HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Menjalani hidup baru dan berharap memberikan senyum yang baru. Dalam balutan gaun peach berkemilau dan menampilkan bahu dan punggung polosnya, Kanaya benar-benar mendefinisikan jadi ratu sehari.
Sedari tadi pandangan para tamu hanya terfokus pada wanita itu, wanita yang sepertinya baru kali itu mereka lihat dan tidak memiliki hubungan dengan Ibra sebelumnya.
Ribuan pujian, ya bisa jadi begitu karena yang memuji terkadang tak cukup satu kali. Dengan manisnya Kanaya memberikan senyum semanis itu walau hatinya tak bisa berbohong ada kesedihan di sana.
Tanpa orangtua, saat ini bukan hanya Kanaya tapi juga Ibra. Sejak awal pernikahan pria itu tidak mengenalkan satupun keluarganya, dan Kanaya tak menyangka jika pernikahan mereka akan seramai kampanye capres.
"Ck, kenapa bajumu jadi seterbuka ini?"
Ibra baru menyadari jika pakaian Kanaya memperlihatkan punggungnya terlalu lebar bahkan bisa dikatakan bagian belakang Kanaya hampir terekspos hingga pinggang.
"Sialan, Gavin sengaja memilih pakaian kurang bahan atau bagaimana?"
Ibra berdecak kesal, dengan gaun itu memang istrinya sangat cantik, dari depan tentu saja. Mana Ibra tahu jika belakangnya ternyata terbuka lebar seperti itu.
"Siska yang pilih, Mas ... bukan Gavin."
Mas? Tidak salah dengar kan? Ibra yang tadinya marah meluap-luap mendadak tersentuh dengan panggilan yang Kanaya berikan. Ya, memang panggilan yang sejak kemarin menjadi perdebatan antara Siska, Lorenza dan dirinya.
Lorenza merasa Kanaya tidak ada sopannya sama sekali lantaran memanggil Ibra hanya dengan nama padahal umur mereka berbeda cukup jauh. 3 tahun adalah jarak yang lumayan di mata Lorenza, dan panggilan Mas itu harus.
"Ck kemana otaknya temanmu itu, cab*ul sekali."
Nyatanya hanya hatinya yang tersentuh, bukan berarti dia berhenti marah dengan mulut tajamnya. Kali ini Siska yang kena getahnya, Ibra mengacak rambut dan meminta Gavin untuk segera bertindak.
"Cab*ul?" tanya Kanaya heran, pasalnya dimana letak cabulnya seorang Siska karena memilihkan gaun secantik ini untuknya.
"Iya, dia memilihkan baju yang begini dan itu bisa mengundang pikiran macam-macam tamu di sini," ucapnya dengan wajah datar dan tatapan kesal luar biasa, andai Siska berada di dekat mereka, mungkin dia takkan berpikir dua kali untuk mencela selera fashion Siska.
Perdebatan masalah gaun itu ternyata jadi panjang, panjang sekali. Hari kedua dan sebenarnya Kanaya sedikit lelah, akan tetapi demi menghargai apa yang sudah Ibra usahakan, dia memilih untuk menikmati sebaik-baiknya.
"Kamu sih, udah kubilang yang itu terlalu terbuka ... Kanaya tu nikah, bukan bulan madu, Siska."
Gaun semahal itu terpaksa diganti pada akhirnya, dengan ditemani Siska dan Lorenza serta dibantu beberapa orang lainnya, gaun yang lebih cantik dan tertutup itu melekat di tubuhnya dengan selamat.
"Nah kan ini cakep!! Dijamin mas Ibra nggak marah-marah lagi, Nay."
Siska yang merasa pilihannya selalu salah kini terdiam dan enggan ikut bicara. Wanita itu tak mau lagi disalahkan pria itu, menyebalkan sekaligus memalukan, pikir Siska.
"Perut aku nggak keliatan kan, Za?" tanya Kanaya ragu, takut sekali jika kehamilannya justru terlihat dan membuat Ibra dapat cap buruk dari orang-orang yang dikenalnya.
"Belum, bukan enggak. Lagian baru 4 minggu, mana keliatan, Naya."
Kali ini Lorenza hati-hati dalam bicara, takut ada yang mendengar dan tersebar tanpa mereka kehendaki. Dan di saat-saat begini, Kanaya tiba-tiba mengeluh lapar.
"Lapar?"
"He-em, lapar Za."
"Ada-ada aja sih, Nay ... udah siap juga, suami kamu nungguin loh."
