"Kita akan menikah dua bulan lagi, sampai kapan kita akan merahasiakan ini pada Raya?"
Deg
Raya mematung. Kakinya tiba - tiba melemas. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang sahabat. Haidar dan Sintia akan menikah? Bahkan pernikahan mereka sudah didepan mata. Bukankah itu artinya hubungan mereka sudah pasti terjalin sejak lama? Tersenyum miris, Raya merasa jadi manusia paling bodoh yang mudah dipermainkan.
Pulang dengan luka hati, siapa sangka tiba - tiba datang lamaran dari Axelio, anak sahabat lama Papanya. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan singkat, Raya memutuskan menerima pinangan Axel.
Lantas, akankah kehidupan rumah tangga Raya dan Axel bahagia? Bagaimana cara Axel membuat Raya move on dan berubah mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AfkaRista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Ya ampun, Sin. Ayam gorengnya gosong itu!" teriak Ida, Bunda Haidar
Sintia langsung mematikan kompor. Masakannya mengeluarkan banyak asap tapi dia tidak menyadarinya.
"Kamu itu mikirin apa sih? Masak asap sebanyak ini kamu nggak sadar! Hampir saja dapurnya kebakaran!"
"M-maaf Ma"
Haidar baru turun dari tangga, "Ada apa sih, Ma. Siang - siang kok teriak - teriak?"
Sintia menatap mertua dengan rasa bersalah. Gara - gara memikirkan Raya, Sintia jadi tidak fokus seharian ini.
"Ini bau gosong apa?"
"Ayam goreng", sahut Ida sedikit kesal
Haidar menatap ayam goreng diatas kompor. Sebagian menghitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Ia pun beralih menatap Sintia dengan curiga. Semalam istrinya itu mimpi buruk sampai berteriak. Mungkin jika berteriak biasa, Haidar tak akan mempermasalahkan, tapi istrinya itu berteriak "Aku tidak membunuhnya". Mesk8 sempat menanyakannya semalam, namun Sintia beralasan ia baru menonton film horor kemarin. Dan mungkin terbawa suasana. Tapi hari ini, Sintia kembali membuatnya curiga. Perempuan itu tampak tidak fokus melakukan apapun. Pasti ada yang dia pikirkan.
"Ikut aku ke kamar"
Sintia gugup bukan main. Haidar sepertinya akan menginterogasinya lagi sekarang. Semalam ia bisa mengarang alasan, tapi pagi ini sepertinya Haidar mulai curiga padanya.
"Ayo, Sin. Tunggu apa lagi?"
"A-aku akan membuat ulang makan siangnya"
"Biar Bunda saja", sahut Ida cepat
Sintia menghela nafas, ia tak bisa beralasan lagi apalagi tatapan Haidar membuatnya tak berkutik. Ia mengekor sang suami kembali ke kamar. Begitu tiba di kamar, Haidar sudah menunggunya.
"Katakan apa yang sudah terjadi padamu!"
Sintia tidak berani menatap suaminya. Ia menatap sekeliling kamarnya.
"Apa kamu sudah melakukan suatu kejahatan?"
"K-kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku tidak mungkin melakukan kejahatan"
Haidar masih tak percaya. Dia, Raya dan Sintia sudah bersama sejak lama, tentu dia tahu seperti apa ekspresi Sintia ketika dia jujur atau tidak. Haidar yakin, ada yang Sintia sembunyikan darinya.
"Aku bertanya sekali lagi, apa yang sudah kamu lakukan?"
Sintia berusaha menghindari tatapan Haidar, "Tidak ada. Kenapa kamu begitu tidak percaya padaku?"
"Aku bertanya bukan karena aku peduli, tapi karena kamu adalah istriku! Jika terjadi sesuatu padamu, aku akan ikut bertanggung jawab. Kamu mungkin bisa membohongi orang lain. Tapi kamu tidak bisa membohongiku. Jadi aku tanya sekali, apa yang sudah terjadi?"
"T-tidak ada!" kekeh Sintia
"Baiklah, karena kamu mengatakan tidak ada yang terjadi maka aku tidak akan membantumu jika terjadi sesuatu!"
