Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28 Memanas-manasi
Pagi ini, Argha dan Inara sedang berolahraga bersama di luar. Tepatnya Argha memaksa Inara untuk olah raga lari, untuk menjaga kebugaran.
Mereka beristirahat di gazebo, dekat kolam renang. Argha tampak sibuk mengingat tali sepatunya. Saat ia hendak pergi, tak sengaja ekor matanya menangkap keberadaan Artha yang berdiri di jendela kamar, sambil memperhatikannya.
‘Ini kesempatan,’ batin Argha menyeringai.
“Sayang, ada daunnya.” Sengaja sekali Argha mengusap kepala Inara. Tak lupa, ia menyeka keringat di pelipis istrinya itu menggunakan telapak tangannya sendiri.
“Mas, nanti kalau ada yang lihat, aku malu,” keluh Inara yang tidak percaya diri.
“Hey, saya ini suami kamu, Inara. Mau peluk, cium atau apapun kan gak masalah.” Argha merasa puas. Ekor matanya melihat Artha yang kesal setengah mati.
Inara menyenderkan kepalanya pada bahu Argha. “Mas, jangan pakai saya, ah. Kaya formal banget.”
“Ya udah, aku.” Argha meralat. Ia mengusap lengan atas Inara, lantas mencium kening istrinya itu. Kemudian, mengecup singkat bibir Inara.
“Em, Inara. Besok kita pergi kencan, yuk!”
“Besok?”
Argha menganggukkan kepalanya. “Itung-itung, kita bisa semakin dekat.”
Inara melebarkan senyumannya. “Oke. Besok kita akan kencan.”
Argha sangat puas, Artha benar-benar terbakar. Ia akan melakukan hal yang lebih berani lagi. “Kita harus mandi. Mau dimandiin apa gimana, ini?”
“Mas!” tegur Inara malu bukan main. Ia sampai celingukan, takut jika orang lain akan mendengarnya, tak lupa tangannya juga mencubit perut suaminya itu.
Argha tertawa renyah. Ia puas sekali menggoda istrinya itu. Tak tunggu lama, ia langsung membopong Inara ala bridal style, lalu dibawanya masuk ke dalam rumah.
Melihat pemandangan itu, tangan Artha mengepal. Napasnya memburu melihat pemandangan itu. Artha terbakar cemburu.
“Mas! Turunin!”
Artha sedang kelabakan, ia tak mau melihat kebersamaan Inara dengan Argha. Ia yang justru ingin menggantinya.
.
***
Sarapan itu berlangsung cukup tenang. Untuk kali pertamanya setelah beberapa bulan. Pada akhirnya mereka bisa melakukan makan malam berkeluarga lagi.
Meski Argha selalu sama, tak menunjukkan sedikit perhatiannya pda Della.
“Argha, mama sendiri yang masak ini. Khusus untuk kamu. Kamu suka, kan cumi saus padang?” Dengan hati-hati Della memasukkan cumi saus padang ke dalam piring Argha.
Argha tak bisa menegur wanita itu. Ia hanya diam, meski tak bereaksi apapun. Ia tak ingin terlalu menunjukkan sikap tidak baiknya pada Della di depan Inara.
Meski begitu, Inara tetap tahu, jika Argha sama sekali tak menyukai Della.
“Makasih,” ucap Argha datar.
“Ini untuk kamu, Artha.” Della hendak menyendok cumi saus padang, namun Artha menahan dengan telapak tangannya.
“Artha tak menyukai itu, Ma. Mama lupa?” Artha mencoba menahan diri untuk tidak meledak. Ia merasa muak, semua orang memperhatikan Argha.
Inara diam, suasana sedikit canggung. Ia tahu, jika Artha lebih menyukai udang ketimbang cumi.
Mantan kekasih Inara itu lantas mengambil udang mentega sendiri.
“Padahal enak loh, Tha. Kamu harus coba,” sahut Alan yang begitu lahap memakan makanannya.
“Bagi Papa enak, bagiku tidak! Aku tidak akan seperti dia, yang sok-sokan menyukai hal yang sama.” Artha memakan makanannya dengan sedikit kesal.
Mendengar itu, Argha melirik Artha dengan sinis. “Apa maksudmu?”
Inara menggenggam tangan Argha, mencoba untuk meredam emosi suaminya yang tersinggung itu. Memberikannya anggukan kecil. Mengingat mereka ada di meja makan, dan pantang ribut di meja makan. Ini adalah nasihat dari papanya.