"Ya laparnya tiba-tiba mau gimana? Buruan ah, aku nggak kuat, Lorenza," rengek Kanaya membuat Lorenza terpaksa bergerak cepat.
Menyiapkan sedikit makanan untuk Kanaya, dan lebih menyebalkan lagi Kanaya harus disuapi karena jemarinya terlalu cantik untuk interaksi dengan nasi.
-
.
.
.
Ibra yang merasa jengah lantaran istrinya terlalu lama kini menyusul lantaran penasaran Kanaya ganti baju atau ganti kulit. Kenapa bisa menyita waktu selama itu, pikir Ibra dengan langkah panjangnya.
BRUGH
"Astaga, kemana mata .... Om?"
Untung saja belum ia caci, pria yang tak sengaja menabraknya adalah teman dekat papanya ketika masih hidup. Pria itu tak marah meski sempat mendengar potongan umpatan yang hendak Ibra katakan padanya.
"Hahaha kau mirip sekali dengan papamu, Ibra, emosian rupanya."
Pria itu menepuk pelan pundak Ibra, pria yang kini justru merasa malu dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Salah satu orang yang selalu Ibra hormati, pria itu menarik sudut bibir lantaran merasa mengenang masa lalu dengan gelagat dan wajah Ibra persis almarhum sahabatnya.
"Maaf, Om, saya tidak sengaja."
Dia memang sangat sopan, tapi bukan berarti emosinya bisa diatur dengan sangat-sangat baik.
"Indira mana? Om tidak lihat dari kemarin, Ibra?" tanya pria itu mengerutkan dahi, sungguh aneh dalam pernikahan seorang ibu tidak Ibra hadirkan.
"Tidak penting, duniaku kacau jika melibatkan wanita itu."
Sebesar apa kebencian Ibra hingga di hari pernikahannya pun dia tak melibatkan Indira, wanita yang selalu berperan dan menjadi remote control hidup Ibra hingga usianya sedewasa ini.
"Hahaha jangan begitu, dia tetap ibumu, Ibra."
Melihat cara marahnya, demi Tuhan rasanya Hasan bertemu kembali dengan sahabatnya dulu, Megantara. Sosok pria hebat yang memiliki anak tunggal dan disegani semua orang akan tetapi lebih memilih berperan dibelakang layar.
"Bukan ibuku, aku tidak dilahirkan dari rahim wanita semacam itu."
Tak peduli siapa lawan bicaranya, jika sudah membicarakan ini Ibra sakit sekali. Dia benci dan merasa hidupnya seakan tiada arti. Batinnya lemah jika berkaitan dengan semua ini, bahkan salah satu alasan Ibra menganggap dunia ini tak adil adalah karena hal ini.
"Maaf, Om seharusnya tidak membahas hal ini," tutur Hasan merasa tak enak, karena dari raut wajah Ibra, dia marah sekali.
"Hm, tidak masalah, Om ... terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang." Ibra mengulurkan tangannya, pria itu menerima dan kembali menyampaikan permintaan maaf.
Menghela napas kasar, Ibra melepas satu kancing kemejanya. Entah kenapa napasnya seakan sesak dan rahangnya kini mengeras sembari menatap tajam pundak pria yang tadi sempat bicaranya dengannya.
Sudah menjauh bahkan hampir menghilang, namun sorot tajam Ibra tak lepas dari pria itu dan demi apapun dadanya semakin panas kala pria itu dapat tersenyum bebas dengan teman-temannya yang lain.
"Jangan harap bisa tersenyum esok pagi," ucap Ibra mengepalkan tangannya, hari ini dia kenapa? Pembicaraan semacam itu membuatnya marah dan dia tidak suka.
Kembali pada tujuannya, Ibra berbalik dan betapa terkejutnya dia kala kini mendapati istrinya sudah berada di hadapannya.
"Lama sekali, kamu darimana hm?" tanya Ibra lembut dan sukses membuat Lorenza mleyot, wanita yang berada di samping Kanaya ini salah tingkah dan salah arah tentu saja.
"Makan, aku lapar banget ... kamu nunggunya lama ya?" tanya Kanaya klise sekali, padahal bisa dijawab sendiri selama apa Ibra duduk sendirian bagai pengantin yang ditinggal kabur pasangannya.
"Tidak, ayo kembali, kamu lebih cantik begini," puji Ibra tulus dan memang pakaiannya kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya.
TBC