NovelToon NovelToon
Cintamu Membalut Lukaku

Cintamu Membalut Lukaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: achamout

Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.

Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.

Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 Alvano yang selalu ada

Alvano terus menyusuri jalan, matanya lincah menyapu setiap sudut yang terlihat melalui kaca depan mobilnya. Hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tidak membuatnya menyerah. Ia menghidupkan wiper, memastikan pandangannya tetap jelas meskipun hujan semakin deras.

Rasa cemas menggerogoti pikirannya. "Aqila.. kamu di mana? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang seperti ini? gumamnya, suaranya dipenuhi kecemasan.

Saat melintasi sebuah jalan kecil yang basah, matanya menangkap sesuatu. Seorang gadis berdiri di tengah hujan, meringkuk di bawah rintikan yang kian deras. Baju yang dikenakan gadis itu tampak familiar. Alvano mengerutkan kening, memicingkan matanya untuk memastikan.

"Itu.. Aqila?" ujarnya pelan namun penuh keterkejutan.

Tanpa pikir panjang, Alvano segera membelokkan mobilnya ke tepi jalan dan mematikan mesin. Ia segera keluar dari mobil tanpa memedulikan hujan yang langsung membasahi tubuhnya. Dengan langkah cepat, ia berlari menghampiri gadis itu.

"Aqila!" panggilnya dengan nada tinggi, mencoba mengalahkan derasnya hujan.

Gadis itu menoleh perlahan. Mata sembabnya langsung bertemu dengan tatapan penuh kepanikan dari Alvano.

"M.. Mas Vano?" suaranya serak, hampir tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan tubuhnya lemah berdiri di bawah guyuran hujan.

Alvano segera mendekat, kedua tangannya memegang bahu Aqila dengan erat. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya yang terlihat begitu rapuh.

"Aqila, kamu ngapain di sini? Kenapa hujan-hujanan begini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.

"A.. aku..." Aqila mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat oleh tangis yang ia tahan sejak tadi. Air mata yang bercampur dengan hujan terus mengalir di wajahnya.

 Melihat wajah Aqila yang sembab dan tubuhnya yang gemetar, Alvano merasa hatinya hancur. Ia menatap Aqila dengan penuh sayang dan lembut bertanya lagi, "Aqila, katakan ada apa? Kenapa kamu menangis? Apa ada yang menyakiti kamu?"

Namun, bukannya menjawab, Aqila justru memeluk tubuh Alvano erat-erat. Tangisnya pecah di bahu suaminya, begitu pilu hingga Alvano sendiri merasa dadanya sesak mendengarnya. Alvano tertegun sejenak, tapi kemudian dengan cepat membalas pelukan itu. Tangannya mengusap punggung Aqila, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat begitu hancur.

Di sela-sela tangisnya, Aqila akhirnya berkata dengan suara yang bergetar, "Mas Vano... apa aku nggak boleh bahagia?"

Pertanyaan itu menghentak hati Alvano. Ia perlahan melepaskan pelukan mereka, meski tangannya masih memegang bahu Aqila. Dengan lembut, ia mengangkat dagu istrinya agar mata mereka bertemu.

"Aqila, kenapa kamu ngomong begitu?" tanyanya pelan. "Kamu pantas bahagia, sayang... sangat pantas. Jangan pernah berpikir kalau kamu nggak berhak mendapatkan itu."

"Tapi kenapa... kenapa semua orang seolah nggak mau aku bahagia? Kenapa semua orang membenci aku?" isaknya, suaranya terdengar begitu pilu.

Alvano menggeleng, menatap Aqila dengan penuh kasih. "Aqila, dengar Mas. Orang-orang yang bikin kamu merasa seperti itu, mereka nggak kenal siapa kamu sebenarnya. Mereka nggak tahu betapa berharganya kamu. Mereka hanya iri, Qila. Tapi kamu harus tahu satu hal, ada Mas di sini. Mas ingin kamu bahagia. Mas ingin lihat senyum kamu, bukan air mata kamu."

Aqila tetap menunduk, tapi Alvano kembali berbicara, lebih lembut namun penuh ketegasan. "Kalau dunia ini terlalu berat buat kamu tanggung sendirian, kamu bilang ke Mas. Mas nggak akan biarkan kamu hadapi semuanya sendiri. Mas selalu ada buat kamu, Qila."

Air mata Aqila terus mengalir, tapi kini bercampur dengan rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Di tengah kehancurannya, Alvano selalu ada, membuatnya merasa tidak sendirian.

Alvano menyeka air mata di pipi Aqila, lalu berkata pelan, "Sekarang kita pulang, ya? Mas nggak mau kamu sakit gara-gara hujan-hujanan begini."

Aqila mengangguk perlahan, masih terisak. Meski hatinya masih berat, kata-kata Alvano seolah memberinya kekuatan baru. Dengan perlahan, Alvano menggenggam tangannya dan membimbing Aqila menuju mobil.

