Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persidangan
Malik tidak menyangka akan bertemu dengan sosok Yudha di persidangan. Lelaki itu berdiri sebagai pengacara tersangka yang sedang diadili, sedangkan Malik berperan sebagai jaksa penuntut dalam kasus pemerkosaan yang melibatkan anggota dewan dan menjadi perbincangan hangat baru-baru ini.
Sosok Yudha benar-benar tak terduga. Ia tidak hanya cerdas dalam mengatur strategi, tetapi juga memanfaatkan celah sekecil apa pun untuk membalikkan situasi. Bahkan, Yudha dengan berani memanggil korban sebagai saksi di persidangan, langkah yang membuat Malik tersentak. Video yang beredar pagi tadi—sebuah rekaman CCTV di lokasi kejadian—telah melemahkan banyak argumen Malik. Ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang tengah dimainkan oleh Yudha?
Dari tempat duduknya, Malik memperhatikan Yudha yang berdiri tegap, berhadapan dengan korban yang duduk di kursi saksi. Meja di antara mereka terasa seperti garis pembatas yang membatasi keduanya. Yudha tampak percaya diri, sorot matanya tajam dan penuh keyakinan.
"Apa benar yang ada dalam video itu adalah Anda?" Yudha bertanya, suaranya terdengar tegas, namun dengan nada menyelidik yang memancing perhatian seluruh ruangan.
Korban, seorang perempuan muda dengan wajah yang tampak tegang, segera menggeleng. "Tidak, itu bukan saya," elaknya cepat. Namun, nada suaranya sedikit bergetar, memberikan kesan ragu pada jawabannya. "Apa Pak Pengacara pikir saya perempuan rendahan yang akan melakukan hal semacam itu?" tambahnya, mencoba menutupi kegelisahannya dengan nada tajam.
Malik mengernyit. Sesuatu dalam nada bicara korban membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Yudha melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih tajam.
"Apakah Anda mengenali tempat dalam video tersebut?" tanya Yudha, tidak memberi ruang bagi korban untuk mengalihkan topik.
Korban terdiam sejenak, lalu menggeleng lagi. "Tidak. Saya tidak tahu tempat itu," jawabnya, meskipun ada keraguan yang terlihat di matanya.
Yudha tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Baik, jika memang Anda tidak tahu tempat itu, bagaimana Anda bisa berada di sana pada waktu video tersebut di ambil?"
Ruangan sidang hening. Semua mata tertuju pada korban, yang kini tampak semakin terpojok. Malik mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tahu, jika Yudha terus menekan seperti ini, korban akan merasa tertekan secara mental.
Korban tampak semakin gelisah, tangannya meremas tepi kursi. Wajahnya yang sebelumnya penuh percaya diri kini memucat. Malik bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ia menoleh ke hakim, yang juga tampak memperhatikan korban dengan pandangan tajam, seolah menunggu jawaban yang akan menentukan arah persidangan.
"Saya... saya tidak tahu," jawab korban akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. Ia menunduk, menghindari tatapan Yudha yang terasa menusuk.
Yudha tidak kehilangan momentum. Ia melangkah mendekat, tetapi tetap menjaga jarak formal. "Baiklah, Nona. Jika Anda tidak tahu tempat itu, bagaimana Anda menjelaskan bahwa ponsel Anda terhubung ke jaringan Wi-Fi di lokasi tersebut pada waktu kejadian?" Yudha melirik berkas di tangannya dan menambahkan, "Menurut catatan forensik digital, ponsel Anda aktif di lokasi itu selama dua jam. Bagaimana Anda menjelaskan ini?"
Korban semakin panik. "Saya... mungkin ada yang membawa ponsel saya ke sana," kilahnya, nada suaranya terdengar semakin goyah.
Malik tahu ini momen kritis. Ia segera berdiri, mencoba menginterupsi. "Yang Mulia, pertanyaan ini terlalu bersifat spekulatif. Tidak ada bukti langsung bahwa korban berada di lokasi kejadian hanya berdasarkan koneksi ponsel."
Hakim menatap Malik dengan alis terangkat, tetapi sebelum ia sempat memberikan keputusan, Yudha sudah menjawab dengan tenang, "Yang Mulia, ini bukan spekulasi. Ini fakta berdasarkan bukti forensik yang sudah diverifikasi. Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada saksi untuk menjelaskan kejanggalan ini."
