melihat dari jendela.
"Perempuan aneh" gumam Vano, lalu melanjutkan masuk ke rumah setelah menekan bel. Tidak lama kemudian, wanita paruh baya yang membuka pintu.
"Kok sepi Bi?" Tanya Vano.
"Nyonya besar di kamar Den, Non Dona juga." bibi mengatakan bahwa nyonya dan Dona baru pulang jalan-jalan pagi lalu istirahat.
Vano pun naik tangga menuju kamar, dia sebenarnya kembali pulang hanya sebentar, karena ada berkas yang tertinggal. Sebelum ke ruang kerja, dia ambil uang dari saku lalu menghitung.
"Ada-ada saja ini orang, dibayar kok malah ngomel-ngomel," Vano bicara sendiri lalu memindahkan uang tersebut ke dalam dompet yang dia tarik dari saku celana.
"Vano" tiba-tiba saja Dona masuk ke dalam dengan wajah kesal.
"Ada apa lagi kamu Dona, cemberut gitu?" Vano sudah selesai memasukkan uang ke dalam dompet. Dia bingung akhir-akhir ini Dona mudah marah.
"Kamu ngapain Van, dekat-dekat gitu dengan tukang jamu?" Dona duduk di kasur dengan kasar.
"Oh... waktu itu kan dia sudah memberi tahu aku kompor mana yang paling baik. Sebagai ucapan terimakasih lalu aku membayar kompor yang dia pilih. Eh, rupanya dia nggak mau terus uangnya dikembalikan ke aku," jujur Vano.
"Apa? Yang benar saja, Van. Hanya memberi tahu kompor yang bagus saja sampai kamu rela mengeluarkan uang sebanyak itu. Nggak masuk akal" Dona pun menghentakkan kakinya berjalan ke arah jendela.
"Kenapa kamu kok marah sih... itu kan uang aku" Vano mengikuti Dona. Mereka sama-sama melihat keluar jendela.
"Aaahhgg... sudahlah! Mana ada orang rela mengeluarkan uang segitu banyak dengan orang yang tidak kenal, jika tidak ada apa-apa," Dona pun meninggalkan Vano keluar, berakhir dengan pintu yang ditutup kencang.
Vano hanya geleng-geleng kepala lalu ikut ke luar, tetapi bukan mengejar Dona ke kamar tamu, melainkan ke ruang kerja ambil berkas.
"Kamu pulang lagi Van?" Tanya mamanya yang tengah duduk seorang diri di ruang tamu.
"Belum sampai kantor Mam" Vano menceritakan di tengah perjalanan berkasnya ketinggalan maka dia putar balik.
"Kalian ada apa lagi sih Van, dikit-dikit bertengkar, ngambek. Kapan kalian dewasa, sebentar lagi kalian menikah loh" mama Vano tidak ada bosannya menasehati Vano.
"Iya Mam, aku berangkat" tanpa pamit Dona Vano pun berangkat.
Pagi berganti siang, sore, bahkan malam pun tiba, nenek Paulina tidur nyenyak. Keesokan harinya, dia bangun dengan tubuh segar. Nenek bisa berjalan ke sana ke mari tidak seperti hari-hari sebelumnya harus mengenakan tongkat.
Seorang diri nenek keluar lalu jalan pagi seperti kemarin. Nenek ingin membeli jamu lagi rupanya dia cocok minum jamu buatan Mia. Saat ini pun nenek berkeliling komplek dengan lancar. Namun, hampir setiap blok nenek keliling, tetapi tidak menemukan Mia. Dia memutuskan untuk pulang. Setelah ngadem di gazebo sebentar, nenek pun kembali ke dalam ambil handphone menulis pesan kepada Vano.
"Van, tolong kamu keluar dari kantor dulu, cari tukang jamu yang kemarin. Katanya dia suka keliling di komplek sebelah, kalau sudah ketemu, belikan Mama jamu pegel linu."
Begitulah chat yang di tulis nyonya Paul.
"Baik Mam" Vano membalas pesan lalu di tutup emote jempol.