🌸🌸🌸🌸🌸

Setibanya di kamar, Alvano segera mengambil handuk lalu mendekati Aqila yang masih berdiri dengan pakaian basah kuyup. Ia menyentuh lembut bahu istrinya sambil menyerahkan handuk.

"Qila, sekarang kamu ganti baju, ya. Nanti kamu sakit kalau terus pakai baju basah begini," ucap Alvano penuh perhatian.

Aqila hanya mengangguk pelan. Ia menerima handuk dari tangan Alvano, lalu berjalan ke lemari pakaian untuk mengambil baju ganti sebelum masuk ke kamar mandi.

Sementara itu, Alvano juga segera mengganti bajunya yang basah kuyup. Setelah selesai, ia melirik ke arah kamar mandi, tetapi Aqila belum keluar. Ia menduga Aqila mungkin sekalian mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Sambil menunggu, Alvano memutuskan turun ke dapur untuk membuatkan teh hangat.

Beberapa menit kemudian, dengan secangkir teh hangat di tangannya, Alvano kembali ke kamar. Di sana, ia melihat Aqila sudah keluar dari kamar mandi. Gadis itu duduk di tepi kasur, rambutnya basah tergerai, tatapannya kosong. Alvano merasa hatinya kembali teriris melihat istrinya dalam keadaan seperti ini. Dengan perlahan, ia mendekat dan duduk di samping Aqila.

"Qila," panggilnya lembut.

Namun, Aqila tidak menoleh. Dia hanya diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Kamu minum teh hangat ini dulu, ya. Biar tubuh kamu lebih hangat," ucap Alvano sambil menyodorkan teh hangat. Namun, Aqila tetap tak bereaksi.

Melihat itu, Alvano semakin khawatir. Ia menyentuh tangan Aqila dengan lembut, mencoba mencari perhatian istrinya.

"Qila, ada apa? Cerita sama mas, ya. Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri," ujar Alvano, Mas akan selalu ada buat kamu."

Perlahan, Aqila menoleh, menatap Alvano dengan mata berkaca-kaca. Namun, ia hanya menggeleng pelan. "Aku nggak papa, Mas," ucapnya dengan suara hampir tak terdengar.

Alvano menatapnya dengan sabar. "Kalau kamu belum siap cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi, nanti kalau kamu sudah merasa lebih baik, ceritakan ke mas, ya. Mas selalu siap mendengarkan."

Aqila mencoba tersenyum, meski senyumnya tampak berat.

"Ini tehnya. Minum dulu, ya," ujar Alvano sambil menyodorkan teh sekali lagi. Kali ini Aqila menerimanya, lalu menyeruput sedikit.

Melihat Aqila mulai tenang, Alvano mencoba mengalihkan suasana. "Oh iya, Qila, gimana tadi di kampus? Kamu paham materi yang diberikan dosen?"

Aqila mengangguk. "Aku paham, Mas. Dosen-dosennya baik, cara ngajarnya juga bikin aku mudah ngerti."

"Bagus kalau begitu. Tapi kalau nanti ada materi yang kamu nggak paham, langsung tanya ke mas, ya. Nanti mas ajarin sampai kamu bisa," ujar Alvano, tersenyum hangat.

"Iya, Mas," jawab Aqila, kali ini dengan sedikit semangat.

Setelah hening beberapa saat, Aqila tiba-tiba bertanya, "Mas, aku boleh nanya sesuatu?"

"Tentu, apa itu?"

"Mas ada jadwal ngajar di kelas aku juga?" tanyanya ragu.

Alvano mengangguk. "Iya, memangnya kenapa?"

"Teman-teman aku bilang, Mas biasanya nggak pernah ngajar di kelas kami. Katanya Mas cuma ngajar di tingkat atas. Kok tiba-tiba Mas ngajar di kelas aku?"

Alvano tersenyum tipis. "Karena ada kamu di sana."

Aqila menatap suaminya dengan heran. "Karena aku?"

"Iya, Mas juga pengen ngajar istri Mas sendiri. Mas juga pengen lihat perkembangan kamu di kelas secara langsung. Dan, siapa tahu, kamu jadi makin semangat belajar, kalau yang ngajar kamu dosen ganteng kayak suami kamu ini," ujarnya, sengaja menggoda.

Aqila tersenyum malu, pipinya memerah. "Mas ini ada-ada aja."

Alvano yang melihat tawa kembali muncul di wajah istrinya, membuat hatinya terasa hangat.

"Kenapa? Kan bener," ujar Alvano sambil terkekeh.

"Tapi Mas, aku rasa bukan cuma aku yang semangat kalau Mas yang ngajar di kelas. Mahasiswi lain pasti lebih semangat lagi. Kayaknya mereka malah bakal gagal fokus," ucap Aqila, mencoba bercanda.

"Termasuk kamu, kan?" goda Alvano.

