Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8 Rahasia yang Terkubur
Galuh duduk di taman kampus sambil memandangi langit yang mulai mendung. Kata-kata Aluna pagi tadi masih terngiang di kepalanya, seolah menancap kuat. “Banyak yang udah nyoba, dan gagal.”
Apa maksudnya? Apa benar Saras pernah dekat dengan banyak orang? Atau Aluna hanya mencoba mengguncang keyakinannya?
Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat, mencoba menahan semua asumsi yang mulai menyerbu. Tapi sekeras apapun ia menepis, perasaan curiga itu tetap datang. Bukan karena ia tak percaya pada Saras, tapi karena ia sadar ia belum benar-benar mengenal siapa Saras sebenarnya.
---
Sementara itu, di perpustakaan fakultas hukum, Saras duduk di pojok ruangan sambil membuka laptop. Tapi perhatiannya tak tertuju pada tugas yang harus diselesaikan. Pikirannya melayang ke Galuh.
Ia masih teringat bagaimana Galuh menatapnya malam itu. Penuh ketulusan, tapi juga kepedihan.
"Aku cuma minta kesempatan untuk ngerti, bukan untuk menilai."
Kalimat itu terus terngiang. Saras tahu, cepat atau lambat, ia harus membuka sedikit pintu masa lalunya meski hanya sedikit, agar Galuh bisa memahami apa yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Tak lama, notifikasi pesan masuk di layar laptop-nya berbunyi. Sebuah email dari seseorang yang sudah lama tak menghubunginya.
[Dari: Rangga S.]
Sar, kita harus bicara. Tentang yang dulu.
Saras menahan napas. Nama itu Rangga bukan nama sembarangan. Ia adalah bagian dari luka besar dalam hidup Saras yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
---
Sore harinya, saat Saras pulang ke rumah kos, Galuh sudah duduk di sofa ruang tamu sambil membaca. Ia melirik sekilas ketika Saras masuk, tapi tak berkata apa-apa. Saras berjalan pelan, meletakkan tasnya, lalu duduk di ujung sofa.
“Kamu kenal Aluna?” tanya Galuh tiba-tiba.
Saras sedikit terkejut. “Iya. Kenapa?”
“Tadi dia nyamperin aku di kampus. Bilang supaya aku hati-hati sama kamu.”
Saras menunduk. Sudah bisa ditebak.
“Dia temenku waktu dulu... sebelum aku jadi seperti sekarang. Dia tahu banyak hal yang nggak semua orang tahu.”
Galuh menatapnya dalam-dalam. “Hal apa?”
Saras menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita.
“Aku pernah jatuh cinta sama seseorang. Rangga. Kakak tingkat, satu jurusan. Kami sempat pacaran... dan dia orang pertama yang benar-benar aku percaya.”
Galuh mendengarkan tanpa menyela.
“Tapi dia mempermainkan aku. Di depan aku manis, di belakang aku... dia selingkuh sama Dinda, sahabatku sendiri.”
Galuh menegang. Nama Dinda juga baru-baru ini muncul kembali dalam hidup Saras.
“Waktu itu aku hancur. Bener-bener hancur. Dan sejak saat itu, aku tutup diri. Aku takut percaya lagi, takut dikecewakan. Karena sekali kamu percaya, dan dikhianati, rasanya seperti... sebagian dari dirimu mati.”
Air mata Saras mulai menetes, meski ia cepat-cepat mengusapnya.
“Aku bukan nggak mau deket sama kamu, Galuh. Aku cuma takut. Kamu terlalu baik buat aku.”
Galuh mendekat, duduk di sebelah Saras.
“Aku nggak peduli kamu punya masa lalu kayak apa, Saras. Yang penting, sekarang kamu ada di sini. Sama aku. Dan aku nggak akan ninggalin kamu.”
Saras menatap Galuh. Untuk pertama kalinya, matanya yang sembab itu terlihat penuh harapan.
---
Malam itu, mereka duduk berdampingan di ruang tamu. Tak ada televisi menyala, hanya suara jangkrik dan rintik hujan dari luar jendela. Tapi keheningan itu bukan keheningan yang canggung melainkan keheningan yang penuh pemahaman.
Namun, di tempat lain, seseorang sedang mengamati rumah kos dari kejauhan. Sosok pria berjaket hitam dengan tatapan tajam. Ia menatap ke arah jendela rumah kos dengan mata yang menyimpan sesuatu.
Itu adalah Rangga.
---
Keesokan harinya, suasana kampus tak banyak berubah, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda di antara Saras dan Galuh. Mereka masih menjaga jarak di depan umum, namun tatapan mereka saling bicara.
Galuh duduk di kafe kampus sambil menyeruput es kopi ketika Iqbal datang dan duduk di depannya dengan ekspresi serius.
“Gue dapet kabar, bro. Ada yang ngelihat cowok bernama Rangga datang ke kampus. Katanya nyari Saras.”
Galuh terdiam. Detak jantungnya berpacu lebih cepat.
“Kamu tahu siapa dia?” tanya Iqbal.
Galuh mengangguk perlahan. “Kayaknya gue harus lebih hati-hati mulai sekarang.”
Iqbal mengangguk setuju. “Kalau Rangga balik buat ngerebut Saras, lo nggak bakal tinggal diam, kan?”
Galuh menatap keluar jendela. Wajahnya keras, tapi sorot matanya tak lagi naif.
“Nggak akan. Gue udah janji sama diri gue sendiri—gue akan jaga dia, apapun yang terjadi.”
---
Di rumah kos malam itu, Saras menerima pesan dari nomor tak dikenal.
“Masih ingat aku? Kita harus bicara. Sendiri. Atau semuanya akan tahu.”
Saras menggenggam ponselnya kuat-kuat. Tangannya gemetar.
Galuh masuk ke ruang tamu, melihat wajah Saras yang pucat.
“Ada apa?”
Saras menatap Galuh, ragu. Tapi kemudian, ia menyerahkan ponsel itu.
Galuh membaca pesannya. Lalu dengan suara tenang, ia berkata, “Kamu nggak sendiri lagi, Saras. Apapun yang dia mau, kita hadapi bareng-bareng.”
Saras mengangguk perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.
Tapi mereka belum tahu ini baru permulaan. Masa lalu tak semudah itu dikubur. Dan Rangga tak datang hanya untuk bicara.
Ia datang membawa dendam.