NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 30

Rose baru saja turun dari panggung jumpa pers. Sorot lampu dan tepuk tangan penonton masih terasa di telinganya, tetapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil berjalan ke belakang panggung.

Ketika ponselnya bergetar, Rose segera merogohnya dari tas kecil yang ia bawa. Namanya muncul di layar: Dylan. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Rose membaca pesan itu pelan-pelan, mencerna setiap kata yang ia tulis:

"Rose, aku melihatmu di televisi tadi. Kau terlihat luar biasa, meskipun aku tahu kau sedang melalui banyak hal. Aku ingin kita bicara, jika kau siap."

Rose terdiam. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Kata-kata Dylan terdengar tulus, tetapi baginya, semuanya sudah terlambat. Pikiran tentang Dylan yang memilih keponakannya, Rose, terlintas kembali di benaknya. Itu adalah salah satu hal yang paling menyakitkan baginya.

"Jadi, ternyata dia benar-benar memilih keluarganya daripada bersamaku," gumam Rose pelan. Ia tidak sadar air matanya mulai menetes. Dengan cepat, ia menghapus bulir-bulir itu sebelum siapa pun melihat.

Rose meremas ponselnya, mencoba menahan perasaan yang mulai menyeruak kembali. Keputusan Dylan untuk tetap bersama keluarganya—bahkan dengan alasan pekerjaan—selalu terasa seperti penolakan yang tak terucapkan. Bukan karena ia tidak memahami situasi Dylan, tetapi karena ia berharap pria itu akan berjuang untuk mereka berdua.

Manajernya, Dina, menghampirinya. "Rose, kau baik-baik saja? Mereka ingin foto bersama sebelum kita pergi."

Rose tersenyum tipis, memaksakan diri untuk terlihat tegar. "Aku baik-baik saja. Ayo kita selesaikan ini."

Namun, di dalam hatinya, ia merasa rapuh. Sambil berjalan menuju sesi foto, ia memutuskan untuk tidak membalas pesan Dylan. Bukan karena ia tidak ingin bicara dengannya, tetapi karena ia tahu, jika ia membiarkan Dylan kembali ke hidupnya, luka lama itu mungkin akan terbuka lagi.

Setelah acara selesai dan ia kembali ke rumah, Rose duduk di ruang tamunya yang sunyi. Ponselnya tergeletak di meja, pesan Dylan masih ada di sana, belum terhapus. Ia memandangnya lama, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya yang kacau.

"Mungkin ini memang jalannya," pikir Rose. Ia kemudian mematikan ponselnya, mencoba mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kerumitan yang terus menghantuinya.

***

Di kantor, desas-desus tentang Alia sebagai kekasih Dylan semakin kencang. Rose mencoba mengabaikan gosip tersebut, fokus pada pekerjaannya. Namun, ketika Alia bergabung dengan perusahaan Wang Yibo, Rose merasa tidak nyaman.

"Rose, aku dengar Alia sudah bergabung dengan kami," kata rekan kerja Rose, Sarah.

Rose mengangguk singkat, tidak ingin membahas lebih lanjut. "Ya, aku sudah tahu."

Sarah melihat ekspresi Rose yang tertutup. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Rose memaksakan senyum. "Aku baik."

Malam itu, Rose pulang lebih awal, ingin menghindari gosip dan spekulasi. Ia memutuskan untuk fokus pada karir dan kesehatan mentalnya.

Keesokan harinya, Rose bertemu Alia di ruang rapat. Alia tersenyum ramah, tapi Rose tetap cuek.

"Dylan ingin bertemu kita," kata Alia.

Rose mengangkat alis. "Apa urgensinya?"

Alia terkejut dengan reaksi Rose. "Aku... aku tidak tahu."

Rose berdiri, meninggalkan ruang rapat. "Aku tidak ingin bicara tentang Dylan."

Alia mengejar Rose. "Tunggu, Rose! Aku ingin menjelaskan--"

Rose memotong. "Tidak perlu. Aku sudah memilih untuk melupakan."

Alia terdiam, memandang Rose dengan sedih. "Aku mengerti."

***

Rose melangkah cepat meninggalkan Alia, mencoba menahan gejolak emosinya. Ia tahu bahwa berhadapan dengan Alia hanya akan membuka luka lama yang berusaha ia sembuhkan. Namun, di dalam hatinya, ada bagian kecil yang ingin tahu apa sebenarnya yang ingin Alia sampaikan.

Di sudut koridor, Rose berhenti sejenak untuk mengatur napas. Dalam pikirannya, ia mencoba memproses situasi yang semakin rumit. Dylan, Alia, dan hubungan mereka bertiga kini menjadi simpul yang sulit diuraikan.

Sore itu, saat keluar dari kantor, Rose kembali berpapasan dengan Alia di area parkir. Kali ini, Alia tampak ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi seperti sebelumnya, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Rose juga tidak memberikan kesempatan. Ia masuk ke mobilnya, menyalakan mesin, dan melaju pergi tanpa menoleh ke belakang.

Di perjalanan pulang, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah nomor tak dikenal. Rose menatap layar sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Halo?" sapanya.

"Rose, ini aku, Dylan." Suara di seberang terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban besar.

Rose menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang tiba-tiba muncul. "Apa yang kau inginkan?"

