Dijodohkan dari sebelum lahir, dan bertemu tunangan ketika masih di bangku SMA. Aishwa Ulfiana putri, harus menikah dengan Halim Arya Pratama yang memiliki usia 10tahun lebih tua darinya.
Ais seorang gadis yang bersifat urakan, sering bertengkar dan bahkan begitu senang ikut tawuran bersama para lelaki sahabatnya.
Sedangkan Halim sendiri, seorang pria dingin yang selalu berpembawaan tenang. Ia mau tak mau menuruti permintaan Sang Papi.
Bagaimana jika mereka bersatu? Akankah kehangatan Ais dapat mencairkan sang pria salju?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak ingin menjadi contoh untuk orang lain
"Eh, kenapa jadi Loe yang ngebet sih?" tabok Nisa padanya.
Ada Dimas di sana. Ia tengah duduk santai di kursi tempatnya bekerja. Fokus dengan laptop, dengan kaca mata tipisnya yang tampak serasi dengan wajahnya yang tampan.
"Hay, pujaan hati. Apa kabarmu, kinharap, kau baik-baik saja." sapa Nisa dari kejauhan.
"Ayo pulang, gue anter." ajak Ais, melepas mukenahnya.
"Tanya suami dulu."
"Yaelah, cuma anter aja. Lagian belum malem, juga." balas Ais.
"Ayo..." gandeng Ais pada Nisa.
"Mau kemana?" panggil Lim, yang datang menuruni tangga.
"Ais, mau anter Nisa. Boleh?" tanya Ais, bernada manis.
"Engga." jawab Lim datar.
"Kakak, Nisa udah bantuin Ais belajar sampai kesini. Kasihan, kalau pulang sendirian."
"Dimas...." panggil Lim pada Asistennya.
"Ya?"
"Antar Nisa."
"Apa?" ucap Nisa dan Dimas bersamaan.
"Aaah, diantar Kak Dimas. Bahagianya." batin Nisa, dengan senyum yang mengembang.
"Lim, pekerjaanku masih banyak. Taxi aja kenapa? Tadi juga naik taxi." jawab Dimas.
"Tuh, kan. Biar Ais aja yang anter."
"Stop berdebat. Ais ikut Dimas antar Nisa." lerai Lim.
"Yeeeeyyy.." sorak Nisa dalam hati. Meski Ais ikut, setidaknya Ia dapat dekat dengan Dimas malam ini.
"Iya..." jawab Ais dan Dimas bersamaan.
Ais berlari kekamarnya untuk menaruh mukenah, sembari merapikan diri.
Nisa menunggu sembari duduk di sofa dengan manis. Sembari menatapi Dimas yang masih berkutat dengan laptopnya. Ia begitu terpana. Apalagi, Dimas adalah calon cinta pertamanya.
"Ayo, Kak Dim." ajak Ais, mengenakan tas sandangnya.
Dimas hanya mengangguk, lalu berdiri membawanya ke mobil.
"Silahkan, Nona." ucap Dimas membukakan pintu. Tapi, yang datang justru Nisa dengan segala rasa percaya dirinya.
"Eeeh, mau kemana Loe?" tarik Ais, di kerah lehernya.
"Mau, itu... Duduk deket Kak Dim. Emang ngga boleh?" sahut Nisa.
"Loe, dibelakang." ucap Ais, dengan mengibaskan tangannya.
Nisa memanyunkan bibirnya, kesal dengan Ais yang tak memberinya kesempatan untuk dekat dengan pujaan hatinya itu. Ia lalu duduk di belakang, tepat di tengah antara Dimas dan Ais.
"Jalan, Kak."
"Baik." jawab Lim padanya.
Sepanjang jalan, Nisa selalu memancing pembicaraan. Ia yang ingin mengenal Dimas lebih dalam, Ia ingin akrab dengan Dimas karena benar-benar penasaran pada Asisten tampan itu. Tapi, Dimas tak jauh beda dengan Lim, yang hanya bicara seperlunya.
"Kak Dim, kok jawabnya singkat bener?" tanya Nisa.
"Lalu, harus bagaimana?"
"Nisa, udah deh. Yang penting Kak Dim masih mau jawab loh." tegur Ais, yang matanya terpejam gara-gara mabuk kendaraan.
"Cuma pengen ramah, Ais."
"Iya, tapi Kak Dim tuh capek. Lihat aja mukanya, tuh."
"Gadis ini, memiliki sisi dewasa yang cukup mengagumkan." batin Dimas, menatap Ais yang sedang dalam mode tenang.
Mereka sampai. Ais turun mengantar Nisa masuk, dan menemui Ibunya. Ia sadar, pernikahan dini yang Ia lakukan membawa berjuta rasa curiga bagi orang lain. Dan tak menutup kemungkinan, jika Ibu Nisa akan sedikit beranggapan tak baik padanya.
"Ais, menikah cepat, kenapa?"
"Bu, kan Nisa udah cerita. Kenapa masih di tanya?" ucap Nisa, mencoba menenangkan Ibunya.
"Wasiat Papa, dan Keinginan Papi mertua di masa lampau. Jadi, Ais harus menuruti, Bu." jawab Ais.
"Tapi, kamu masih sekolah. Serasa tak pantas, dengan status kamu yang sudah menikah. Akan jadi contoh yang ngga baik buat yang lain."
"Ibu! Kenapa bilang begitu?" tegur Nisa, yang merasa tak enak hati dengan sahabatnya itu.
"Ngga papa, Nis." jawab Ais, sedikit berat kali ini.
"Ais juga ngga pernah pengen jadi contoh buat temen-temen, Bu. Yang penting, Ais ngga hamil di luar nikah. Dan lagi, ini demi kebahagiaan Papa dan Papi yang sedang sakit parah. Hanya ini, yang bisa Ais lakukan demi mereka." ucap Ais..
biar je...