“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Papa Gibran
“Apa! Jihan dilarikan ke rumah sakit!” seru Papa Gibran terkejut ketika menerima panggil telepon dari Bik Murni.
“Benar Tuan, saya melihat jelas Non Jihan pingsan dan digendong oleh Pak Fathi, dan anu Tuan ... saya juga lihat pergelangan tangan Non Jihan ada darahnya,” lanjut Bik Murni bercerita sesuai apa yang dia lihat melalui sambungan teleponnya.
Pria tua dibalik ponsel menghela napas panjangnya, tangannya yang kosong terkepal kuat, pikirannya lantas sudah negatif thinking terhadap anaknya.
“Keadaan Ezra saat ini bagaimana Bik Murni?”
“Saat ini Ezra masih tidur pulas Tuan, tapi entah kalau sudah bangun, karena semalam saja Ezra rewel mencari Non Jihan kata Ita,” jawab Bik Murni apa adanya.
“Semoga malam ini cucu saya tidak rewel, kalau begitu terima kasih atas laporannya Bik,” ucap Papa Gibran sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
Bik Murni memang sudah dipesan oleh kedua orang tua Fathi jika ada sesuatu hal terjadi pada menantu barunya di rumah anaknya harus segera dilaporkan, dan rupanya sekalinya dapat laporan malah tragis kondisinya.
“Ada kabar apa Pah?” tanya Mama Erina yang sedang tadi duduk sebelah suaminya.
“Jihan dilarikan ke rumah sakit, kata Bik Murni pergelangan tangan Jihan ada darahnya,” jawab Papa Gibran sangat tenang namun hatinya sudah bergemuruh penuh amarah.
Mama Erina membungkam mulutnya dengan salah satu tangannya, dengan penjelas sekilas dari suaminya sudah bisa menangkap apa yang terjadi pada menantu barunya.
“Papa harus kembali ke rumah sakit, ini pasti ada hubungannya dengan Fathi,” tukas Papa Gibran, dia beranjak dari duduknya.
“Mama ikut Pah,” sambung Mama Erina, dia lantas mengambil tas kecilnya lalu bergegas menyusul suaminya yang sudah turun ke lantai bawah.
Kembali ke rumah sakit ...
Hampir satu jam lebih operasi Jihan sudah selesai dan saat ini Jihan sedang melakukan transfusi darah sebanyak dua kantong. Gadis itu masih berada di ruang observasi setelah dipindahkan dari ruang operasi.
Fathi terduduk lemas di kursi yang ada di sisi ranjang, pandangannya sendu menatap istri barunya. Operasinya memang berjalan lancar, akan tetapi denyut jantung wanita itu masih melemah, dan belum stabil.
Tarikan napasnya terasa amat berat, kedua tangannya pun bertopang di tepi ranjang, lalu jari jemarinya saling bertautan. “Kenapa kamu menyiksaku, Jihan! Aku akui jika aku salah, seharusnya aku tidak menyentuhmu!” gumam Fathi, rasanya amat menyesakkan semakin lama di hatinya.
Dia sebagai dokter, tahu akan keadaan pasiennya, dan tahu jika keadaan istrinya sebenarnya dalam keadaan koma. Terpukulkah Fathi! Ya, sangat terpukul! apalagi melihat tubuh istrinya sekarang dipenuhi dengan alat medis segala rupa. Dadanya seakan dihimpit oleh dua dinding yang begitu tinggi dari sisi kanan kiri dan semakin lama membuat dirinya tak bisa bernapas.
“Apa yang harus aku katakan pada kedua orang tua kita, Jihan?” tanya Fathi dikala menatap sendu wajah gadis itu.
Bertanya pada Jihan pun tetap tidak akan menemukan sebuah jawabannya karena gadis itu tertidur pulas, dan entah kapan akan bangun dari tidurnya.
“Arrgh!” Frustrasi Fathi sendiri, netranya berkaca-kaca sembari merutuki dirinya sendiri yang sudah kerasukan setan hingga membuat Jihan melakukan hal yang konyol.