Deg
Jantung Sintia berdegub kencang. Jujur dia takut. Sampai sekarang, dia belum tahu bagaimana keadaan Raya. Bagaimana kalau mimpinya jadi kenyataan? Raya meninggal dan menuntut balas padanya. Tidak. Semua itu hanya mimpi. Sintia yakin, Raya baik - baik saja. Ia tidak boleh mengatakan kejadian ini. Karena ia yakin jika dia jujur, Haidar akan semakin membencinya.
"Tidak ada yang terjadi"
"Baiklah. Aku harap kamu memang tidak menyembunyikan sesuatu dariku!"
Haidar keluar dari kamar. Sintia menghela nafas berat setelah suaminya pergi.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya mengetahui kondisi Raya sekarang?"
Sintia mondar mandir gelisah. Jujur, dia takut. Meski meyakinkan diri jika Raya baik - baik saja, nyatanya ia tetap tidak tenang. Mimpi semalam terus membayanginya. Jika Raya benar - benar meninggal, dirinya bisa dipenjara. Tidak, Sintia tidak mau di penjara. Dia tidak mau menghabiskan hidupnya dibalik jeruji besi.
"Aku harus mencari tahu keadaan Raya sekarang"
Sintia turun ke bawah setelah membawa tas berisi ponsel dan dompet miliknya.
"Mas Haidar kemana, Ma?"
"Dia ada undangan main golf dengan rekan kerjanya. Apa dia tidak pamit padamu?"
Sintia menggeleng. Belakangan ini, hubungannya dengan Haidar sedikit merenggang. Pria itu tidak lagi berpamitan jika keluar rumah.
"Padahal harusnya kita sudah makan siang"
Sintia merasa tidak enak hati mendengar ucapan mertuanya.
"Sintia minta maaf, Ma"
Ida tampak menghela nafas, "Sudahlah. Sudah kejadian juga", Ida menatap Sintia, "Kamu mau pergi?"
"Ah ... Aku akan mengurus sedikit pekerjaan"
Ida menghela nafas, "Jangan pulang terlambat. Kamu harus masak buat makan malam nanti"
"Iya, Ma"
Setelah berpamitan, Sintia segera keluar dari rumah. Saat dia membuka pintu, kebetulan ada tamu yang akan mengetuk pintu
"Polisi? Untuk apa polisi datang kemari?"
Wajah Sintia langsung pucat pasi. Apa ini ada hubungannya dengan Raya?
"Dengan saudari Sintia?"
"I-iya benar saya sendiri. A-ada apa ya, Pak?"
"Kami membawa surat penangkapan untuk Anda. Silahkan ikut kami ke kantor polisi"
"T-tapi apa salah saya Pak?!"
Mendengar suara agak ribut diluar, Ida keluar. Dia terkejut melihat ada polisi datang kerumahnya.
"Ma, aku tidak mau di penjara! Aku tidak mau!! Tolong aku, Ma!"
"Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa kalian membawa menantu saya?"
"Saudari Sintia telah melakukan tindakan melukai seseorang hingga dia kehilangan bayinya"
Deg
🌿🌿🌿
Sementara dirumah sakit, semua keluarga sedang menghibur Raya. Kondisi psikis Raya sempat drop setelah wanita itu bangun tidur. Meski tidak histeris seperti hari sebelumnya, tapi Raya sempat menangis kala mengingat kepergian janinnya.
"Sayang, yang harus kamu lakukan adalah ikhlas. Relakan dia, Nak. Dia sudah bahagia di surga"
"Aku ingin mengiklaskan dia, Ma. Sungguh. Tapi semua tidak semudah mengucapkan kata. Rasanya berat sekali"
"Mama tahu, tapi yakinlah semua ini sudah menjadi takdir kamu. Kamu harus kuat. Yakinlah akan ada pelangi setelah hujan"
Axel memeluk sang istri, "Yang di katakan Mama benar, Sayang. Kita harus mengikhlaskan dia. Jangan buat kepergian jadi berat. Mas yakin, anak kita sudah bahagia disana"
Raya membalas pelukan suaminya. Bersandar dalam dekapan Axel rasanya begitu nyaman.
