Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kedatangan orang tua Arman
BAB 16
Matahari sore mulai condong ke barat, memberikan semburat jingga di langit cerah. Di dapur rumah sederhana nan asri, Sasa sibuk memeriksa brownies yang sedang dipanggang di oven. Aroma manis cokelat memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan damai. Sesekali, tangannya yang halus mengelus perutnya yang masih rata sambil berbicara lembut.
"Jadi anak yang soleh dan solehah, ya. Ayah sama bunda selalu menunggu kamu," gumamnya dengan senyum manis, seolah berkomunikasi dengan kehidupan kecil yang mungkin mulai hadir di rahimnya.
Tiba-tiba, suara bel berbunyi dari arah depan rumah. Sasa terkejut kecil. Ia buru-buru mencuci tangan di wastafel sambil bergumam, "Siapa, ya? Apa Mas Arman udah pulang?"
Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju pintu depan. Setelah menjawab salam yang terdengar dari luar, ia membuka pintu. Di depan sana berdiri Ayah dan Ibu Arman, Sofyan dan Rahayu, dengan senyum hangat.
"Astaghfirullah! Ayah, Ibu! Kok nggak ngabarin kalau mau datang?" seru Sasa dengan nada ceria.
Mata Rahayu berbinar, memeluk menantunya dengan erat. "Ibu juga kangen banget sama menantu kesayangan Ibu," ujarnya lembut.
"Maaf, ya, Bu, Pak. Sasa belum sempat ke rumah. Padahal rencananya mau ngajak Mas Arman ke sana akhir pekan ini," kata Sasa sambil menyambut tangan Sofyan dengan takzim.
Sofyan tertawa kecil. "Ah, nggak apa-apa, Nak. Kami lagi pengen ketemu kalian. Lagipula, ini Ibu kamu yang tiba-tiba ngajak ke sini."
Mereka semua tertawa kecil. Sasa mempersilakan kedua mertuanya masuk ke dalam rumah. Setelah membantu mereka duduk di ruang keluarga, Sasa buru-buru ke dapur untuk menyiapkan minuman dan membawa brownies panggang yang baru selesai.
Saat kembali ke ruang tamu, ia menyajikan teh hangat dan piring berisi brownies. Duduk di kursi tunggal di depan mertuanya, ia bertanya, "Ibu, Bapak, sehat, kan?"
"Alhamdulillah sehat, Nak," jawab Sofyan dengan senyum bijak.
Mereka berbincang santai. Rahayu seringkali memberikan pujian kepada Sasa, sementara Sofyan menimpali dengan guyonan ringan yang membuat suasana semakin akrab. Tiba-tiba, suara mobil terdengar memasuki halaman.
"Itu Mas Arman udah pulang, Bu," kata Sasa. Ia segera berdiri, pamit untuk menyambut suaminya.
Ketika Arman turun dari mobil, tubuhnya yang masih mengenakan kemeja biru terlihat sedikit lelah, tapi senyumnya tetap terpancar saat melihat Sasa yang menyambutnya di teras.
"Assalamualaikum, Sayang," sapa Arman lembut, sambil mencubit hidung istrinya pelan.
"Waalaikumsalam, Mas," balas Sasa sambil mencium tangan suaminya.
"Kok istriku kelihatan bahagia banget sore ini? Ada apa, sih?" tanya Arman sambil mengerutkan dahinya, penasaran.
Sasa tersenyum penuh misteri. "Tamu spesial, Mas. Ayo masuk, lihat sendiri."
Arman mengikuti langkah istrinya ke dalam rumah. Begitu melihat kedua orang tuanya duduk di ruang keluarga, wajah Arman langsung berseri-seri.
"Ibu! Ayah!" serunya sambil menghampiri mereka.
Ia mencium tangan kedua orang tuanya dengan penuh hormat sebelum duduk di samping mereka. "Kok nggak bilang mau ke sini?" tanya Arman.
"Namanya juga kejutan," jawab Rahayu sambil tersenyum. "Kami juga kangen sama kalian."
