Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Rindu Mendalam
Pagi itu suasana terasa sedikit sendu di rumah Harrison. Sarapan kali ini lebih hening dari biasanya. Emma yang biasanya ceria, kini duduk di meja makan dengan wajah cemberut. Ia tahu bahwa hari ini Hawa akan kembali tinggal di rumah keluarga Harper untuk sementara waktu.
Harrison duduk di seberang Emma, diam-diam menatap Hawa yang tampak tenang menikmati sarapannya. Tapi di balik wajah tenang itu, Hawa juga menyimpan rasa berat untuk meninggalkan rumah ini.
“Emma, makan yang banyak, sayang,” ujar Hawa lembut sambil menyuapi Emma dengan penuh perhatian.
Emma hanya menggeleng pelan. “Aku nggak lapar, Ma.”
“Emma,” suara Harrison terdengar tegas tapi lembut, “Mama kan cuma pergi sementara. Kamu masih bisa bertemu dengannya, kapan saja kamu mau.”
“Tapi Emma nggak mau Mama pergi,” rengek Emma, matanya mulai berkaca-kaca.
Hawa menarik napas panjang, lalu berlutut di samping Emma. “Sayang, dengarkan Mama. Ini hanya sementara, oke? Kamu bisa menelepon Mama kapan saja, dan kita pasti akan bertemu. Mama janji.”
Emma mengangguk kecil, meski masih tampak enggan. Hawa memeluknya erat, menenangkan gadis kecil itu.
Sementara itu, Harrison duduk di kursinya, memperhatikan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia merasa lega melihat Hawa bisa menenangkan Emma, tapi di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sama besar.
Setelah mengantar Emma ke sekolah dan memastikan anak itu tersenyum kembali, Harrison dan Hawa akhirnya bersiap menuju rumah keluarga Harper. Sepanjang perjalanan, Harrison tidak banyak bicara. Tangannya menggenggam kemudi erat, sesekali melirik Hawa yang duduk di sebelahnya.
“Mas, kenapa diam saja?” tanya Hawa sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Harrison melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Aku cuma berpikir… bagaimana caranya aku melewati hari-hari tanpa kamu di rumah.”
Hawa terkekeh pelan. “Mas, aku kan nggak pergi jauh. Lagipula, ini cuma sementara.”
“Tapi tetap saja,” gumam Harrison. “Rumah itu akan terasa kosong tanpa kamu.”
Hawa terdiam, hatinya hangat mendengar pengakuan Harrison. Tapi ia juga tahu, perpisahan sementara ini adalah keputusan terbaik untuk mereka berdua.
Ketika mereka sampai di kediaman keluarga Harper, Hawa disambut hangat oleh ibunya, Tamara, dan ayahnya, Dylan. Harrison membantu membawa barang-barang Hawa ke dalam rumah, tapi wajahnya jelas menunjukkan ketidaksenangan.
“Mas, nggak usah cemberut begitu,” goda Hawa saat mereka berdiri di ruang tamu.
“Aku nggak cemberut,” bantah Harrison, meski ekspresinya berkata sebaliknya.
Tamara yang berdiri di dekat mereka terkekeh kecil. “Harrison, kamu nggak perlu khawatir. Hawa ada bersama keluarganya.”
Harrison hanya mengangguk kecil, tapi matanya tetap tertuju pada Hawa. “Jangan lupa kabari aku, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon.”
Hawa tersenyum, mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku janji.”
Tapi sebelum Harrison pergi, ia menarik Hawa ke pelukannya. “Aku pasti rindu berat,” bisiknya pelan di telinga Hawa.
Hawa tersipu, tapi ia membalas pelukan itu dengan hangat. “Aku juga, Mas.”
Malam itu di rumahnya, Harrison duduk di ruang kerja, mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi pikirannya terus melayang ke Hawa. Berkali-kali ia melirik ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Hawa.
Ares masuk ke ruang kerja dengan beberapa dokumen di tangannya. “Tuan, ini laporan yang perlu ditandatangani.”
Harrison mengangguk, mengambil dokumen itu. Tapi matanya masih terus melirik ponsel di meja.
“Tuan, Anda kelihatan gelisah,” komentar Ares sambil tersenyum kecil.
Harrison mendengus. “Gelisah apa? Aku baik-baik saja.”
“Benarkah? Karena sepertinya Anda lebih sering melihat ponsel daripada dokumen ini,” balas Ares dengan nada menggoda.
Harrison hanya menggeleng, tapi wajahnya memerah sedikit. Akhirnya, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat pada Hawa: “Hawa, sudah makan malam belum?”
Pesan itu dibalas cepat oleh Hawa: “Sudah, Mas. Jangan lupa makan malam juga, ya.”
Harrison tersenyum kecil membaca pesan itu, tapi hatinya tetap terasa kosong.
Tidak tahan dengan rasa rindunya, Harrison memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya malam itu juga. Ia datang ke kediaman keluarga Noah dan menemui Harvey dan Anna di ruang keluarga.
“Apa yang membuatmu datang malam-malam begini, Harrison?” tanya Harvey dengan nada datar.
“Aku ingin meminta kalian segera mengatur pertemuan dengan keluarga Harper,” jawab Harrison tegas.
Anna tersenyum kecil, menatap putranya dengan tatapan penuh pengertian. “Rindu berat, ya?”