"Aku akan berusaha"
"Kita pasti bisa melewati semua ini"
Raya mengangguk. Papa Brama dan Papa Danu ikut terharu melihatnya.
"Oh ya, Sayang. Tadi Papa beli cake kesukaan kamu loh. Papa bahkan nunggu sampai tokonya buka"
Raya tersenyum di sela tangisannya, "Papa ngantri?"
"Iya. Papa tahu, kamu suka sekali sama Redvelvet cake, makanya Papa belikan. Sekarang dimakan ya?"
Raya mengangguk, "Terima kasih banyak, Pa"
"Sama - sama, Nak. Kamu harus kuat. Makan yang banyak biar cepat pulih. Kamu nggak kangen rumah?"
"Kangen"
Mama Raisa memotong cake kesukaan Raya lalu menaruhnya di piring, "Ini Sayang. Mama suapi ya?"
"Tidak usah, Ma"
Axel mengambil cake tersebut, "Tangan kamu satunya di infus, satunya di perban. Mas saja yang suapi"
Raya mengangguk. Rasa cake yang manis membuat Raya sedikit melupakan kesedihannya. Tak terasa Ia memakan cake nya cukup banyak.
"Sudah, Mas. Nanti lagi"
Axel mengangguk. Dia mengambil gelas berisi air lalu memberikannya pada Raya.
"Terima kasih"
Usai makan cake, Raya kembali merebahkan tubuhnya.
"Mama sama Papa mau pulang sebentar ya. Nanti sore kesini lagi. Mau Mama masakin apa?"
"Apa saja, Ma" sahut Raya
"Oke, nanti Mama masakkan makanan yang spesial buat kamu"
Raya tersenyum,
"Papa dan Mama pulang dulu ya, Sayang. Nanti kami kemari lagi. Xel, titip Raya ya?"
"Tentu Pa"
Setelah kepergian Papa Danu dan Mama Raisa, Papa Brama juga ikut berpamitan
"Papa juga pamit dulu ya? Papa terlanjur ada janji meeting jam satu nanti. Mau dibatalkan, client nya jauh - jauh dari Jepang"
"Nggak papa, Pa. Papa pergi saja. Maaf sudah merepotkan kalian semua"
"Kamu ngomong apa sih, Sayang? Papa nggak merasa repot kok. Kamu itu anak kesayangan Papa"
Raya terharu mendengar kalimat yang Papa Brama ucapkan. "Terima kasih, Pa. Terima kasih sudah menyayangi Raya dengan tulus. Maaf Raya-""
Papa Brama memeluk menantunya, "Ssst. Jangan dibahas lagi. Kamu wanita kuat. Papa yakin, kamu bisa melewati semua ini"
"Iya"
"Kalau begitu, Papa pulang dulu"
Setelah kepergian orang tuanya, kini tinggal Raya dan Axel di dalam ruangan. Keduanya diam beberapa saat dengan pikiran masing - masing
"Mas, bagaimana dengan Sintia?"
"Mas sudah melaporkan kasus ini ke polisi"
Raya menatap suaminya, Axel juga menatap Raya. "Maaf tidak mengatakan ini dulu padamu, tapi Mas rasa kasus ini pantas di bawa ke jalur hukum. Mas tahu, mungkin kamu keberatan. Tapi kalau kamu meminta Mas mencabut laporan ini, Mas tidak akan melakukannya"
"Aku setuju. Meski aku tahu sebenarnya Sintia tidak sengaja. Tapi aku hanya ingin dia mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
raya keburu ngambil keputusan Nerima lamaran harusnya meminta penjelasan dulu..
Wkwkwkwkw Seram memang ada mak mak yg begini
Hiiiiiiiii
Orang tua egoissss
Kampreeet
Enakan di axel
klw dandan selalu ditanyak adek mau kemana dandan cantik",, maksud hati mau nyenengin suami tapi kata suami gk usah, nanti klw ada yg naksir gimana?? 😜😜😜😜
suamiku lebai amat yah 😄😄😄😄😄
jgn2 ...nnti kmu mati d tgn sintia pas ngrlindungi raya.gpp kl gitu.biar mamamu nyadar bahwa sintia yg dia elu2kan malah bunuh anaknya