Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 24.
Hening merayap ke seantero ruangan, membekukan udara. Perempuan berjilbab itu berdiri terpaku, mencoba menelan kenyataan yang baru saja terucap dari bibir pria itu, kenyataan yang berat jika pria itu tak lagi mengingat siapa dirinya.
Perempuan itu menarik napas perlahan, mencoba menjaga ketenangannya sebagai perawat. Tapi tak dapat ia pungkiri, berita ini harus segera dilaporkan.
“Saya akan memanggil dokter, Tuan. Istirahatlah dulu, jangan terlalu memaksa ingatan Anda keluar secara paksa.“ Ucapnya lembut, lalu bergegas keluar ruangan.
Sementara itu, Rama menatap langit-langit dengan mata kosong. Sesuatu di dalam dirinya terasa hilang, seperti ada bagian besar yang dicabut paksa. Ia menatap tangan kirinya yang terluka, bekas luka lecet dan beberapa goresan di lengan menjadi satu-satunya bukti bahwa ia telah melalui sesuatu yang keras... sesuatu yang tidak bisa ia kenali.
Namun di lubuk hatinya yang terdalam, ada kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan. Seperti sebuah nama... atau suara... yang berusaha menembus kabut tebal dalam benaknya. Sebuah bayangan perempuan, wajah samar dengan sorot mata yang penuh luka dan harapan. Tapi setiap kali ia mencoba menggenggam ingatan itu, semuanya lenyap.
Perawat bernama Gendis itu masuk ke ruang dokter. “Dokter... pasien laki-laki yang ditemukan di sungai baru saja siuman, tapi dia kehilangan ingatannya.“
“Ada kemungkinan kepalanya terbentur sesuatu, kita harus siapkan rujukan ke rumah sakit di kota yang punya fasilitas pemulihan memori.”
Namun sebelum mereka bicara lebih lanjutnya, terdengar suara gaduh dari luar. Seorang pria menerobos masuk, pria berseragam abdi negara dengan mata memerah.
“Gendis! Ikut aku!”
Tanpa menunggu jawaban, tangannya mencengkeram pergelangan Gendis. Wanita perawat itu terkejut dan meringis, tubuhnya ditarik paksa.
Dalam hitungan detik, mereka telah sampai di taman belakang klinik. Di antara bau tanah basah dan rerumputan yang diam-diam menjadi saksi.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Gendis, suaranya menggaung hingga membuat angin pun seolah membeku.
Wajah Gendis menoleh ke samping, matanya membelalak.
“Mas…?” bisiknya, nyaris tak percaya.
Dialah suaminya, lelaki berseragam kebanggaan negara. Lelaki yang jarang pulang karena tugas negara, kini kembali... bukan dengan rindu, melainkan dengan amarah membakar.
“Perempuan tak tahu diri!” suaranya mengguntur. “Saat aku bertaruh nyawa di medan tugas, kau malah berselingkuh di belakangku?!”
Gendis menggeleng cepat, napasnya tersendat. “Aku… aku selingkuh? Mas, kata siapa?”
“Kata Ibu! Kata Ratna! Mereka melihatmu dengan pria lain dan mereka punya bukti!”
“Itu tidak benar! Demi Allah, Mas... aku setia. Aku tidak pernah…”
“Cukup!!” bentaknya, wajahnya memerah dengan mata merah darah. “Kau tak pantas menyandang nama keluarga kami... karena kau tak bisa menjaga harkat martabat wanita bersuami! Mulai detik ini, aku talak kamu, Gendis Maharani! Dengan talak satu!”
Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Tubuh Gendis bergetar hebat, tangannya terangkat di udara seolah ingin menahan kenyataan pahit yang baru saja dilemparkan kepadanya.
“Astaghfirullah, Mas… aku… aku sedang mengandung anakmu…”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Namun sang suami tertawa hambar, getir. “Hamil? Anak siapa? Aku ragu itu anakku! Aku tak akan mau merujukmu, kita lanjutkan proses perceraian ke pengadilan!”
