Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Survei Kost-kost'an
Ervan kembali duduk, kali ini bersandar sambil memejamkan mata. Napasnya panjang dan berat, seperti sedang berperang melawan dirinya sendiri. Di satu sisi, ia marah—pada Shanum, pada situasi yang tak bisa ia kendalikan. Di sisi lain, ia tahu kemarahan itu tak berdasar. Tidak adil. Tapi ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
“Aku tidak akan datang ke rumah orang tuanya. Jangan harap. Itu hanya akan membuatnya merasa penting,” ucapnya lebih pada dirinya sendiri daripada ke Ikhsan. Tapi, masalahnya ia ingin tahu apa yang terjadi sama istrinya. Gengsinya terlalu besar.
“Iya, Pak. Saya mengerti.”
“Tidak. Kamu tidak mengerti, Ikhsan,” desisnya. “Kamu tidak tahu seperti apa perempuan itu. Tenang di permukaan, tapi menyimpan banyak rahasia,” tuding Ervan sendiri.
Ikhsan tidak membalas. Ia tahu saat seperti ini, lebih baik diam.
Ervan menatap layar ponselnya lagi. Jemarinya hendak mengetik sesuatu, tapi kembali terhenti. Ia terlalu marah untuk merangkai kalimat. Terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan sendiri.
“Wajah berlaga polos, berlaga minta bantuan untuk dinikahi, ternyata liar di luar sana!” gumamnya pelan.
Ia membuka laci meja, mengambil sebatang pena dan mulai mengguratkan coretan tak tentu pada kertas memo. Tangannya tampak berusaha mengalihkan pikiran, tapi tak berhasil.
“Kenapa dia nggak pernah sekalipun berusaha menjelaskan? Tidak menuntut haknya!" Lagi-lagi ia berspekulasi sendiri, tanpa mengingat kembali dengan surat perjanjian yang ia buat sendiri. Bahwasanya mereka tidak akan saling mengusik urusan masing-masing. Dan, tidak ada kewajiban ia untuk menafkahi Shanum, cukup hanya menikahinya saja.
Ervan mendengus. “Karena dia tahu, aku akan langsung marah. Aku akan tolak semua permintaannya.”
Namun suara hatinya tak sejalan dengan ucapannya. Ia terdiam lama, menatap kosong. Di kepalanya, wajah Shanum berputar-putar. Tatapan matanya yang begitu tenang, kalimat-kalimatnya yang tidak pernah memohon atau mengemis simpati. Hanya sekali saja permohonan, yaitu menikahinya.
Ia ingat saat Shanum pergi begitu saja setelah menandatangani surat perjanjian. Tanpa tangis.
“Aku yang meminta pernikahan itu berakhir cepat. Tapi kenapa aku ... malah merasa seolah dia yang meninggalkanku duluan?”
Ervan menghela napas dalam-dalam, menekan jemarinya ke pelipis. Kepala terasa panas. Hatinya tidak tenang. Ia ingin menumpahkan semuanya, tapi kepada siapa?
“Pak Ervan ... kalau saya boleh usul,” ucap Ikhsan pelan, memberanikan diri.
“Hm?” sahut Ervan datar.
“Mungkin ... Bapak bisa mulai dengan bicara langsung. Tanpa marah-marah dulu.”
Ervan menatap tajam. “Maksudmu saya harus datang ke rumahnya?”
“Bukan, Pak. Maksud saya ... mungkin Shanum akan bicara jika Bapak menunjukkan perhatian kalau benar-benar ingin tahu, bukan sekadar marah. Kadang orang diam bukan karena salah. Tapi karena capek harus membela diri terus.”
Ervan tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah meja, seolah menimbang kata-kata itu.
Setelah beberapa saat, ia berdiri, meraih jasnya.
“Mau ke mana, Pak?” tanya Ikhsan heran.
“Entah. Keluar dulu sebentar. Otak saya terlalu penuh. Kenapa semuanya jadi se-ribet ini.”
Ia berjalan keluar dari ruang kerja, meninggalkan Ikhsan yang hanya bisa menghela napas panjang. Sementara itu, di balik pintu, ketegangan belum benar-benar pergi.
...***...
Jam digital yang menempel di dinding dapur belakang toko kue menunjukkan pukul 12:00. Waktu istirahat kerja telah tiba, dan meski pinggang kirinya masih terasa ngilu, Shanum bersikeras ikut Tia untuk melihat kost'an yang sudah dibicarakan sejak pagi.