Hakim mengangguk, memberi isyarat kepada Yudha untuk melanjutkan. Malik kembali duduk, tetapi perasaannya bercampur aduk. Ia tidak bisa membiarkan Yudha terus mengendalikan jalannya sidang.
Yudha kembali menatap korban. "Nona, saya paham ini mungkin sulit bagi Anda. Tapi kebenaran adalah hal yang penting dalam persidangan ini. Jadi saya akan bertanya sekali lagi—apa Anda yakin tidak pernah berada di lokasi tersebut?"
Korban menatap Yudha, matanya berkaca-kaca. Ia membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tidak ada suara yang keluar. Semua orang di ruangan itu menahan napas, menunggu jawaban yang terasa seperti akan menentukan segalanya.
Akhirnya, korban menggelengkan kepala pelan. "Saya... saya tidak tahu. Saya tidak ingat," katanya dengan suara yang hampir seperti bisikan.
Yudha menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk pelan, seolah puas dengan jawaban itu. "Baiklah. Tidak ada pertanyaan lagi, Yang Mulia."
Ia kembali ke tempatnya, meninggalkan korban yang tampak terpukul di kursi saksi. Malik mengepalkan tangannya lagi, merasa bahwa Yudha telah berhasil menanamkan keraguan yang besar di benak semua orang di ruangan itu.
Hakim mengetukkan palu, menunda sidang untuk dilanjutkan ke sesi berikutnya. Malik berdiri, menatap Yudha yang tampak tenang, seperti seseorang yang baru saja memenangkan pertempuran kecil dalam perang besar. Mereka bertukar pandangan, dan Malik tahu bahwa pertarungan mereka baru saja dimulai.
***
Di luar ruang sidang, suasana masih dipenuhi dengan wartawan yang berdesak-desakan, mencoba mendapatkan pernyataan dari Yudha. Namun, Malik berhasil menyusulnya sebelum kerumunan semakin ramai.
“Bagaimana anda melakukannya?” Malik bertanya tajam, suaranya rendah, tetapi cukup menusuk. “Video itu, apa itu rekayasa?”
Yudha menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Malik. Sorot matanya tajam, tetapi suaranya tetap tenang. “Video itu asli. Saya yang mengambilnya, diam-diam.”
Ekspresi Malik berubah. “Itu ilegal.” ujarnya, penuh penekanan.
“Saya tahu,” jawab Yudha tanpa ragu, melipat kedua tangannya di dada. “Saya hanya mencari kebenaran. Ya walaupun caranya agak sedikit… menyebalkan.”
Malik terdiam sejenak, tetapi kemudian balas menatap Yudha dengan tajam. “Tindakan yang Anda ambil itu tidak bisa dibenarkan di mata hukum. Anda mengabaikan prosedur.”
Yudha menghela napas panjang, seperti berbicara dengan seseorang yang tidak sepenuhnya mengerti. “Benar, itu melanggar aturan. Tapi jika Anda memperhatikan baik-baik video itu, bukankah sekarang Anda mulai meragukan pernyataan korban?”
Malik mengepalkan tangan. Argumen Yudha menusuk tepat ke keraguannya yang selama ini ia pendam. Namun, sebagai jaksa, ia tidak bisa menunjukkan kelemahan di depan pengacara lawannya.
“Tidak semua hal bisa Anda pecahkan dengan mengambil jalan pintas. Dunia hukum butuh bukti yang bersih dan prosedural,” kata Malik akhirnya, mencoba mempertahankan posisi profesionalnya.
Yudha tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sepenuhnya penuh kemenangan, tetapi lebih seperti simpati. “Saya setuju. Tapi nyatanya hukum negara kita tidak demikian. Karena itulah diperlukan orang seperti saya.”
“Saya tau anda kecewa, tapi begitulah faktanya.” ucap Yudha, sebelum berbalik arah meninggalkan lawan bicaranya.
Malik terdiam, memandang punggung Yudha yang perlahan menghilang di antara kerumunan. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ingin dia akui. “Orang sepertiku,” Yudha menyebut dirinya begitu, dengan nada percaya diri yang tidak bisa disangkal, seolah-olah dunia hukum memang membutuhkan manipulasi dan kecerdikan untuk mencapai apa yang disebut "keadilan.”
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak