Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semoga
Kian jatuh tersungkur ke tanah, tapi ia segera bangkit, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Deren, yang berdiri di sampingnya dengan tangan mengepal, siap untuk melayangkan pukulan balasan, namun Kian mengangkat tangannya, menahan gerak Deren.
Sambil mengelap sudut bibirnya yang berdarah, Kian tertawa kecil, tawa yang penuh sinis. “Hahaha! Tunangan lu hebat juga, Stell. Awalnya gua pikir dia cuma pelanggan setia lu,” ucapnya, sengaja menekan setiap kata dengan nada yang menyakitkan, matanya tajam menatap Stella.
"Kiandra!" seru Stella dengan suara gemetar, penuh amarah dan kekecewaan.
Kian tertawa sinis lagi. “Hei! Jangan pernah panggil nama gua yang artinya ‘juara’ dengan mulut lu yang kotor karena udah sering kokop kontol, Stella. Lu itu cuma loser di mata gua.” Ucapannya seperti belati, menusuk Stella tepat di hatinya.
Air mata Stella akhirnya tumpah, tak mampu lagi menahan beban emosional yang ia simpan. Tangisnya pecah, namun Kian tidak menunjukkan sedikit pun simpati. Sebaliknya, ia justru menatap Stella dengan dingin, seperti menikmati penderitaannya.
“Wow, sekarang playing victim, ya?” ujar Kian, mencemooh Stella yang berusaha menenangkan dirinya di antara isak tangis.
Stella menangis? Ironis sekali, mengingat dia yang lebih dulu bermain api. Hubungan Kian dan Stella sudah berjalan satu tahun, namun Kian hanya berani mencium kening atau pipi Stella—tidak lebih. Apalagi, Stella sudah berkhianat padanya.
Kian merangkul Lio, emosi tergambar jelas di wajahnya. Dengan berani, Kian mendekatkan mulutnya ke telinga Lio. “Ambil saja kawan, sudah longgar sama gua,” ucap Kian, berusaha tenang meski dadanya bergetar.
“Bangsat!” Tiba-tiba, pukulan Lio kembali melayang, menghantam dada Kian. Namun, Kian tetap berdiri tegak, tidak tumbang.
Lio tak memberi napas, terus memukul wajah Kian sampai hidungnya patah dan darah mengalir deras. Ia terjatuh ke lantai, tampak lemah dan darahnya mengenai mantel
“Lu yang bangsat! Dasar gak tau diri!” Deren, yang sudah tidak tahan lagi, akhirnya ikut campur dan memukul liver Lio. Lio tertekuk, memegangi perutnya yang terasa panas.
“Dengar, Lio! Selama ini yang nolongin lu itu Kian, dasar gak tau diri!” Deren mengungkapkan semuanya, amarahnya tak bisa dibendung.
Cornelio Putra Wijaya, sahabat baik Kian yang dulunya tak terpisahkan, kini menjadi musuh. Masalah yang muncul di antara keluarga mereka mengakibatkan pertikaian yang mendalam, dan meski Kian tidak ingin bermusuhan, Lio malah ikut memusuhinya.
Deren menendang tubuh Lio hingga jatuh, lalu melanjutkan pemukulan. “Bang! Udah! Jangan diperpanjang,” Kian menengahi, berusaha meluruskan keadaan. “Ayo kita pergi dari sini!”
“Gak bisa, Ian! Anak ini harus dikasih pelajaran!” ucap Deren, berusaha menegakkan keadilan.
“Udah, bang. Biarin saja, biar dunia yang bales. Sekarang kita ke rumah sakit, urusin hidung gua,” Kian berkata sambil memegangi hidungnya yang masih mengeluarkan darah.
Deren mengangguk, setuju, dan mereka berjalan menuju mobil sebelum kerumunan warga mengumpul dan kondisi hidung Kian semakin parah.
Setelah hidung Kian diobati, ia berjalan keluar dari klinik yang berdekatan dengan sebuah kafe.
“Bang,” Kian menghampiri Deren.
“Oi, napa?”
“Gua jalan kaki ya,” ucap Kian, nada mantap.
“Hah? Mata lu kotak! Gak! Gak boleh!” larang Deren.
“Yaelah bang, gua udah biasa kayak gini. Ini bisa ngilangin stres dan juga baik buat kesehatan,” Kian menjelaskan.
“Yak, kalau lu dirampok gimana? Dan jarak ke hotel itu satu kilo! Gak sakit kaki lu?” Deren mempertanyakan.
“Nggak, bang. Gua bisa jaga diri. Udah biasa jalan jauh dan pakai Google Maps kok,” Kian menjawab dengan yakin.
“Ya tapi—”
“Sstt! Udah ah, gua pengen jalan. Bye!” Kian melangkah pergi menyusuri jalan menuju hotelnya.
“Hah, si bangsat ada-ada aja,” Deren berkomentar. Memang, kelakuan ponakannya ini sering kali bikin bingung.
“Oi!” Seseorang menepuk pundak Deren. Ia menoleh, ternyata itu George dengan dua gelas kopi di tangannya.
“Eh bang Jot, ngapain lu di sini?” tanya Deren.
“Ini si nona butuh kopi biar nggak nervous,” jawab George santai. “Kalo lu sendiri, kenapa, Der?”
“Biasa, si random man. Selalu ada aja kelakuannya kalau stres atau sakit hati,” ucap Deren, menggelengkan kepala.
“Oh ya sudah, biarin aja. Siapa tau kelakuan randomnya bisa ngilangin stres? Kita kan nggak tahu,” George berargumen.
“Ya tapi—”
“Ah elah, biarin aja, Der! Abis ini gua antar kopi, kita ngopi bareng,” ajak George, tersenyum lebar.