"Enggak. Aku kan udah biasa lihat Mas setiap hari. Dari bangun tidur aja aku udah puas lihat wajah Mas," jawab Aqila tanpa sadar, lalu terdiam saat menyadari ucapannya.

Alvano tertawa pelan. "Jadi kamu sering perhatiin Mas waktu bangun tidur?"

"M-maksud aku bukan gitu...," jawab Aqila gugup, wajahnya semakin memerah.

Alvano terkekeh, lalu mengacak pelan rambut istrinya. "Qila-Qila... Kalau kamu salting begini, jadi makin gemesin, tahu nggak?"

Aqila hanya bisa menunduk malu-malu.

"Yaudah, sekarang rambut kamu dikeringin dulu, ya. Biar Mas bantu sisir. Rambut basah kayak gini pasti bikin kamu nggak nyaman,"

ucap Alvano sambil mengambil handuk.

Ia mulai mengeringkan rambut Aqila dengan lembut. Sesekali ia melempar candaan, membuat Aqila tertawa kecil. Alvano tersenyum lega. Setidaknya, ia berhasil mengembalikan keceriaan di wajah istrinya, meski hanya sedikit.

🌸🌸🌸🌸🌸

Areta membuka pintu rumah dengan kasar, nyaris merusak engselnya. Ia melangkah masuk dengan wajah masam, lalu melemparkan tasnya ke sofa dengan tenaga penuh. Tas itu hampir mengenai Miranda yang tengah asyik menonton televisi.

"Areta!" Miranda berseru tajam, nyaris melompat dari duduknya. "Apa-apaan sih kamu ini? Nggak bisa taruh tas baik-baik?"

Namun, Areta tak menggubrisnya. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, lalu duduk di sebelah ibunya dengan wajah penuh emosi.

"Kamu kenapa sih? Pulang kuliah malah marah-marah begitu," tanya Miranda dengan nada kesal.

Areta mendesah keras, lalu bersandar manja ke lengan ibunya. "Mama..." keluhnya.

Miranda menoleh, menatap putrinya yang terlihat benar-benar kesal. "Iya, kamu kenapa?"

"Mama tahu nggak, hari ini hari yang paling sial dan buruk buat aku!" serunya frustrasi.

Miranda mengerutkan kening. "Kenapa? Ada yang berani cari masalah sama kamu?"

Areta menggigit bibirnya, lalu menatap Miranda dengan mata membara.

"Mama tahu nggak siapa yang aku temuin di kampus tadi?"

Miranda menatap putrinya, menunggu jawaban.

"Aqila, Ma!" suaranya bergetar penuh emosi. "Mama kebayang nggak? Aqila yang dulu kita usir, sekarang kuliah di kampus mahal dan ternama kayak aku!"

Mata Miranda membesar. "Apa? Aqila?" ulangnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

"Iya, Ma! Dia yang dulu kita usir kayak sampah, sekarang bisa kuliah di kampus mahal! Aku nggak bisa terima!" Areta mengepalkan tangannya, bibirnya bergetar karena emosi.

Miranda mencondongkan tubuhnya, wajahnya kini tegang. "Bagaimana bisa? Dari mana dia dapat uang buat kuliah? Bukannya dia gadis gelandangan di jalanan?"

"Itu dia, Ma!" Areta semakin kesal. "Tadi aku sempat marah-marah dan bilang dia pasti dapat uang dengan cara kotor! Aku bilang dia pasti jual diri buat dapetin uang sebanyak itu!"

Miranda terkejut mendengar ucapan putrinya. "Dan? Apa jawabannya?"

Areta mendengus. "Dia cuma diem aja, Ma! Tapi aku nggak yakin juga dia kerja kayak gitu, sih. Soalnya dia kelihatan masih polos..."

Miranda menggeram, rasa iri menyelinap ke dalam hatinya. "Ini nggak masuk akal... Gelandangan kayak dia tiba-tiba berubah jadi orang kaya? Pasti ada yang nggak beres!"

Areta mengangguk cepat. "Itu juga yang aku pikirin, Ma. Aku nggak mau dia sukses melebihi kita!" Areta mengepalkan tangannya, matanya memerah karena emosi.

Miranda mendesis marah, bola matanya menyipit penuh kebencian. "Nggak! Ini nggak boleh dibiarkan, Areta! Mama juga nggak suka dia hidup lebih baik dari kita!" suaranya bergetar menahan emosi.

Areta menatap mamanya dengan penuh harap. "Terus, kita harus gimana, Ma?"

Miranda menyeringai licik. "Kita cari tahu di mana dia tinggal sekarang dan bagaimana dia bisa hidup enak seperti ini. Kita nggak bisa biarin dia hidup seenaknya dan melampaui kita!"

Wajah Areta berubah licik, sebuah senyum puas muncul di bibirnya. "Aku setuju, Ma. Kita nggak bisa biarin Aqila hidup lebih baik dari kita!"

1
hesti_winarni25
semangat berkaya kak
Achamout: Terima kasih kakak😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!