"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
More Than Enough
Setelah pertemuan dengan Oliver selesai, malam di London terasa dingin namun segar. Elea dan Darren berjalan bersama di sepanjang trotoar. Gedung-gedung berdiri gagah di kejauhan, sementara udara malam membawa aroma kopi dari kafe-kafe kecil di sepanjang jalan. Elea berjalan dengan langkah mantap, tangan dimasukkan ke saku mantelnya, mencoba menikmati udara malam setelah hari yang panjang. Darren, seperti biasa, berjalan di sebelahnya, berusaha mencocokkan langkah mereka.
"Aku tidak suka dia," Darren tiba-tiba berkata, memecah keheningan.
Elea menoleh, mengerutkan kening. "Siapa?"
"Oliver Harrington," jawab Darren dengan nada santai tapi jelas ada ketegangan di dalamnya. "Dia terlalu... sok. Cara dia menatapmu, berbicara padamu, seolah-olah dia tidak peduli dengan apa pun selain dirimu."
Elea mendesah, mencoba untuk tetap tenang meskipun nada Darren membuatnya sedikit jengkel. "Darren, dia adalah klien. Dan aku tahu cara menghadapi orang-orang seperti dia. Itu bukan urusanmu."
"Tapi itu urusanku," balas Darren cepat, berhenti di tempatnya. Ia menatap Elea dengan serius, matanya memancarkan campuran kecemburuan dan ketidakberdayaan. "Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi dia jelas mencoba lebih dari sekadar bekerja sama. Dan kau membiarkannya."
Elea memutar matanya, melanjutkan langkahnya tanpa berhenti. "Kau benar-benar berlebihan, Darren. Aku tidak membiarkan apa pun. Aku hanya melakukan pekerjaanku."
Darren mengejar langkahnya, kini berjalan di depan Elea untuk menghentikannya. "Apakah Adrian tahu tentang cara pria-pria seperti itu memperlakukanmu? Maksudku, jika dia benar-benar peduli, dia seharusnya—"
"Jangan bawa Adrian dalam hal ini," potong Elea tajam, suaranya sedikit meninggi. "Dia tahu aku profesional, dan dia mempercayaiku. Hal itu sudah cukup bagiku."
Darren terdiam, menatap Elea dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang ia tahan di tenggorokannya, sesuatu yang ingin ia katakan tetapi tidak berani. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang, memasukkan tangannya ke saku celana dan berkata dengan nada lebih lembut, "Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Elea."
Kata-kata itu membuat Elea berhenti sejenak. Ia menatap Darren, mencoba membaca maksud di balik ucapannya. "Aku tahu, Darren," jawabnya pelan, nada suaranya lebih lembut. "Tapi kau harus percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri."
Darren tersenyum kecil, tetapi tidak ada keriangan di sana. "Kadang aku lupa kau wanita tangguh, Elea. Tapi kau tahu, tangguh pun ada batasnya."
Elea tidak menjawab, hanya melanjutkan langkahnya dengan pikiran yang mulai bercampur aduk. Darren menyusul lagi, kini berjalan di sampingnya dalam keheningan. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Aku yakin Adrian tidak akan menyukai Oliver juga," Darren mulai lagi, kali ini dengan nada menggoda yang lebih ringan. "Kecuali... dia terlalu sibuk bahkan untuk peduli?"
Elea menoleh dengan tajam, matanya memperingatkan. "Jangan bawa Adrian lagi, Darren. Aku serius."
Darren mengangkat tangannya dengan ekspresi polos. "Baik, baik. Tidak ada Adrian. Aku hanya bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi seorang suami yang tidak peduli ketika istrinya jelas-jelas menarik perhatian semua orang."
Elea menghela napas panjang, memilih untuk tidak melanjutkan argumen. Tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa menusuk. Benar, Adrian tidak menunjukkan kecemburuan seperti Darren. Bahkan, ia jarang menunjukkan apa pun akhir-akhir ini. Tapi itu tidak berarti Adrian tidak mencintainya, kan? Elea mencoba menguatkan keyakinan itu di dalam hatinya.
