Nia terpaksa menikah dengan Abizar untuk balas Budi. Karena suatu alasan Nia harus merahasiakan pernikahannya termasuk keluarganya. Orang tua Nia ingin menjodohkan Nia dengan Marcelino. Anak dari teman papanya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Abizar dan Nia ? Siapakah yang akan di pilih oleh Nia ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadis Scorpio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Kehilangan
Sore hari waktunya Abizar pulang kerja. Ruangan kosong dan suasana yang sepi kali ini menyambut kepulangannya. Abizar menghela napasnya perlahan. Seperti ada yang kurang dalam hidupnya.
Kini Abizar kembali dengan rutinitas biasanya. Ia akan pergi keluar untuk membeli makanan untuk makan malamnya.
Saat masuk ke dalam kamarnya Abizar melihat kearah tempat tidur yang kini kosong. Biasanya ia melihat wajah cantik Nia yang mengisi ranjang miliknya. Sekali lagi Abizar menghela napasnya. Entah mengapa ia merasa benar-benar kehilangan sosok Nia.
Pagi menjelang tiba. Abizar kini duduk sendiri di meja makan. Hari ini ia hanya sarapan dengan segelas susu dan roti. Biasanya jika Nia yang membuat sarapan paling tidak ia bisa makan nasi goreng, bubur atau sandwich.
Hah
Abizar mengusap wajahnya berharap dapat menghilangkan Nia dari pikirannya. Tak ingin terus larut dalam pikirannya. Abizar segera meraih kunci mobil dan langsung berangkat kerja.
Sementara itu di kediaman keluarga Hendrawan. Sepasang suami istri sedang sarapan.
"Marcel kemana, Ma ? apa belum bangun ?" tanya Hendrawan kepada istrinya, Asti.
"Sepertinya Marcel tidur di apartemen tadi malam pa." Hendrawan menggelengkan kepala mendengar jawaban Asti.
"Nanti siang jangan lupa jadwal papa checkup. Mama jemput papa di kantor. Kita pergi sama-sama." lanjut Asti lagi.
Sesampainya di kantor Putra Corp. Hendrawan menyuruhnya sekretarisnya memanggilkan Marcelino.
"Maaf, pak. Pak Marcel belum datang ke kantor."
Hendrawan menghembuskan napas berat mendengar jawaban dari sekretarisnya.
"Kalau Marcel datang suruh langsung keruangan saya."
"Baik, Pak. Saya permisi."
Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Hendrawan melihat jam tangannya kemudian menatap Marcel yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Dari mana saja kamu, Marcel ? kenapa sudah jam segini kamu baru sampai di kantor ?" Hendrawan langsung mengajukan pertanyaan kepada Marcelino.
"Maaf, pa." Marcel hanya menunduk, tidak berani menatap papanya.
"Kamu mabuk lagi ?" Hendrawan mencondongkan tubuhnya ke depan menatap lekat wajah anaknya. Marcelino masih tetap menunduk tanpa menjawab pertanyaan papanya.
"Ck. Marcel papa harap kamu segera meninggalkan kebiasaan buruk mu itu. Karena di keluarga Mark tidak minum minuman keras apalagi mabuk." ucapan Hendrawan terdengar tegas.
"Baik, pa" jawab Marcelino mengangguk. Kemudian keluar dari ruangan papanya.
Hendrawan mendesah kasar melihat tingkah Marcelino yang masih suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Dia bersandar di kursinya dan memejamkan mata. Terlintas dipikirannya tentang putra pertamanya. Tahun ini sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Bagaimana keadaannya sekarang ?
Setelah pulang dari rumah sakit. Hendrawan dan Asti langsung pulang ke rumahnya. "Papa dengarkan kata dokter tadi. Papa harus banyak istirahat, ga boleh kelelahan, ga boleh banyak pikiran." Asti meletakkan segelas air putih untuk Hendrawan minum obatnya.
"Pekerjaan di kantor papa masih banyak ma." Hendrawan meletakkan gelas kosong di atas meja.
"Urusan kantor serahkan saja pada Marcel. Papa harus fokus tentang kesehatan papa." usul Asti.
"Papa tidak bisa mengharapkan Marcel. Anak itu belum bisa diandalkan. Entah apa jadinya dengan perusahaan di tangannya nanti."
"Tapi pa. Marcel sudah tiga tahun membantu papa di kantor. Pasti dia sudah belajar banyak. Beri dia kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya."
"Papa sudah tahu kemampuannya seperti apa. Papa yang menilai sendiri kinerjanya di kantor." ucap Hendrawan tak suka mendengar Asti terus membela anaknya.
"Kalau bukan Marcel siapa lagi yang akan menggantikan papa. Apa papa masih mengharapkan anak pertama papa yang entah di mana keberadaannya." Asti mulai emosi dengan sikap suaminya yang selalu merendahkan Marcelino.
Hendrawan pergi meninggalkan Asti menuju ruang kerjanya. Saat ini dia tidak kuasa untuk berdebat dengan istrinya sehingga Hendrawan lebih memilih pergi dari pada berujung perkelahian setiap membahas pengganti dirinya di perusahaan.