Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai jualan
“Santi, kamu jualan gorengan bawa anak setan ya?”
Suara itu membelah pagi, tajam seperti sembilu. Heni. Lagi-lagi Heni.
Santi tidak menjawab. Kakinya tetap melangkah, menyusuri jalan kampung yang masih berkabut, menjajakan bakwan, risol, tempe goreng, dan ketan. Di pundaknya, Nabil masih tertidur dengan napas lembut. Hati Santi sudah terbiasa disayat kata-kata seperti itu. Tapi pagi ini, hatinya lebih kuat.
“Hei tuli! Malu nggak punya anak setan kayak dia?”
Langkah Santi terhenti. Ia menoleh perlahan. Sorot matanya tajam seperti baja.
Perlahan, tangannya menyelip ke keranjang dagangan. Ia mengeluarkan pisau kecil—pisau untuk memotong gorengan jika ada yang beli setengah. Tapi pagi ini, pisau itu ia acungkan tepat ke arah leher Heni.
Hening.
Kemudian, Santi menarik pisau itu ke lehernya sendiri. Isyarat. Ancaman. Jika Heni berani mengucapkan sekali lagi, bukan hanya kata-kata yang akan melayang.
Pagi-pagi, Santi tidak ingin ribut. Ia sudah tak punya energi untuk debat, apalagi menangis. Jadi, daripada beradu mulut yang hanya bikin dagangannya tak laku, lebih baik dia bawa pisau.
“Anak setan...”
gumam Nabil, seolah mengulang sebuah kosa kata baru yang ia dengar.
Santi menarik napas. Dipeluknya Nabil erat-erat.
“Tenang, Nak. Kamu bukan anak setan. Kamu anak Mamah. Anak kesayangan Mamah.”
“Anak Mamah...”
gumam Nabil lagi, masih di atas pundaknya.
Santi mengusap rambut anaknya, lalu kembali berjalan.
“Gorengan... bala-bala... risol... ketan masih hangat...”
Suara Santi membelah pagi. Orang-orang masih terlelap dalam mimpinya, tapi Santi sudah menembus jalan demi jalan, menjajakan harapan yang dibungkus daun pisang.
Namun, sampai ke ujung desa pun, tak satu pun orang membeli.
Santi akhirnya duduk di dekat pagar makam umum. Ditariknya napas panjang. Diseka peluh yang mengucur di dahi, dan didudukkannya Nabil perlahan.
“Mah... apa ini?”
suara Nabil pelan, nyaris datar—tapi kali ini, bukan gumaman. Ini pertanyaan.
Santi menoleh. Matanya membelalak.
“Nak... kamu...”
Ini pertama kalinya Nabil bertanya. Benar-benar bertanya.
“Ini... kuburan, Nak.”
“Kuburaaan... tempat setan ya?”
“Bukan, Sayang... Kuburan itu tempat orang yang sudah meninggal. Tempat mereka istirahat.”
Santi tercekat. Dadanya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Di tempat yang dianggap angker oleh banyak orang, justru ia melihat keajaiban kecil: anaknya bertanya. Anaknya memperhatikan. Anaknya... berkembang.
Dipeluknya Nabil erat-erat, diciumi wajah anak itu berkali-kali.
“Terima kasih, Tuhan,” bisiknya. “Mungkin selama ini, dia terlalu tertekan di rumah Bayu.”
Seseorang datang mendekat. Seorang perempuan, berpakaian hitam. Wajahnya sayu. Matanya sembab.
“Bu... saya borong semua gorengannya,” ucap perempuan itu pelan.
Santi tersentak dari pelukannya.
“B-baik, Bu...” katanya gugup, lalu mulai memasukkan gorengan ke dalam plastik besar.
“Berapa semuanya?”
“Delapan puluh ribu, Bu.”
Perempuan itu menyerahkan selembar uang seratus ribuan.
“Ini kembaliannya, Bu...”
Santi mengulurkan uang dua puluh ribu.
Perempuan itu menahan tangannya.
“Nggak usah, Bu. Doakan saja Bapak saya masuk surga... soalnya selama hidup, kerjaannya cuma kawin sana-sini.”
Perempuan itu lalu berjalan pelan ke arah rombongan orang yang sedang menyiapkan pemakaman.
Santi menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.
Kadang rezeki datang bukan dari tempat ramai. Kadang ia datang dari makam yang sepi. Manusia hanya bisa berusaha. Soal hasil... itu urusan Allah.
Santi pulang dengan langkah yang agak ringan. Di pundaknya, Nabil tertidur lagi, lelah setelah keliling sejak fajar. Tapi kali ini, wajahnya tenang. Ada seberkas cahaya di dada Santi. Sebuah harapan kecil yang menyala.
Begitu membuka pintu rumah, Santi mencium aroma nasi yang sedang dimasak. Ia mengerutkan dahi. Aneh. Biasanya rumah masih sepi kalau jam segini. Tapi hari ini, dari dapur terdengar suara gemericik dan dengungan pelan seseorang bernyanyi.
“Heru?” panggil Santi pelan.
