Cerita cinta Aira yang berujung balas dendam, menjadi saksi bisu untuk dirinya. Kematian sang ibunda, bukanlah hal yang mudah dilalui gadis desa itu.
Ia disered paksa diperjual belikan oleh sang ayah, untuk menikah dengan seorang CEO bernama Edric. Lelaki lumpuh yang hanya mengandalkan kursi roda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Apesnya Dwinda
Dwinda berlari menuju pintu kamarnya, beruntung sekali Ellad sedang tidak ada di rumah. Kalau pun ada kemungkinan besar tampilannya yang begitu seksi, akan menjadi sebuah pertanyaan untuk Dwinda. Dan mungkin urusannya akan ribet
Setelah masuk ke dalam kamar dengan rasa panas karena siraman air yang begitu bayak, mengenai tubuh Dwinda, wanita muda itu melepaskan baju kurang bahan dari tubuhnya, melangkah ke kamar mandi dengan terburu-buru dan. Brukkk ....
Wanita berbola mata coklat dengan hidungnya mancung karena Oplosan, malah terpeleset di dalam kamar mandi. Menjerit seakan tulang pinggang terasa patah akibat benturan yang sangat keras pada atas lantai yang begitu licin.
"Aw, sial. Akh sakit, kenapa bisa sampai jatuh seperti ini. Dasar bodoh kamu Dwinda, termakan ketololanmu sendiri." Gerutu Dwinda dengan perlahan tangan mulusnya memegang tembok, berusaha untuk berdiri dan menyeimbangi tubuh, lengkap sudah penderitaan sang pemilik bola mata coklat itu.
"Sakiiiittttt."
Tak tahan rasanya berdiri, membuat ia memperlihatkan wajah kesakitanya.
Segera mungkin Dwinda berjalan dengan posisi bongkok, sembari memegang pinggangnya yang begitu terasa sakit. Tangan kanannya mulai meraih shower, untuk membasuh tumpahan air panas yang membuat dada mulusnya kini memerah.
Ternyata ia lupa mengatur shower, yang dimana itu air panas lagi. " Panasssss."
Melempaekan gagang shower pada bak mandi, membuat Dwinda semakin kesal pada dirinya sendiri. "Kenapa dengan aku hari ini. Hidupku seakan merasakan rasa apes yang tak kunjung usai. "
Perih, itulah yang kini dirasakan istri Ellad. Wanita berumur dua puluh delapan tahun, meringis kesakitan. Ia mengingat kejadian di mana air panas itu mengguyur wajah dan juga dada Dwinda, merasakan rasan syok yang masih terasa sampai sekarang.
Mengatur terperatur air, saat itulah air dingin keluar. Sambil membasuh luka merahnya dengan air dingin, Dwinda berusaha mencari alasan jika suaminya menanyakan tentang luka merah akibat air panas.
"Kalau Ellad pulang nanti apa yang harus aku katakan padanya, jika tidak ada alasan kemungkinan besar tua bangka itu akan curiga dan malah mengusirku dari rumah ini. Aku tidak boleh keluar dari sini, ada sesuatu yang harus aku selesaikan saat ini juga. Jika tidak hidupku tidak akan tenang. Aku tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini."
Hingga ide cemerlang datang di mana senyum licik tergambar dari bibir tebal Dwinda." Awas kamu, Aira. Akan kubuat kamu tak nyaman di rumah ini."
Setelah selesai membasuh bekas air panas, Dwinda mulai mencari kotak obat, mencari sebuah salep untuk mengobati bekas lukanya. Rasa perih itu masih terasa menjalar pada wajah dan juga tubuh Dwinda.
"Nasib, aku harus mengobati lukaku sendiri, rasanya ini tak adil, aku menderita. Sedangkan Aira tertawa."
Perlahan menempelkan salep, dengan menggerutu kesal, Dwinda berusaha menggapai luka yang tak terjangkau. Untung saja ia seorang dokter dan selama dua hari lukanya dipastikan akan hilang dengan salep mahal yang ia punya dari luar negeri.
Tring ....
Satu pesan datang. Dwinda yang tengah asik mengobati lukanya, melihat kearah layar ponsel yang menyala. Meraih ponsel di atas meja, layar itu berkedip menadakan pesan datang.
(Aku tidak bisa pulang malam ini.)