Tanpa memberi kesempatan Gendis menjelaskan lagi, pria itu berbalik pergi... meninggalkan jejak luka yang tak terlihat namun menghancurkan.
Gendis berdiri mematung, nafasnya tercekat. Dunia terasa gelap meski cahaya matahari masih menghangatkan tubuhnya.
“Apa salahku…?” lirihnya, suara yang seharusnya hanya untuk dirinya sendiri, kini bergetar di antara tangis yang tertahan.
Bruk!
Tubuh Gendis jatuh berlutut ke tanah. Tangannya mengeluus perlahan perutnya, tempat janin mungil yang baru ia ketahui keberadaannya sedang bertumbuh disana.
Air mata menetes, satu per satu... hingga mengguyur pipi dan jatuh membasahi tanah tempat ia bersimpuh.
Tak jauh dari taman itu... di balik jendela kamar lantai dua, seorang pria berdiri menyaksikan segalanya.
Rama.
Wajahnya pucat, matanya membulat saat melihat kejadian tadi. Tiba-tiba, kilasan masa lalu menerjang kepalanya, kilasan kabur namun penuh bayangan. Ia dejavu, merasa pernah membentak seseorang dan meminta orang itu menggugurkan kandungan. Lalu terdengar... suara seorang wanita menangis.
“Arghhh…” Rama mendesah keras, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat.
Langit kamar berputar, tubuhnya goyah. Dan sejurus kemudian, ia pun ambruk tak sadarkan diri.
.
.
.
Sementara itu di kediaman keluarga Mahesa, suasana mendadak tegang.
Davin dan Alina duduk di ruang tengah bersama seluruh anggota keluarga. Siang itu, mereka memutuskan untuk membuka semuanya tentang Kirana, tentang ancaman yang terus menghantui.
Dan seperti yang telah diprediksi, Nyonya Ayunda adalah yang paling murka.
“Mulai sekarang, Alina dan Daffa akan berada di bawah pengawasan penuh. Tidak boleh ada yang keluar rumah tanpa pengawalan. Sampai wanita itu tertangkap, kalian semua tetap tinggal di sini!” perintahnya tegas.
Alina mengangguk, pelan. Hatinya mencemaskan keselamatan anaknya lebih dari segalanya.
“Ngomong-ngomong…” Nyonya Ayunda melanjutkan, “Mama baru dapat kabar, Dita dan Erika sudah ditahan.”
“Sepertinya aku akan dipanggil juga, kasus ini masuk ke ranah hukum di Jakarta... bukan disini. Jadi aku akan bolak-balik, dua kota. Apa nggak sebaiknya aku tinggal sementara di Jakarta?“ Timpal Alina.
“Tidak!” potong Nyonya Ayunda cepat. “Dalam kondisi seperti ini, bolak-balik akan lebih aman. Jika kau menetap di Jakarta, itu justru membuka peluang bagi Kirana. Perempuan itu… dia seperti hantu. Tak punya takut, tak punya batas.”
Davin mengangguk. “Aku setuju.”
Tiba-tiba, seorang pelayan masuk dengan langkah tergesa.
“Permisi, Nyonya Viola. Ada yang ingin bertemu… orang tua dari Tuan Raden. Mereka ingin bertemu cucunya, Tuan kecil Raka.”
Wajah Viola mendadak menegang, tangannya yang sedang memegang cangkir teh membeku di udara.
Raden... nama itu kembali mengoyak luka yang belum sepenuhnya sembuh. Mantan suami yang mengkhianatinya, lelaki yang kini hanya tinggal masa lalu.
Dan kini, orangtua pria pengkhianat itu datang?
Ada apa?
Apa mereka ingin berebut cucu? Atau ingin menebus kesalahan yang sudah telanjur membuat luka?
Dalam diam, Viola berdiri perlahan. Tatapannya kosong, namun penuh badai yang siap meledak kapan saja.
.
.
Nanti ceritanya, sambung menyambung ya. Makanya menceritakan Viola dan mantan mertua Viola... happy reading 😘
setelah ini pasti si galang akan menyesal 🤣🤣🤣