"Bagaimana kalau kita berhenti di sana?" Darren menunjuk sebuah kafe kecil di sudut jalan, suasana di dalamnya terlihat hangat dengan lampu-lampu kuning temaram. "Aku akan traktir. Hitung-hitung aku ingin memperbaiki suasana hatimu setelah pertemuan canggung tadi."
Elea mengangkat alis, menatap Darren dengan curiga. "Traktir? Seorang magang sepertimu?"
Darren menyeringai, kembali menjadi dirinya yang manja dan menggoda. "Tentu saja. Aku sudah menabung, kau tahu. Lagipula, aku harus menjaga mood bosku, bukan?"
Elea menggeleng, tetapi sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. "Baiklah. Tapi jangan mengeluh kalau kopiku terlalu mahal."
Darren tertawa kecil, melangkah ke pintu kafe sambil membukakan pintu untuk Elea. "Apa pun untukmu, Elea."
Sambil melangkah masuk, Elea tidak bisa menahan diri untuk berpikir tentang Darren. Ada sesuatu tentang pria itu—campuran antara kekanak-kanakan dan kepribadian tangguhnya yang anehnya membuatnya sulit untuk ditebak. Tetapi Elea tahu satu hal pasti: Darren adalah masalah, masalah yang ia tidak yakin ingin hadapi atau abaikan.
***
Kafe mungil itu dipenuhi aroma kopi yang kaya dan manis, bercampur dengan wangi roti panggang dan kue-kue yang baru keluar dari oven. Interiornya klasik dan hangat—dinding bata ekspos, rak-rak kayu penuh dengan toples biji kopi dan berbagai campuran teh, serta lampu-lampu kecil yang menggantung rendah memberikan nuansa intim. Hujan tipis yang baru saja mulai membuat kaca jendela berkabut, membentuk titik-titik embun samar yang memantulkan lampu jalanan di luar.
Elea memilih tempat duduk di dekat jendela. Ia membuka mantel panjangnya dan menggantungnya di sandaran kursi, sementara Darren—yang masih dengan senyum nakalnya—memesan kopi untuk mereka berdua.
"Kau mau yang biasa, kan? Latte dengan satu sendok madu," tanya Darren sebelum melangkah ke kasir.
Elea menatapnya dengan alis terangkat. "Aku tidak ingat pernah memberitahumu soal itu."
Darren menyeringai, matanya berkilat usil. "Kau tidak. Tapi aku memperhatikan. Kau selalu minum itu setiap pagi di kantor."
Elea memilih tidak menanggapi. Sesuatu di caranya berbicara selalu berhasil membuatnya merasa sedikit... tidak nyaman. Darren punya kebiasaan memperhatikan detail kecil tentang dirinya, sesuatu yang bahkan Adrian jarang lakukan. Ia menatap keluar jendela, matanya mengikuti titik-titik hujan yang semakin deras, sementara perasaan asing perlahan muncul di dadanya.
Beberapa menit kemudian, Darren kembali dengan dua cangkir kopi dan sepotong kue cokelat kecil di atas piring. Ia meletakkannya di depan Elea dengan penuh gaya, seolah-olah ia seorang pelayan kelas satu. "Untuk bos favoritku," katanya dengan nada menggoda.
"Dan apa ini?" Elea menunjuk kue di antara mereka.
Darren mengangkat bahu polos. "Kau sepertinya butuh sesuatu yang manis."
Elea menghela napas, mengambil cangkir kopinya dan meniupnya perlahan. "Aku baik-baik saja, Darren. Kau benar-benar suka melebih-lebihkan segalanya."
Darren memiringkan kepala, senyum masih menggantung di bibirnya. Namun, di balik sikap santainya, ada sesuatu yang lebih dalam di balik matanya. "Aku hanya memastikan kau tidak lupa untuk memanjakan dirimu sendiri. Sepertinya... seseorang di rumah lupa melakukannya untukmu."
