Setelah setahun menikah Jira baru tahu alasan sesungguhnya kenapa Bayu suaminya tidak pernah menyentuh dirinya.
Perjalanan bisnis membuat Jira mengetahui perselingkuhan suaminya. Pengkhianatan yang Bayu lakukan membuat Jira ingin membalas dengan hal yang sama.
Dia pun bermain dengan Angkasa, kakak iparnya. Siapa sangka yang awalnya hanya bermain lama kelamaan menimbulkan cinta diantara mereka. Hingga hubungan terlarang itu menghasilkan benih yang tumbuh di rahim Jira.
Bagaimanakah nasib pernikahan Jira dan Bayu? Dan bagaimana kelanjutan hubungan Angkasa dengan Jira?
Ikuti terus kisah mereka ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miss ning, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Di tempat lain
Selly berteriak marah. Dia melempar semua benda yang ada di depan meja rias. Dia menatap cermin. Tubuhnya bergetar. Air mata perlahan mengalir dari kedua matanya. Ini pertama kali Selly menangis. Dalam hidupnya dia tidak pernah menangis.
"Wajahku...hancur."
Selly berteriak histeris.
"Aaarrgghh."
Suaranya menggema di setiap sudut kamar.
Selly bercermin kembali sebelum dia mengambil sebuah benda kemudian melemparkan benda tersebut ke cermin. Membuat kaca hancur dan jatuh berserakan.
Tangan Selly bertumpu pada meja rias. Meremas tepian meja dengan kuat. Matanya menatap cermin yang sudah hancur.
"Aku tidak boleh kalah. Aku belum kalah. Akan aku buat kau lebih menderita dari ini Jira Mahira."
Mata Selly penuh dengan amarah. Kebencian menguasai hati dan pikirannya. Wajah yang dulu cantik kini terlihat mengenaskan. Tetapi ini lebih baik daripada kematian. Bahkan arwahnya tidak akan tenang sebelum membuat Jira sengsara.
Marah. Tentu saja. Keberuntungan seolah selalu berpihak pada Jira. Setiap dia ingin menjadi nomer satu Jira selalu saja mengalahkannya. Wanita itu selalu berada selangkah di depan dia. Dari prestasi, kecantikan bahkan kepopuleran di sekolah, kalangan teman-teman maupun guru. Dia selalu nomer dua. Itulah yang membuat Selly membenci Jira.
"Selly, kau di dalam." papa Ferry mengetuk pintu kamar anaknya.
Tidak ada jawaban. Kembali papa Ferry mengetuk pintu berulang-ulang. Membuat Selly bertambah kesal.
"Selly." ulang papa Ferry. Lelaki itu mendengar ribut-ribut di kamar anaknya.
Pria paruh baya itu baru saja pulang berjudi. Dan kalah. Dia ingin uang lagi. Beruntung Selly pulang. Dia akan meminta uang kepada Selly dan kembali lagi berjudi. Kali ini pasti dia menang. Pikirnya.
Padahal judi hanya membuat bandar bertambah kaya. Dan yang berjudi bertambah melarat.
"Selly." lagi papa Ferry memanggil sambil mengetuk pintu berulang-ulang.
"Berisik." geram Selly.
"Apa?" Selly membuka pintu dengan kasar. Hingga pintu terbanting dengan keras ke sisi tembok.
Kedua mata papa Ferry melebar saat melihat wajah Selly. Wajah yang dulu cantik kini terlihat hancur. Bahkan wajah Selly hampir tidak ia kenali. Tetapi dari suaranya itu memang Selly.
Tangan papa Ferry terulur ingin menyentuh pipi Selly. Wanita itu menolak. Kakinya mundur ke belakang.
"Selly...wajahmu? Kenapa?"
"Tidak perlu banyak tanya. Ada apa?" Selly malas membahas lukanya. Itu akan menambah kobaran api kemarahan di dalam dadanya.
"Aku butuh uang."
"Tidak ada." Selly masuk sambil membanting pintu dengan keras. Dia muak dengan ayahnya. Lelaki tidak berguna. Hanya bisa berjudi dan mabuk-mabukan.
"Selly. Papa butuh uang. Kalau tidak rentenir itu akan membawa papa. Dan papa bisa mati di tangan mereka." papa Ferry berusaha membujuk Selly agar memberinya uang.
"Selly." papa Ferry tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu.
Suara papa Ferry yang terus memanggil namanya membuat Selly meradang. Matanya menggelap. Pikirannya kacau. Hatinya di selimuti rasa marah. Dia mengambil gunting di lantai. Dia genggam dengan kuat di belakang tubuhnya. Kemudian melangkah keluar.
"Selly."
"Apa?"
"Papa sangat butuh uang. Tolong papa kali ini saja."
"Tidak ada."
"Kau bohong." papa Ferry menggeser tubuh Selly. Dia masuk dengan paksa ke kamar putrinya. Ingin mencari uang di dalam sana.
Bahkan lelaki itu tidak peduli dengan kamar Selly yang terlihat berantakan. Dia mengambil tas Selly yang tergeletak di atas kasur. Mengeluarkan semua isi dalam tas. Kemudian mengambil dompet. Dia mengambil semua uang di dalam dompet tersebut. Dan mengambil satu buah kartu debit.
"Pin nya berapa Selly?"
Diam. Selly tidak menjawab. Dia mengeratkan gigi. Rahangnya sedari tadi mengeras berusaha menahan marah. Matanya berkobar-kobar penuh dengan api kemarahan.
"Selly. Berapa pin kartu ini?" papa Ferry mengangkat kartu yang dia ambil. Menunjukkan pada Selly kartu jenis apa yang dia ambil.
"Cepat Selly papa tidak punya banyak waktu."
"Jika kau tidak punya banyak waktu. Lebih baik kau mati!"
Selly melayangkan gunting dan langsung menusuk dada papanya sendiri. Dia menusuk dengan sekuat tenaga. Tidak peduli dengan rintihan papanya. Bahkan darah yang mengalir deras di dada papa Ferry tidak menghentikan gerakan Selly yang terus berulang-ulang menusuk di tempat yang sama.
"Mati kau. Dasar tidak berguna."
Dengan sisa tenaga papa Ferry berusaha menahan tangan Selly. Tapi tenaganya terlalu lemah. Dia sudah kehilangan banyak darah. Dan mungkin ujung gunting itu sudah menusuk hingga ke organ jantungnya.
Nafas papa Ferry mulai tersengal-sengal. Darah masih terus mengalir di dadanya. Lelaki itu menatap putrinya berusaha menggapai tangan Selly. Tidak sanggup tangannya terlalu lemah bahkan bergetar hebat.
"Selly...hentikan." suaranya parau. Bahkan terbata-bata hampir tidak terdengar. Pandangannya pun mulai kabur. Matanya mulai terpejam diiringi dengan nafas yang mulai memberat. Lalu hembusan nafas terakhir membuat Selly menghentikan hujaman gunting yang dia layangkan secara membabi buta kepada ayahnya.
"Papa."
Amarah menghancurkan kesadaran Selly. Gelap mata. Gelap hati. Membuat Selly tega membunuh ayahnya sendiri.
Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Menyesal pun percuma. Nyawa papanya tidak akan kembali.
Dia harus berpikir cepat sebelum ada orang yang tahu. Dia tidak ingin dipenjara. Dia harus membuang mayat papanya. Selly tidak ingin mengubur mayat ayahnya. Dia tidak ingin meninggalkan jejak. Dia harus cepat. Dia butuh bantuan sekarang.
Mencari ponsel. Dia harus segera menemukan benda itu. Dia harus cepat. Tidak boleh membuang waktu.
"Sial. Dimana ponselku."
Selly kebingungan. Dia tidak menemukan ponselnya. Mungkinkah jatuh saat dia kecelakaan dan ada yang mengambilnya atau ketinggalan di rumah sakit.
"Brengsek. Aku harus cepat."
Selly meraih ponsel papanya yang tersimpan di dalam saku celana. Dia menekan nomer yang sudah sangat dia hafal sebab sedari dulu orang ini yang terus Selly andalkan.
"Datang ke rumahku segera. Aku memiliki pekerjaan untukmu. Bawa mobil dan kantong plastik hitam besar untuk membuang sampah di sungai."
Selly berjalan mondar-mandir di dalam rumahnya. Memastikan tidak ada yang datang kesana. Hingga tiga puluh menit berlalu orang suruhannya datang.