Harrison mengangguk, tak malu mengakui perasaannya. “Iya, Mami. Aku tidak bisa terlalu lama berjauhan dengan Hawa. Jadi aku ingin semuanya dipercepat.”
Harvey terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Kami akan mengatur pertemuan secepatnya.”
Harrison menghela napas lega, tapi hatinya tetap gelisah. Kini ia hanya perlu menunggu hari itu tiba. Tapi sampai saat itu, ia harus bersabar menghadapi rasa rindunya yang semakin dalam.
***
Malam berikutnya. Bel pintu itu berbunyi cukup lama, membuat Tamara dan Hawa bertukar pandang. Tamara menoleh ke arah Dylan yang baru saja beranjak untuk membuka pintu.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” tanya Tamara setengah berbisik.
“Aku juga nggak tahu, Ma,” jawab Dylan sambil berjalan menuju pintu utama.
Hawa berdiri, rasa penasarannya semakin besar. Namun, saat pintu terbuka, matanya langsung melebar. Di sana, berdiri keluarga besar Noah—Harvey, Anna, Hannah, John Ethan, dan kedua anak mereka.
Tamara tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Oh, tamu istimewa rupanya. Selamat malam, Tuan dan Nyonya Noah. Silakan masuk.”
“Terima kasih,” jawab Anna dengan senyum ramah. “Maaf jika kami datang tanpa pemberitahuan. Harrison yang meminta kami untuk segera datang malam ini.”
Nama Harrison disebut, dan hati Hawa langsung berdebar. Ia tahu bahwa Harrison selalu berani mengambil langkah besar, tapi tidak menyangka secepat ini.
Dylan menuntun mereka ke ruang tamu, sementara Tamara membantu Anna melepaskan mantelnya. Hawa tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa kaku melihat Harvey Noah yang memandangnya dengan tajam.
“Selamat malam, Hawa,” sapa Anna lembut.
Hawa tersenyum sopan. “Selamat malam, Mami.”
Namun, suasana berubah sedikit tegang saat Harvey, dengan tatapan seriusnya, membuka percakapan. “Jadi, di mana Harrison?”
Hawa menelan ludah, bingung harus menjawab apa. Tamara yang akhirnya angkat bicara, “Mungkin dia akan segera menyusul. Kami tidak tahu jika dia meminta keluarga besar datang malam ini.”
Seolah merespons pertanyaan itu, suara pintu depan kembali terdengar. Langkah kaki yang tegas terdengar mendekat, dan Harrison muncul dari balik pintu ruang tamu. Wajahnya terlihat lega saat melihat Hawa, tapi juga penuh keseriusan.
“Maafkan aku datang terlambat,” ucapnya sambil berjalan ke tengah ruangan. Ia berhenti tepat di depan Hawa, memandangnya dengan mata penuh makna.
“Harrison,” sapa Anna lembut. “Apa ini semua rencanamu?”
Harrison mengangguk, lalu berbalik ke arah Dylan. “Pak Dylan, saya tahu ini mendadak. Tapi saya ingin keluarga kami bertemu dan memulai diskusi tentang langkah besar ke depan.”
Semua orang menatap Harrison dengan ekspresi campur aduk. Dylan mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Langkah besar apa yang kamu maksud, Harrison?”
Harrison menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Hawa di depan semua orang. “Saya ingin hubungan ini segera diresmikan. Saya tidak ingin ada lagi jarak di antara kami. Saya ingin Hawa menjadi bagian dari hidup saya sepenuhnya, dengan persetujuan kedua keluarga.”
Ucapan itu membuat suasana ruangan mendadak hening. Hawa menatap Harrison dengan mata membesar, pipinya memerah. Sementara itu, Anna tersenyum lebar, sedangkan Harvey mengerutkan kening.
“Kamu tahu ini keputusan besar, kan?” Harvey akhirnya angkat bicara. “Sudah siapkah kamu dan Hawa menjalani tanggung jawab ini?”
Harrison mengangguk tegas. “Saya sudah siap, Papi. Dan saya yakin Hawa juga siap.”
Semua mata kini tertuju pada Hawa. Ia merasa gugup, tapi kehangatan di genggaman tangan Harrison membuatnya merasa kuat. Dengan suara pelan namun pasti, ia berkata, “Jika keluarga setuju, saya bersedia.”
Anna langsung mendekati Hawa, memeluknya dengan hangat. “Selamat datang di keluarga kami, Hawa.”
Namun, Harvey tetap diam. Ia menatap Hawa lama, seolah menimbang sesuatu. “Kamu gadis yang baik, Hawa. Tapi keluarga Noah punya aturan. Kamu harus siap menghadapi tekanan dan tanggung jawab besar sebagai istri dari Harrison.”
Hawa mengangguk tegas. “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Papi.”
Harvey akhirnya tersenyum tipis, lalu berdiri dan menepuk bahu Harrison. “Kalau begitu, aku serahkan ini semua pada kalian. Tapi jangan pernah lupakan tanggung jawabmu, Harrison.”
Harrison mengangguk, senyumnya penuh kebahagiaan. Namun, sebelum percakapan selesai, Dylan berbicara, “Kalau begitu, kapan kita akan mengatur pertemuan resmi?”
“Secepatnya, Pak,” jawab Harrison tanpa ragu.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.