Setelah itu, mereka melanjutkan obrolan sambil menikmati brownies panggang buatan Sasa. Setelah menemani ayah dan ibunya mengobrol selama 15 menit Arman pun pamit untuk membersihkan diri dan bersiap untuk melaksanakan solat Maghrib. Setelah melaksanakan sholat Maghrib mereka pun berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama,di sela sela menyantap makanan Arman berkata "sebentar lagi ibu dan ayah nambah cucu lagi nih",sontak ayah dan ibu Arman menatap Arman dengan wajah penasaran " iya Bu ayah sekarang sasa lagi hamil 5 Minggu dan hamil nya kembar lagi" sambung Arman sambil mengelus tangan Sasa dengan lembut dan menatap nya sambil tersenyum hangat.Alhamdulillah ucap ayah ibu Arman secara bersamaan.sebelum ayah dan ibu Arman pulang beliau menasehati anak nya "jaga baik baik istri kamu yah Arman,jangan biarkan Sasa kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah dan jangan pernah kamu menyakiti hati istri kamu karena itu sama saja kamu menyakiti hati ibu.Arman pun tertegun mendengar kalimat ibu yang terakhir karena ia mengingat kesalahan nya Caca "Sofyan pun menepuk bahu Arman sambil berkata"jangan biarkan istri kamu menghadapi kehamilan nya sendirian jadi lah suami yang siaga untuk istri kamu nak...Sasa pun memeluk ibu mertua nya dengan hangat lalu berkata "ibu dan ayah kenapa GK bermalam aja sih"nanti deh ayah dan ibu akan menginap kalau acara syukuran 4 bulan kehamilan kamu jawab ibu Rahayu.setelah taksi online yang di tumpangi orang tua Arman telah hilang dari pandangan Arman dan Sasa pun bergegas masuk kedalam rumah dan bersantai di ruang keluarga.
Selepas maghrib, Sasa dan Arman duduk berdua di ruang keluarga. Sasa tengah melipat baju sambil sesekali menatap suaminya yang tampak diam. Arman, biasanya ceria, terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Mas, kelihatan capek banget. Ada masalah di kantor?" tanya Sasa pelan, mendekati suaminya.
Arman menghela napas panjang. "Biasa, Sayang. Ada tekanan kerja sedikit."
Meskipun jawabannya terdengar biasa saja, Sasa tahu ada yang tidak beres. Tatapan Arman terlihat kosong, seolah menyembunyikan sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa suaminya berbicara.
Malam itu, Sasa teringat obrolannya dengan Ibu Rahayu.
"Kak Wahyu masih di Sumatra, ya, Bu?" tanyanya.
"Iya, Nak. Kakakmu itu tugasnya berat. Belum tahu kapan dia bisa pulang," jawab Rahayu.
Sasa merasa bahwa mungkin tekanan yang dirasakan Arman ada hubungannya dengan tanggung jawabnya di keluarga. Sebagai anak kedua, Arman sering menjadi penopang keluarga, terutama ketika kakaknya bertugas jauh.
Hari yang Berat untuk Arman
Keesokan harinya, Arman berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Di kantor, ia menghadiri rapat penting terkait proyek besar di Kalimantan. Salah satu koleganya, Pak Darmawan, mengajukan pertanyaan yang langsung membuat Arman gugup.
"Arman, bagaimana kabar proyek di Kalimantan? Saya dengar ada kendala besar. Apa benar?"
Arman mencoba tetap tenang. "Sedang kami upayakan solusinya, Pak."
Namun, di balik ketenangannya, ia merasa sangat tertekan. Proyek itu adalah tanggung jawabnya, dan kegagalan bukanlah pilihan.
Selepas rapat, Arman duduk di ruangannya sambil memandangi layar ponsel. Ia ingin menelepon Sasa, tapi ia ragu.
Pesan dari istrinya tiba-tiba masuk:
"Mas, jangan lupa makan siang, ya. Aku masak sup ayam buat malam nanti. Semangat kerja!"
Arman tersenyum tipis. Pesan sederhana itu memberikan sedikit kelegaan di tengah beban yang ia rasakan.
Namun, konflik semakin rumit ketika di malam harinya, Arman menerima telepon dari kakaknya, Wahyu.
"Man, aku dengar proyekmu di Kalimantan ada masalah," kata Wahyu.
"Iya, Kak. Tapi aku sedang berusaha menyelesaikannya," jawab Arman.
"Pastikan kamu nggak mengecewakan Ayah. Kamu tahu betapa tingginya ekspektasi beliau, kan?" suara Wahyu terdengar tegas.
Telepon itu semakin membebani pikiran Arman. Ia merasa harus membuktikan dirinya kepada keluarganya, terutama kepada Ayahnya yang seorang pensiunan jenderal.
Malam itu, Sasa menemani Arman di ruang keluarga. Ia mencoba menciptakan suasana nyaman agar suaminya mau bercerita.
"Mas, apapun yang Mas rasakan, aku selalu ada buat Mas," katanya lembut.
Arman menatap mata istrinya, merasa sedikit lega. Namun, beban di hatinya masih terlalu berat untuk ia ceritakan.