Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Mobil hitam Renzo berhenti di depan rumah Luna, ia turun dari mobilnya mengenakan kemeja putih yang terbuka satu kancingnya. Berdiri tepat di samping pintu mobil sisi kiri.
Sebelum Renzo melangkahkan kakinya ke depan pintu masuk Luna lebih dulu keluar.
"Hai, good morning." sapa Luna dengan senyum di wajahnya, membawa laptop dan tas tentengnya.
Renzo tersenyum. "Aroma Floral aldehyde selalu tercium dari kejauhan. Manis dan segar, cocok denganmu!"
Luna merasa tersanjung dengan ucapan Renzo, bibirnya tak kuasa menahan senyum, pipinya memerah lebih dari riasan yang dia gunakan.
"Silahkan, Tuan Putri." Renzo membukakan pintu mobil untuk Luna.
Dari depan pintu Raihan melambaikan tangan sebelum mobil itu berbalik keluar dari rumah Luna.
Alunan lagu kesukaan Luna sudah menyala ketika di jalan, melewati macetnya jalanan tidak membuat keduanya merasakan jenuh.
"Kamu tahu aku suka lagu-lagu ini?" tanya Luna menoleh ke arah Renzo yang fokus menyetir.
Tangan Luna di raih oleh Renzo, jari-jari Renzo membelai lembut punggung tangan Luna. Menambah suasana romantis pagi itu.
.
Mobil berhenti di depan kantor tempat Luna bekerja, setelah melepas sabuk pengamannya Luna memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri Renzo.
Keluar dari mobil dengan perasaan senang dan jantung yang berdegup cepat.
"Luna?" suara seorang wanita terdengar lembut namun penuh percaya diri memanggil namanya.
Luna tersenyum dan membalikkan badannya. Di belakangnya berdiri seorang wanita dengan blazer berwarna beige dan rambut panjang yang ditata rapi. Wajahnya dihiasi senyum ramah, sekilas dari penampilan dia mirip dengan Luna.
"Apa ini Mbak Vivi?" Luna langsung mengenali wanita itu. Mereka berjabat tangan dengan hangat.
"Akhirnya kita bertemu langsung! Ya benar aku Vivi, yang akan bekerja sama dengan perusahaanmu. Senang bertemu denganmu!" ucap Vivi dengan penuh semangat.
"Aku juga senang. Aku sudah membaca profil bisnismu dan sangat tertarik dengan konsepnya." Luna menjawab antusias.
Dari dalam mobil, Renzo masih menatap keduanya. Sorot matanya tajam, mengamati Vivi dengan penuh selidik. Bahkan ketika Luna memberikan isyarat halus dengan matanya agar Renzo pergi, pria itu tetap tak bergeming.
Vivi sempat melirik ke arah mobil hitam itu, seolah menyadari ada seseorang yang mengamatinya. Namun, dia tidak terlalu mempermasalahkan. Setelah beberapa percakapan singkat, Luna dan Vivi berjalan beriringan memasuki gedung untuk memulai meeting mereka.
.
Meeting berlangsung lancar, Luna mempresentasikan sistem yang akan mereka jual dengan baik. Vivi juga menambahkan ide-idenya dengan percaya diri, sementara Luna dan Bimo fokus mendengarkan.
Vivi adalah seorang pebisnis yang bergerak di industri kuliner dan pakaian, untuk bisnis kulinernya makanan Indonesia dengan konsep modern. Tak hanya sekadar bisnis, Vivi memiliki visi besar untuk memperkenalkan kekayaan kuliner Nusantara ke kancah internasional.
Setelah sesi tanya jawab yang cukup panjang, Vivi tiba-tiba mengajukan sebuah tawaran.
"Bagaimana kalau kita lanjut ngobrol sambil makan siang? Aku ingin mengajak kalian ke restoranku," ucap Vivi dengan senyum hangat.
Luna melirik Bimo yang hanya mengangguk setuju. "Kenapa tidak? Aku ingin melihat langsung tempat yang kamu bangun dengan konsep unik itu."
Vivi tersenyum. "Bagus! Aku yakin kalian akan menyukainya, setelah aku coba sistem kalian di butikku. Selanjutnya aku akan gunakan di restoranku."
Luna dan Bimo mengangguk setuju dengan semangat. Sekaligus mereka mendapat klient yang meningkatkan penjualan mereka.