Selly langsung membawanya ke kamar. "Masukkan mayat itu ke kantong. Dan buang di sungai manapun. Jangan sampai meninggalkan jejak."
Lelaki itu memasukkan mayat papa Ferry ke dalam kantong plastik hitam besar seperti orang sedang membuang sampah.
Membawanya ke dalam bagasi mobil. Dan akan membuangnya sesuai perintah.
"Jangan lupa bayaran yang setimpal."
Selly mengangguk. "Nanti aku tranfer sekarang aku belum menemukan ponselku semenjak kecelakaan kemarin."
"Wajahmu mengerikan. Membuat perutku mual. Cepat operasi wajahmu. Sebelum orang mengatai mu sebagai monster."
"Dasar bajingan. Tanpa kau suruh aku pasti akan melakukan operasi itu. Wajahku akan kembali cantik. Dan akan ku hancurkan seseorang dengan wajah baruku."
"Kau wanita gila. Bahkan ayahmu pun kau bunuh."
"Hahaha. Terimakasih atas pujiannya. Cepat pergi dan ingat jangan meninggalkan jejak."
"Bawel. Jangan lupa transfer kalau tidak aku akan melaporkan mu ke polisi atas tuduhan pembunuhan."
***
Keesokan harinya
Angkasa, Bastian dan Stevan berada di ruangan yang sama. Tepatnya perusahaan milik Angkasa.
Semalam Bastian menghubunginya. Ada sesuatu yang ingin pria itu sampaikan. Penting katanya.
Kini mereka duduk di atas sofa di ruangan itu. Menunggu Bastian berbicara.
"Cepat katakan.Hal penting apa yang ingin kau bicarakan."
Bastian mengeluarkan sebuah ponsel. Tapi bukan miliknya. Dan meletakkan benda pipih itu diatas meja.
Angkasa dan Stevan saling tatap.
"Ponsel ?" Bastian mengangguk.
"Kalian tahu itu milik siapa?"
Angkasa dan Stevan kompak menggeleng.
"Itu milik Selly. Aku menemukan itu saat dia kecelakaan. Beruntung dia sempat pingsan jadi aku bisa membuka ponsel miliknya dengan sidik jarinya."
"Kalian tahu apa isi ponsel itu?" Lagi keduanya menggeleng. Angkasa dan Stevan memang belum tahu apa isi ponsel milik Selly.
"Video hot wanita itu dengan banyak lelaki. Termasuk kau di dalamnya." tunjuk Bastian pada Stevan.
"Aku harus segera menghapusnya." Stevan meraih ponsel tersebut. Berniat menghapus video dirinya dengan Selly. Supaya wanita itu tidak dapat mengancamnya lagi.
"Sial. Terkunci."
"Kau harus memberiku bonus yang sepadan untuk menghapus video itu."
Stevan menatap curiga ke arah Bastian. "Mau tidak?" tanya sang asisten.
"Oke, aku akan memberimu bonus jika berhasil menghapus video itu."
Bastian tersenyum puas. Tanpa lembur dia akan dapat bonus banyak. Beruntungnya dia.
"Cepat hapus."
"Baiklah-baiklah." Bastian mengambil ponsel Selly. Kemudian membukanya. Beruntung dia kemarin berhasil mengubah sandi pada layar ponsel Selly. Jadi sangat mudah baginya membuka ponsel tersebut.
"Dasar sialan. Kau pasti nonton kan?" Stevan baru menyadari pasti asistennya itu menonton dirinya dengan Selly yang sedang bermain kuda-kudaan di gudang sekolah.
"Sedikit."
"Bohong. Jika sedikit mana mungkin kau memiliki kantung mata hitam dibawah matamu itu." ucap Angkasa.
"Yaelah Asa tidak senang banget liat aku bahagia."
"Bahagia kok lihat video porno. Bahagia tuh nikah."
Angkasa melempar bantal sofa ke arah Bastian. Lelaki itu tepat menangkapnya sehingga tidak mengenai muka tampannya.
Bastian tersenyum ke arah Angkasa. Kemudian berucap untuk menjahili Angkasa.
"Nanti nunggu Jira janda untuk yang kedua kali."
up dete..