Artha tersenyum pongah, ia mengunyah makanannya, lalu membalas tatapan tajam Argha. “Gak perlu diperjelas, kan?”
“Artha, sudah. Makan yang benar,” tegur Della.
Artha merasa muak. Di rumah, ia selalu diperlakukan seperti anak tiri. Itu sebabnya ia menjadi nakal. Selera makannya kini hancur berantakan. Ia memilih untuk pergi.
“Mau ke mana kamu?” tanya Alan mengangkat wajahnya.
“Mendadak Artha kenyang, Pa. Artha mau pergi dulu.” Sedikit kesal, Artha bangkit dari tempat duduknya membuat kursi yang ia duduki bergeser dan menimbulkan bunyi decitan yang cukup keras.
“Artha! Papa sudah bilang, jangan pernah buat pergi ke club lagi. Artha!” teriak Alan yang tak dihiraukan oleh putra bungsunya itu. “Huh! Anak itu selalu saja.”
Della menghela napas, ia menatap putranya tak percaya. Bagi seorang ibu, ia merasa gagal mendidik putranya. Wanita yang masih cantik di usianya itu menundukkan kepala.
“Sudah, Ma. Jangan pikirkan lagi,” hibur Alan.
Della menggeleng lemah, air matanya hampir saja tumpah.
Melihat kesedihan Della, jujur Inara merasa bersalah. Karenanya, keributan ini terjadi. Tak seharusnya ia merusak kebahagiaan keluarga ini. Hanya saja, sikap Artha memang sangat keterlaluan. Ia paham bagaimana perasaan Della.
“Ma,” panggil Inara lirih, dan hal itu berhasill membuat Della mengangkat wajahnya, wanita setengah baya itu tersenyum tipis. “Mafkan Inara.”
“Kenapa kamu meminta maaf?” tanya Della berusaha untuk tidak menangis. Ia tersenyum lembut.
Argha sendiri sampai menatap Inara, tak percaya.
“Mas Artha seperti itu, mungkin karena adanya aku di sini. Aku minta maaf,” cicit Inara seraya meremas ujung roknya.
“Inara, jangan berpikir seperti itu. Sejak dulu Artha memang seperti itu. Dia bandel,” sahut Alan mencoba untuk menghibur Inara.
Sebagai seorang ibu, hati Della tersayat mendengarnya. Namun itu adalah kenyataan. Artha memang sulit untuk diatur.
“Inara. Sudah, itu bukan salah kamu, kok. Lanjutin aja, ya, makannya,” ucap Della pada akhirnya.
Argha melanjutkan makannya. Diam-diam, bibirnya menyeringai. Ia senang telah membuat anak dan ibu itu terluka sekarang. Meski begitu, Argha masih belum puas. Ia merasa, hal itu belum sepadan dengan apa yang ia rasakan selama ini.
Inara berusaha untuk membereskan piring-piring kotor untuk ia bawa ke wastafel. Della sempat melarangnya, hanya saja bukan Inara kalau tidak bebal. Wanita itu bersikeras untuk mencucinya.
“Badan Nara sakit semua, Ma kalau enggak ngelakuin sesuatu. Biar ini sebagai ajang olahraga. Hehehe.” Inara membawa ke belakang piring kotornya.
“Anak ini susah sekali dinasehati.” Della sampai geleng-geleng kepala. “Pa, ternyata kita salah menilai Inara.”
Alan mengangguk. “Dia itu polos, Ma. Aku pikir, dia akan seperti Meta. Mantan pacar Artha yang mata duitan itu.”
“Sepertinya dia gadis baik-baik, Pa. Buktinya, dia langsung mutusin Artha saat tahu Artha selingkuh.”
Argha yang sejak tadi mencuri dengar, ia langsung tersenyum miring. Ia masih memiliki rencana lain untuk membuat Artha menyesal seumur hidup karena telah melepaskan Inara. Ia berjanji itu.
“Argha, apa kamu bisa temani papa besok ke tempat Om Henry buat main golf?” pinta Alan.
“Besok ya?” Argha berjanji akan mengajak jalan Inara. Hanya saja, ia juga butuh kontrak kerja sama dengan pria itu. “Baiklah.”
Inara yang mendengar itu, ia tersenyum getir. Ia pikir, Argha akan memilih kencan dengannya.
‘Mungkin, aku tidak sepenting itu. Jangan berharap lebih, Nara.’