"Aku hanya ingin kita bicara. Aku tahu banyak hal yang salah di antara kita, tapi aku ingin menjelaskan semuanya."

Rose terdiam, membiarkan Dylan melanjutkan.

"Alia... dia bukan seperti yang kau pikirkan. Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentang keluargaku, dan aku tahu aku salah karena tidak menjelaskannya sejak awal."

Kata-kata Dylan membuat hati Rose berdebar. Namun, ia menahan dirinya untuk tidak terbawa emosi. "Aku tidak tahu apakah itu penting lagi, Dylan. Aku sudah memutuskan untuk melangkah pergi."

"Aku mengerti," jawab Dylan lirih. "Tapi setidaknya beri aku satu kesempatan untuk menjelaskan. Setelah itu, jika kau tetap ingin aku pergi, aku akan menghormati keputusanmu."

Rose menghela napas panjang. Bagian dirinya ingin menutup pintu itu selamanya, tapi ada sisi lain yang masih penasaran dengan kebenaran yang Dylan simpan. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya menjawab, "Baiklah. Kita bicara. Tapi ini adalah yang terakhir."

Dylan setuju, dan mereka sepakat untuk bertemu keesokan harinya di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Rose mengakhiri panggilan itu dengan hati yang masih bimbang, tidak tahu apakah pertemuan ini akan memberikan kejelasan atau malah membuatnya semakin terluka.

Sementara itu, di tempat lain, Alia memandang ponselnya dengan gelisah. Ia tahu percakapan antara Rose dan Dylan akan segera terjadi, dan ia hanya bisa berharap semua ini tidak akan berakhir lebih buruk dari yang sudah terjadi.

***

Keesokan harinya, Rose duduk di sebuah meja kecil di pojok kafe yang mereka sepakati. Tangannya menggenggam cangkir kopi hangat, meskipun ia belum menyesapnya. Pikirannya melayang-layang, mencoba mempersiapkan diri untuk percakapan yang akan datang.

Dylan tiba beberapa menit kemudian. Penampilannya tampak rapi, tetapi wajahnya menunjukkan kelelahan. Saat ia duduk di hadapan Rose, ada jeda yang canggung di antara mereka sebelum akhirnya Dylan membuka percakapan.

"Terima kasih sudah mau bertemu denganku," katanya pelan.

Rose mengangguk singkat, tatapannya tetap dingin. "Katakan apa yang ingin kau jelaskan, Dylan. Aku tidak punya banyak waktu."

Dylan menelan ludah, mengumpulkan keberanian. "Rose, aku tahu selama ini kau merasa aku memilih keluargaku—Alia—daripada kita. Tapi itu tidak sesederhana itu. Aku tidak pernah berniat untuk membuatmu merasa ditinggalkan."

Rose menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Dylan dengan penuh skeptisisme. "Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan, Dylan, karena dari sudut pandangku, kau selalu lebih memprioritaskan mereka."

Dylan menghela napas panjang. "Alia adalah keponakan yang dibesarkan oleh bibiku, ia diambil ketika sewaktu kecil usia enam bulan. Lalu bibiku meninggal dalam kecelakaan. Bibiku memohon padaku untuk menjaganya, terutama setelah ia mulai menunjukkan tanda-tanda depresi berat. Aku tidak bisa menolak permintaan itu, Rose. Aku harus membantu keluarga."

Rose tetap diam, mendengarkan dengan seksama.

"Namun, aku tahu aku salah karena tidak memberitahumu semuanya. Aku terlalu takut kau akan salah paham, dan pada akhirnya, ketakutan itu justru menjadi kenyataan. Aku tidak memilih Alia. Aku hanya merasa bertanggung jawab atas kesejahteraannya karena bibiku mempercayakannya padaku."

Dylan menatap Rose dengan ekspresi penuh penyesalan. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu, dan aku tidak berharap kau memaafkanku begitu saja. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Rose."

Rose merasa hatinya bergejolak. Kata-kata Dylan terdengar tulus, tetapi luka yang ia rasakan selama ini terlalu dalam untuk sembuh begitu saja. Ia menatap pria itu, mencoba mencari kepastian di matanya.

"Aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua, Dylan," kata Rose akhirnya. "Aku tidak bisa langsung memutuskan sekarang. Terlalu banyak hal yang terjadi, dan aku tidak ingin membuat keputusan yang tergesa-gesa."

Dylan mengangguk pelan, meskipun kekecewaan terlihat di wajahnya. "Aku mengerti. Aku hanya berharap kau memberi kesempatan untukku memperbaiki semuanya."

Rose berdiri, mengambil tasnya. "Aku tidak bisa berjanji apa-apa, tapi aku akan memikirkannya. Terima kasih atas penjelasanmu."

Dylan tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. "Terima kasih, Rose. Itu sudah lebih dari cukup bagiku."

Rose meninggalkan kafe dengan pikiran yang campur aduk. Di satu sisi, penjelasan Dylan memberikan sedikit kejelasan, tetapi di sisi lain, ia masih takut untuk membuka hatinya lagi.

Di tengah perjalanan pulang, ia melihat bayangannya di kaca jendela toko. Sosoknya tampak lelah, tetapi ada secercah harapan di dalamnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin ada jalan untuk memperbaiki semuanya—jika ia siap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!