Usai itu, Fathi membatu menatap istrinya, dan setengah jam kemudian suara derit pintu ruang observasi terbuka, pria itu pun menolehkan wajahnya ke belakang dengan tatapan yang melebar.
“Papa ... Mama,” ucap Fathi terkesiap melihat kehadiran kedua orang tuanya, sedangkan dia merasa belum memberitahukan keadaan Jihan kepada siapa pun.
Langkah kaki Papa Gibran begitu cepat, lantas tangannya begitu cepat menarik kerah kemeja Fathi, dan wajah pria itu merasakan pukulan yang sangat kencang.
“Dasar anak brengsek!” umpat Papa Gibran penuh emosi, meluapkan amarahnya dengan bogeman mentah yang dihadiahkan untuk Fathi.
Mama Erina tidak menghentikan suaminya yang masih menghajar anak mereka, dirinya justru terguncang melihat kondisi menantu barunya, kedua kakinya bagaikan jelly tak kuat untuk menopang dirinya saat dia berusaha melangkah menuju ranjang yang di tempati oleh Jihan.
“Keterlaluan pasti ini akibat ulahmu'kan Fathi!” teriak Papa Gibran berkacak pinggang, merasa belum puas menghajar anaknya yang saat ini sudah terjerembap di lantai yang dingin.
Fathi agak meringis merasakan begitu sakit dan perih yang melanda di wajahnya kini, namun apa daya dia tidak menjawab pertanyaan papanya dan bagi Papa Gibran diamnya Fathi berarti sebuah jawaban yang benar.
Deru napas Papa Gibran masih naik turun usai menghajar Fathi, lalu dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sementara Fathi masih menundukkan wajahnya dan belum juga beranjak dari terjerembabnya.
“Sejak kapan kamu menjadi iblis, Fathi! Sejak kapan ... huh! Ini semua pasti karena kamu, ‘kan!” Papa Gibran masih meninggikan suaranya, sementara Mama Erina sudah terisak menangisi Jihan.
“Papa baru saja kemarin menasehati kamu untuk jaga baik istri kamu walau kamu belum menyukai. Ternyata seperti ini!” sentak Papa Gibran sembari menatap Jihan sejenak.
“Ma-maaf,” jawab Fathi begitu lirihnya.
“Huft!” Papa Gibran menarik napasnya dalam-dalam, lalu menatap tajam pada putranya tersebut.
“Dan sekarang kamu sudah puas melihat Jihan dalam keadaan koma seperti ini. Dan kamu sudah puas membuat Pak Igbal dan Ibu Kaila akan kehilangan putrinya untuk kedua kalinya ... hah!” sentak Papa Gibran sangat murka.
Pelan-pelan Fathi bangkit dari terjerembabnya dan pandangannya agak sungkan menatap papanya yang seakan ingin menelannya hidup-hidup.
Papa Gibran mengikis jaraknya dengan putranya, lalu kembali meraih kerah baju Fathi dan menatapnya sangat tajam.
“Sesungguhnya kamu sebenarnya telah membunuh Jihan, dan bukan Jihan yang membunuh Embun! Sadarkan kamu, Fathi!” maki Papa Gibran, menarik kerah Fathi begitu kencangnya hingga pria itu tak bisa bernapas. Fathi hanya bisa memejamkan netranya dan membiarkan pria tua itu memarahinya, dan dia akui jika dirinya sudah bersalah besar.
Di saat suasana ruang observasi masih menegang, suara monitor detik jantung Jihan semakin melemah dan ...
Papa Gibran dan Fathi langsung menolehkan wajahnya ke arah ranjang Jihan saat mereka berdua mendengar keanehan suara monitor detak jantung Jihan.
“TIDAK, JIHAN!” teriak Fathi histeris.
Ezra terbangun dari tidur dan menangis histeris memanggil tante Jihan.
Bersambung ... ✍🏻