Pesan singkat dari Ellad, membuat Dwinda kesal. Padahal malam nanti waktu yang sangat tepat untuk Dwinda menjadi ratu drama. Tapi sayangnya Ellad tak akan pulang ke rumah dan hal hasil, GAGAL!
Menggerutu kesal, Dwinda tanpa sengaja memukul dadanya yang penuh luka, " Aw. Ahah, kenapa juga aku malah menyakiti diriku sendiri. Bodoh."
Melipakan kedua tangan, " Si tua bangka kenapa pake acara tidak pulang. Tidak biasanya dia seperti ini. Hah, aku tak peduli yang terpenting dia tidak tahu kebusukanku selama ini. Jika tahu mati aku."
Tok .... Tok ....
Ketukan pintu membuat Dwinda merasa kesal, ia tengah mengobati lukanya masih saja ada yang menganggu, mulut Dwinda mulai berteriak, " Masuk."
Sosok Aira datang membawakan obat untuk Dwinda, dengan sengaja masuk ke kamar sang pemilik bola mata berwarna coklat itu.
"Ada apa kamu datang ke sini? " Pertanyaan Dwinda membuat Aira tersenyum sini. Ia menampilkan wajah polosnya dan berpura pura minta maaf, " maafkan saya Bu Dwinda! Saya datang ke sini membawakan obat untuk anda, pastinya bekas air panas itu, terasa perih."
"Sudah saya katakan jangan panggil saya Ibu, saya ini masih muda. Tak perlu kamu mengasihani saya, saya bisa mengobati luka saya sendiri."
Aira memperlihatkan raut wajah besalahnya." Ya elah di depan aja sok sopan dan bijak, tahunya ternyata wanita uler tidak tahu diri. Masa ia mau ngedeketin CEO muda, dasar wanita mur*han."
Gerutu Aira pada hatinya melihat Dwinda meniup rasa perih pada tangannya yang ternyata ikut terguyur air panas juga.
"Maafkan atas ketika sengajaan saya Bu Dwinda, saya menghargai anda karena anda ibu saya. "
Dwinda tak suka dengan perkataan Aira, ia tetap harus bisa waspada pada wanita desa yang dibawa Ellad, karena terlihat sekali keluguanya hanya berpura pura saja.
"Sudah cepat pergi dari sini, saya malas melihat kamu. Biar nanti saya bilang pada Ellad kamu sudah menyakiti saya."
Aira mangganggukan kepala, ia pergi begitu saja. Keluar kamar Dwinda. Setelah meminta maaf, akan ketidak sengajaan atas tumpahnya air panas yang mengguyur badan Dwinda.
Membuka pintu kamar, Dwinda kini memanggil Aira." Tunggu."
Membalikkan wajah, dan berkata." Ya. Kenapa?"
"Apa kamu melihat saya saat berdekataan dengan anak saya!?"
Terlihat sekali raut wajah ketakutan Dwinda, akan dirinya yang ketahuan selalu menggoda CEO muda anak tirinya sendiri." Maksud, Ibu Dwinda?"
Sebenarnya Dwinda sangat jijik ketika dirinya di sebut ibu, karena usianya yang sama dengan Edric.
"Oh tidak."
"Kalau begitu saya pergi dulu."
"Ya silahkan."
Dwinda bernapas lega, ia merasa tenang saat ini. Karena akses cctv ada di tanganya. Maka dari itu Dwinda selalu waspada akan kebusukan yang ia simpan rapat rapat.
Setelah kepergian Aira, membuat hati wanita muda berumur dua puluh sebilan tahun itu gelisah. Bagaimana tidak, hampir saja ia ketahuan oleh Aira.
"Hah, aku harus berhati-hati, jika tidak entah apa yang akan dilakukan Ellad kepadaku. Karena dia begitu mempercayaiku mengurus anaknya yang lumpuh."
Dwinda tersenyum dengan manatap jarum suntik yang ia lihat, entah apa maksud dari wajahnya itu. Seperti menyimpan kelicikan.
Wanita pemilik bola mata coklat itu lupa, membalas pesan dari Ellad. (Hati hati, sayang.)
Pesan singkat tanpa ada kesan romantis sedikit pun, tak membuat Dwinda curiga.
Semenjak kedatangan Aira, Ellad terlihat banyak berubah, entah karena apa? Tapi Dwinda tak menanggapi semua itu dengan serius. Dan lagi ia sudah bosan selalu bertingkah romatis dalam kepura puraanya.
crrita carlos ma welly terus