“Eh, Kak!” sahut Heru, adiknya, dari dapur. Remaja itu muncul dengan tangan penuh uap nasi. Wajahnya berkeringat, tapi senyumnya lebar.
“Kamu kok udah pulang? Biasanya kan jam segini masih di sawah, ikut ngarit atau Ngagebot”
Heru menyeka peluh dengan punggung tangannya. “Iya tadi yang panennya sedikit jadi aku pulang cepatm dan tadi aku dipanggil kang firman dia menawarkan aku kerja”
Santi duduk di kursi reyot dekat pintu, meletakkan Nabil dengan hati-hati di atas tikar.
“Kerjaan apa?” tanyanya.
“Cuci baju. Mulai jam delapan sampai jam sepuluh pagi. Dua jam doang, Kak. Dibayar tiga puluh ribu. Apa kaka mau?.”
Santi tersenyum. “Tentu saja Kakak mau. Lumayan buat beli beras dan lauk nasi.”
“Ya udah nanti jam 9 aku ke rumah kang firman, jam9 dagangan kaka mudah-mudahan sudah habis”
“kaka emang ga capek?”
“kaka harus bekerja keras demi nabil dan kamu ru” jawab santi
Heru berkca-kaca tak tega sebenarnya melihat kakanya bangun jam 3 pagi, menyiapkan gorengan menyiapkan sarapan dan habis shalat subuh langsung jualan sambil menggendong nabil, siangnya kakanya harus belanja ke pasar mempersiapkan dagangan untuk besok
Santi membuka tas kecil di balik keranjang dagangannya. Ia mengeluarkan uang hasil jualan hari ini. Tangannya lincah memisahkan uang dua puluh ribuan, sepuluh ribuan, dan receh yang berantakan. Dengan hati-hati, ia menarik uang tiga puluh ribu dan menyelipkannya ke dalam palstik kecil warna hitam.
“Ini buat apa, Kak?” tanya Heru, memperhatikan.
“Tabungan,” jawab Santi pendek.
“Lho, kenapa dipisah? Kok nggak dihitung total semua aja?”
Santi menoleh. Tatapannya serius. “Uang tiga puluh ribu ini bukan keuntungan. Ini tabungan. Untung atau rugi, Kakak tetap harus nabung. Dan uang ini... anggap saja hilang. Jangan pernah kamu pegang atau hitung.”
Heru mengerutkan dahi. “Tapi Kak, bukannya itu bagian dari penghasilan juga?”
Santi menggeleng. Ia lalu mulai menghitung uang lain.
“Dari hasil jualan tadi, modalnya lima puluh ribu. Sekarang kembali lima puluh ribu. Jadi, untungnya cuma dua puluh ribu. Itu yang bisa kita pakai buat beli lauk, beras, dan kebutuhan hari ini.”
Heru masih tampak bingung.
“Kalau gitu, kenapa uang tiga puluh ribu nggak dimasukin juga ke perhitungan?”
Santi menatap Heru lama, lalu tersenyum.
“Heru... orang yang kerja punya penghasilan tetap. Tapi kita? Kita dagang. Hari ini bisa laku, besok bisa nggak. Hari ini bisa untung, besok bisa buntung. Kalau Kakak hitung semuanya dan pakai semuanya, nanti pas bangkrut, kita nggak punya cadangan. Tabungan ini semacam payung, supaya kalau hujan besar, kita nggak basah kuyup.”
Heru akhirnya mengangguk-angguk. Walau belum sepenuhnya mengerti, ia tahu satu hal: kakaknya bukan hanya kuat, tapi juga bijak.
Santi menyimpan plastik kecil itu ke dalam kaleng bekas biskuit, lalu menutupnya rapat dan menyimpannya di bawah tumpukan baju-baju bekas. Heru memandangi kakaknya dengan hormat. Dalam diam, ia bertekad untuk lebih banyak membantu.
Hari itu, mereka makan nasi hangat dengan tempe goreng sisa dagangan dan sambal terasi. Nabil makan dengan lahap, sesekali tersenyum meski tak banyak bicara. Santi mengelus kepala anak itu. Wajahnya tenang. Namun, Santi heran kenapa Nabil sekarang tidak ileran lagi dan jari-jari kecilnya tak berhenti bergerak seperti sedang menghitung sesuatu atau sedang menggambar di udara.
“Uang seratus ribu kembali dua puluh ribu,” gumam Nabil.
Malamnya, saat angin dingin menyusup dari celah dinding bambu, Santi duduk menulis angka-angka di buku tulis bekas milik Nabil. Ia mencatat pemasukan, modal, tabungan, dan rencana belanja esok hari.
Heru menatap dari tikar.
“Kak... Emang Kakak nggak pernah capek?”
Santi menoleh.
“Capek, Her. Tapi lebih capek kalau kita menyerah.”
Heru tertawa kecil.
“Kakak cocok jadi motivator.”
Santi tertawa pelan. Tapi tawa itu cepat reda. Ia menatap jendela yang gelap.
“Doakan ya, Her... Semoga usaha Kakak hari ini jadi jalan rezeki buat masa depan Nabil.”
Heru mengangguk.
“Aamiin.”
Seperti biasa, Santi bangun bersama suara tahrim di musala.