.
.
Nusa Rasa Resto Dining
Restoran itu mengusung nuansa modern dengan sentuhan tradisional. Ornamen kayu berukir menghiasi dinding, sementara lampu gantung berbentuk anyaman rotan menciptakan suasana hangat. Aroma rempah yang khas langsung menyambut mereka begitu memasuki ruangan.
"Wah ini keren banget, Vi. Konsep dan namanya unik." ucap Bimo saat turund dari mobil.
"Ya, agar lebih mudah di ingat. Nusa aku ambil dari Nusantara dan Rasa ya untuk menonjolkan kekayaan kuliner Indonesia." jawabnya dengan lembut dan penuh percaya diri.
Luna pun tersipu sama dengan Bimo, dia berdiri di samping Bimo dan berusaha menjaganya karena kondisi Bimo masih belum stabil karena gipsnya.
Mereka pun duduk di meja yang telah disiapkan. Makanan mulai disajikan satu per satu. Ada nasi uduk dengan ayam goreng rempah, sate lilit khas Bali, hingga es cendol dengan tampilan yang lebih modern.
"Aku sangat menyukai konsep ini. Rasanya seperti makan di restoran fine dining, tapi dengan menu makanan Indonesia yang autentik. Dan makanan ini sungguh luar biasa, Mbak Vivi." kata Luna sambil mencicipi sate lilit.
"Itu memang tujuanku. Aku ingin agar makanan kita bisa dihargai lebih tinggi, bahkan hingga ke luar negeri," tambah Vivi.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Luna merasa cocok dengan Vivi, seolah mereka sudah berteman lama. Bahkan Bimo, yang biasanya lebih berhati-hati dalam menilai seseorang, tidak merasa ada yang mencurigakan dari Vivi.
"Jadi apakah Mbak Vivi ini sudah mengenal Bimo sejak lama?" tanya Luna basa-basi, obrolan mereka sudah di luar pekerjaan.
"Tidak, awalnya aku menghadiri acara yang mana ada Patricia di sana sebagai tamu undangan. Nah, kita banyak berbincang yang akhirnya aku di hubungkan dengan Bimo." terangnya sambil meminum es dengan sangat anggun.
Luna mengangguk bentuk respon dari pertanyaannya yang sudah di jawab.
.
Hampir dua jam lamanya mereka sudah mengobrolkan banyak hal, Bimo dan Luna akan berpamitan untuk kembali ke kantor.
"Vi, terima kasih untuk makanannya. Kami merasa sangat di hargai dengan di sajikan makanan-makanan yang lezat. Semoga kerja sama kita akan lancar." ucap Bimo sebagai penutupan pertemuan mereka hari itu.
Vivi tersenyum mengangguk. "Tapi Luna, aku masih ingin ngobrol lebih lama denganmu," ucap Vivi dengan ekspresi serius yang tak biasa.
Luna mengerutkan kening. "Ada apa, Mbak Vivi. Ada perlu aku bantu lagi?"
Vivi tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang aneh dalam tatapan matanya. "Aku hanya merasa nyaman ngobrol sama kamu. Seperti... aku menemukan seseorang yang sudah lama hilang. Lagipula aku di sini belum ada teman."
Di saat yang sama, ponsel Luna yang masih dalam genggamannya kembali bergetar. Nama Renzo muncul di layar.
"Baiklah, Mbak Vivi. Cuma mohon maaf sekali tanpa mengurasi rasa hormatku, nanti sore aku sudah ada janji jadi mungkin aku tidak bisa terlalu lama." ucap Luna menjelaskan situasinya.
Dengan perasaan canggung Luna tetap bertahan di sana, sedangkan Bimo sudah berjalan keluar dari restoran tersbut di antar oleh supir kantor.
Hanya ada Luna dan Vivi di restoran mewah itu, pelanggan lain tidak seramai saat jam makan siang.
"Luna, jadilah teman baikku. Aku kesepian di sini,"
"Apa Mbak Vivi tidak punya saudara di sini?" tanya Luna.
Vivi mengerutkan alisnya. "Ada, orang tuaku juga ada, tapi mereka tidak peduli denganku."
Luna mulai merasa ada yang aneh pada Vivi, kedekatan yang di paksakan.