"Yakin bisa jalan, Sha? Kalau masih sakit, kita bisa lihatnya besok," kata Tia sambil merapikan tas selempangnya.
Shanum mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Mbak. Mumpung sekarang waktunya pas. Lagi pula cuma lihat-lihat sebentar, kan?”
Yogi yang baru saja kembali dari membersihkan area toko ikut menyela, wajahnya masih penuh rasa bersalah. “Maaf banget ya, Shanum. Aku beneran nggak sengaja tadi.”
Shanum tersenyum menenangkan. “Nggak papa, Mas Yogi. Udah baikan kok. Cuma kaget aja tadi. Shanum juga berdiri di tempat sempit, salah sendiri.”
Tia menggandeng lengan Shanum dengan hati-hati. “Ayo, jalannya pelan-pelan aja. Kost'annya deket kok, cuma di gang belakang toko.”
Mereka keluar lewat pintu samping, menembus cuaca siang yang cukup terik tapi masih bersahabat. Jalanan sempit di samping toko dipenuhi aroma sedap dari warung makan dan gerobak gorengan. Beberapa anak sekolah baru saja keluar, lalu-lalang dengan seragam yang sudah tak rapi.
Mereka berbelok ke sebuah gang kecil, hanya cukup untuk dilalui satu motor. Deretan rumah petak dan kost'an berjajar rapi, sebagian masih tampak baru, sebagian sudah termakan waktu.
“Nah, itu dia,” tunjuk Tia ke sebuah rumah bercat krem yang tembok luarnya ditumbuhi tanaman sirih gading menggantung. Sebuah papan kecil bertuliskan 'Kost Putri Bu Erni – Khusus Karyawan & Mahasiswi' tergantung di pagar besi setinggi pinggang.
Pagar terbuka. Begitu mereka masuk, suasana langsung terasa sejuk, mungkin karena banyak tanaman pot berjejer rapi di depan teras.
Dari dalam muncul seorang ibu paruh baya mengenakan daster dan kerudung pendek, tersenyum ramah. “Eh, Tia! Mau lihat kamar, ya?”
“Iya, Bu Erni. Ini Shanum, temen kerja saya. Lagi cari kost'an deket-deket sini.”
Bu Erni langsung mempersilakan mereka masuk. “Pas banget, baru kemarin anak kos satu pindahan karena udah lulus kuliah. Kamarnya di pojok, deket kamar mandi. Ayo, lihat dulu ya, Nak Shanum.”
Mereka menyusuri lorong sempit yang bersih dan terang. Dindingnya dicat warna pastel, sedikit pudar tapi tidak kotor. Beberapa pintu tertutup, menunjukkan para penghuni lain mungkin sedang bekerja atau kuliah.
“Ini kamarnya,” ujar Bu Erni sambil membuka pintu kayu bercat cokelat muda.
Ruangan itu tidak besar, kira-kira 3x3 meter, dengan lantai keramik putih, satu jendela kecil dengan tirai tipis, meja belajar, lemari kecil dua pintu, dan kasur single dengan sprei bersih berwarna biru langit. Ada colokan listrik di dekat meja dan gantungan baju di dinding.
Shanum mengedarkan pandangan. Hatinya langsung merasa tenang. Sederhana, tapi nyaman. Tidak pengap, dan yang paling penting: terasa aman.
“Air bersih, Bu?” tanyanya pelan.
“Alhamdulillah, air PAM lancar. Kamar mandinya bersih, bareng tiga penghuni lain, ya. Tapi tenang, tiap minggu ada jadwal bersih-bersih bareng. Kalau mau bersih tiap hari juga boleh,” jawab Bu Erni sambil tersenyum.
“Ini cocok banget, Sha,” bisik Tia, menyikut pelan teman kerjanya.
Shanum mengangguk. “Iya, Shanum suka.”
“Kalau kamu ambil sekarang, harga masih promo. 700 ribu per bulan, sudah termasuk listrik. Nggak ada tambahan lain-lain,” kata Bu Erni antusias.
Shanum tampak berpikir sejenak. Uang bukan masalah besar. Setelah kepergiannya dari rumah dan keputusannya untuk hidup sendiri, ia masih menyimpan uang mahar dari pernikahannya dengan Ervan. Uang yang sejak awal ingin ia manfaatkan sebagai bekal hidup mandiri. Meski hubungan mereka seperti permainan takdir yang menggantung, ia memilih berdiri di atas kakinya sendiri.
Bersambung ... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