Sementara Vano, saat ini berada di perusahaan Sandranu grup. Belum ada satu jam tiba di perusahaan tersebut, tetapi sudah mendapat pesan dari mama. Padahal banyak berkas yang harus dia tandatangi, tetapi demi sang mama, dia rela meninggalkan pekerjaan itu. Walaupun sebenarnya Vano bingung, banyak penjual jamu yang keliling di luar paga, tetapi kenapa harus susah-susah mencari penjual jamu yang pernah dia temui.
Mobil mewah melaju sedang menembus jalan raya. Tiba di pertigaan, mobil pun belok kiri ke arah komplek yang ditunjukkan mama Paulina. Tiba di sana, kendaraan Vano melambat melintasi blok demi blok tetapi tidak juga menemukan Mia.
"Berkeliling kemana wanita itu?" Batin Vano nyaris prustasi. Banyak penjual jamu yang melintas, tetapi mereka rata-rata sudah paruh baya. Ada niat di hati Vano akan membeli jamu yang lain, tetapi khawatir Paulina tidak cocok.
Vano pun memutuskan untuk kembali, mobil pun putar balik. Toh, besok bisa kembali lagi. Tiba di depan pos satpam, mobil Vano berhenti menunggu palang naik ke atas. Di depan sana pandangan Vano melihat wanita yang ciri-cirinya seperti Mia. Begitu palang naik mobil Vano maju tetapi wanita yang dia lihat tiba-tiba sudah tidak ada.
"Cepat sekali wanita tadi berjalan" Vano bingung, padahal wanita tadi berjalan dengan menggendong bakul dan mengenakan kain. Secara logika dia akan berjalan lambat seperti kura-kura, tetapi tidak untuk wanita yang satu ini, dia enerjik seperti kelinci.
Vano pun memutuskan untuk keluar dari komplek, dari kejauhan si wanita nampak lagi. Kaki Vano menginjak gas hanya hitungan detik si wanita berhenti memandangi mobil yang berhenti di sebelahnya.
Memang benar dia adalah Mia memandangi pintu mobil yang sudah di dorong dari dalam, lalu muncul wajah Vano.
"Mase... ngapain disini?" Tanya Mia, tidak masuk akal. Jelas siapapun boleh berada di tempat itu.
"Mencari kamu," Jawabnya sambil bersender di badan mobil.
"Kalau Anda mencari saya akan mengembalikan uang itu saya tidak mau, karena saya bukan orang yang harus dikasihani," jawab Mia, lalu kembali berjalan.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau saya tidak akan memaksa. Tetapi tujuan saya mencari kamu karena di suruh Mama membeli jamu," Bukan hanya Mia yang bicara panjang lebar, tetapi Vano yang dingin itupun bicara panjang.
Mia pun berhenti lalu mendekati Vano, ia letakkan ember di sampingnya.
"Sayang sekali Mase... jamu untuk pagi ini sudah habis" wajah Mia yang awalnya merengut pun berubah ceria.
"Ya sudah, besok saja antar ke rumah,"
"Jangan besok Mase, soalnya saya mau mencangkul, kalau pagi-pagi kan enak sekalian olah raga"
"Mencangkul?" Vano memotong ucapan Mia, dia heran wanita di depanya ini benar-benar aneh, segala mencangkul pekerjaan pria dikerjakan.
"Iya, kalau gitu pulang jualan saya buatkan jamu spesial untuk Ibu sepuh, tetapi jangan diantar ke rumah Mase, lebih baik kita ketemu disini saja. Soalnya tunangan Mase galak banget" jujur Mia.
"Bukan galak, Dona memang suka ceplas ceplos tetapi hatinya baik," Sanggah Vano.
"Wes mboh lah Mase, lebih baik nanti saya menunggu di sini saja" keukeuh Mia.
Vano melihat jam di lengan, jika harus ke tempat ini tentu membuang waktu. "Bagaimana kalau kamu antar ke kantor saya saja" Lanjut Vano, lalu mengeluarkan kartu nama dan alamat kantor.
"Baik Mase, setelah ashar saya antar ke kantor," Mia pun membaca alamat kantor, seketika matanya membelalak. Begitu mengangkat kepala hendak bicara mobil Vano sudah berjalan.
"Pt Sandranu? Ini kan tempat kerja Mas Slamet?"
...~Bersambung~...