Tatapan Elea tajam, tapi tidak ada kemarahan di dalamnya. Lebih pada peringatan agar Darren tidak melangkah terlalu jauh. "Darren," katanya perlahan. "Adrian adalah suamiku, dan itu bukan urusanmu."
Darren bersandar di kursinya, menatap Elea dengan serius. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu bagaimana rasanya bekerja sepanjang waktu dan lupa tentang orang-orang yang harusnya jadi prioritas kita."
Kalimat itu membuat Elea terdiam. Ada ketulusan di sana, sesuatu yang tak pernah ia duga keluar dari mulut Darren. "Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya.
Darren tersenyum kecil, kali ini tanpa kesan main-main. "Pernahkah kau merasa sendirian, meskipun ada seseorang di rumah yang seharusnya membuatmu merasa... cukup?" Suaranya pelan, hampir berbisik, seolah-olah kata-kata itu bukan untuk didengar orang lain.
Elea menatapnya lama, tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan itu menusuk langsung ke dalam hatinya. Ya, ia sering merasa sendirian. Adrian selalu tenggelam dalam pekerjaannya, hampir lupa bahwa ia memiliki seorang istri yang butuh perhatian. Tapi Elea terlalu keras kepala untuk mengakuinya, terutama di hadapan seseorang seperti Darren.
"Aku tidak sendirian," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia rasakan. "Aku punya pekerjaanku, teman-temanku. Itu sudah cukup."
Darren menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian yang jarang ia tunjukkan. "Kau berbohong, Elea."
Elea membuka mulut untuk membalas, tetapi kata-katanya tertahan. Ia merasa seperti sedang diawasi—ditelanjangi oleh sorot mata pria itu. Pria yang biasanya ia anggap kekanak-kanakan, tiba-tiba terasa lebih dewasa, lebih tangguh. Hal itu membuatnya bingung.
"Apa kau selalu seperti ini, Darren?" Elea mencoba mengalihkan suasana, mengangkat cangkirnya. "Bertindak seperti pahlawan penyelamat bagi wanita yang menurutmu 'perlu ditolong'?"
Darren tertawa pelan, nada tawanya hangat namun menyindir. "Aku hanya melakukannya untuk wanita tertentu. Kau tahu, kau lebih menarik ketika sedang mencoba melawanku."
Elea mendesah, meletakkan cangkirnya dengan sedikit bunyi di meja. "Kau harus berhenti, Darren. Apa yang kau lakukan ini—" Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata. "Kau melewati batas."
Darren menatapnya serius. "Batas itu hanya ada karena kau membangunnya, Elea. Tapi suatu hari, kau akan sadar bahwa kau berhak mendapatkan lebih."
Kata-kata itu kembali membuat Elea terdiam. Entah kenapa, Darren berhasil menanamkan keraguan kecil di dalam dirinya. "Lebih?" Apa itu artinya? Lebih dari Adrian? Lebih dari kehidupannya sekarang?
Kafe itu tiba-tiba terasa lebih sepi, seolah-olah hanya ada mereka berdua di dalamnya. Di luar, hujan semakin deras, memantulkan cahaya lampu kota yang berpendar. Elea kembali menatap jendela, mencoba mengabaikan segala sesuatu yang baru saja Darren katakan.
"Sudahlah," katanya akhirnya, dengan suara yang terdengar lelah. "Kita sudah terlalu lama di sini. Ayo pulang."
Darren menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Baiklah."
Mereka berjalan keluar dari kafe, diiringi suara lonceng kecil di pintu. Hujan belum reda, tapi Darren membuka payung hitam besar_yang ia beli dari cafe barusan_dan berdiri di samping Elea, melindunginya dari air yang turun deras.
Elea berjalan dalam diam, membiarkan Darren mengikuti langkahnya. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—sesuatu yang ia tahu tak seharusnya dibiarkan tumbuh. Tapi langkah kaki mereka terus berjalan bersama di bawah hujan London, sementara di dalam hati Elea, sesuatu perlahan mulai bergeser.
***