Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan dari Utari
Dua minggu telah berlalu sejak Pandu berkonsultasi dengan Ratna terkait saudaranya Lintang. Dua minggu itu juga Pandu tidak lagi menghubungi Ningrum. Walaupun dalam hati sangat ingin membahas perihal abor-si, tetapi ia tunda demi tidak ada interaksi. Karena Pandu yakin, sekali saja ia mengungkit hal itu, pasti Ningrum akan mencari segala cara untuk memarahi Lintang.
Pandu tak mau itu terjadi, makanya lebih memilih menunda, sampai kondisi Lintang jauh lebih stabil.
Namun, sore ini ketika pulang kerja, ia justru mendapat kabar dari Lintang, bahwasannya ada undangan dari Utari untuk menghadiri acara ulang tahun Nada besok malam.
"Tadi pagi Mbak Tari nge-chat aku, Mas. Katanya Nada mau ulang tahun. Kita disuruh datang pas acara aja karena nasi dan kue-kuenya udah pesan catering. Tempatnya juga udah ditata tukang dekor."
Pandu menatap Lintang cukup lama. Ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Sempat terselip niat untuk melarang Lintang datang. Namun, di sisi lain juga ingin tahu bagaimana tanggapan Lintang sendiri.
"Sampai sekarang chat-nya belum kubalas. Tadi juga cuma kubaca dari jendela notifikasi. Nggak kubuka," lanjut Lintang.
"Lalu, Sayang?"
"Mas, kalau nggak usah datang aja gimana? Kayaknya Mama juga diundang. Nanti ... kita titip hadiah aja ke Mama."
Mendengar jawaban Lintang, Pandu langsung tersenyum lebar. Ternyata tanpa dilarang pun, Lintang sudah enggan hadir ke sana.
"Ide bagus, Sayang. Nanti kita titipkan saja ke Mama."
Lintang pun turut tersenyum karena Pandu setuju dengan idenya. Lantas, dengan perasaan yang sedikit tenang ia kembali pada aktivitasnya—melipat baju yang baru kering. Sementara Pandu langsung ke kamar mandi.
Namun, belum genap dua menit Lintang merasa tenang, perasaannya kembali terusik oleh telepon dari Ningrum. Awalnya Lintang mengabaikan, tetapi karena panggilan itu terus berulang sampai tiga kali, akhirnya Lintang pun menjawabnya dengan terpaksa.
"Halo, Bu."
"Kamu ke mana saja sih, Lin, Ibu telfon bolak-balik nggak dijawab-jawab, sampai pegel tangan Ibu."
"Maaf, Bu, tadi aku di dapur. HP-nya di kamar," jawab Lintang dengan datar.
"Selalu ada alasan." Ningrum terdengar kesal. Namun, Lintang tidak menyahutnya.
"Tadi kenapa pesannya Tari nggak kamu balas? Sengaja, ya?" tuduh Ningrum selagi Lintang masih diam.
"Aku nggak tahu, Bu. Hari ini sibuk di dapur, nggak pegang HP."
"Huh, alasan lagi!" Ningrum mendengkus. "Ya sudah, kalau gitu biar Ibu yang ngasih tahu kamu. Besok Nada ulang tahun dan Tari mau merayakannya. Kamu dan Pandu datanglah ke sini, sekalian lihat kabar Ibu. Kamu ini, jadi anak nggak tahu diri. Tahu ibunya sakit sampai dirawat inap dua minggu, nggak ada telfon. Kalaupun nggak datang, minimal nanya kabar, Lintang. Mas dan mbakmu loh gantian jagain Ibu, sampai izin nggak masuk kerja. Eh, kamu yang pengangguran, malah nanya saja nggak," lanjutnya.
"Ibu sakit apa? Aku nggak tahu kalau Ibu sakit, apalagi sampai dirawat inap. Nggak ada yang ngabarin aku, Bu," jawab Lintang. Ia sangat terkejut mendengar kabar itu.
Namun, keterkejutan Lintang justru dianggap sandiwara oleh Ningrum. Lagi-lagi, Lintang berada dalam posisi salah.
"Kamu itu kalau mau bohong, yang kira-kira saja, Lintang. Jangan berlebihan! Sudah berulang kali mbakmu kirim pesan, ngabarin kalau Ibu sakit, Ibu dirawat inap. Tapi, kamu sendiri yang sengaja abai. Cuma kamu baca, nggak ada satu pun yang kamu balas. Ditelfon juga gitu. Mbak dan masmu sampai bosan nelfonin kamu, sama sekali nggak dijawab. Dan sekarang, kamu malah ngomong kalau nggak ada yang ngabarin. Maumu apa sih, Lintang? Hah? Kamu ingin memfitnah mbak dan masmu, begitu?"
"Bu, tapi aku berani sumpah, Mas Albi dan Mbak Tari nggak ada nelfon atau kirim pesan ke aku. Baru dari Ibu ini aku tahu kalau Ibu habis sakit. Aku—"
"Halah, udah! Nggak usah cari pembelaan terus. Ibu tahu betul siapa yang jujur dan siapa yang bohong!" pungkas Ningrum dengan intonasi tinggi.
Tanpa sadar, Lintang mere-mas ponselnya. Tercabik kembali hatinya mendengar ucapan barusan. Sakit, sangat sakit. Seorang ibu yang lazimnya penuh kasih sayang, tetapi nyatanya, sekali pun wanita yang dipanggil ibu itu tidak pernah menunjukkan sikap seorang ibu. Jangan bahas soal kasih sayang, soal kepercayaan saja sama sekali tidak ada.
"Kapan Ibu bisa percaya padaku? Kapan Ibu bisa melihat dari dua sisi, bukan hanya fokus pada Mbak Tari dan Mas Albi."
Tanpa sadar, Lintang berucap demikian. Sebuah keluh kesah dari hatinya yang paling dalam. Hati yang telanjur hancur dan remuk oleh luka menderanya sejak kecil.
"Kamu itu memang ratu drama, Lintang! Ibu ini juga selalu melihat dari dua sisi, makanya Ibu tahu kalau kamu bohong."
"Apa ada buktinya kalau aku bohong, Bu? Selain dari ucapan Mas Albi dan Mbak Lintang? Apa Ibu udah melihat pesan atau riwayat panggilan yang mereka bilang? Apa Ibu—"
"Cukup ya, Lintang! Ibu capek ngomong sama kamu, selalu saja ngajak debat! Memang bukti-bukti apa lagi sih? Sudah jelas kamu yang bohong, kamu yang nggak peduli sama Ibu. Masih saja nyari pembelaan ini itu." Untuk kesekian kalinya Ningrum memotong ucapan Lintang dengan penuh emosi, seolah-olah bicara dengan Lintang memang sangat menjengkelkan.
Tanpa sepengetahuan Ningrum, Lintang memejam dan membiarkan air matanya merembes membasahi pipi. Dia tak tahu, sebenarnya letak salahnya di mana, mengapa dari dulu sampai sekarang selalu menjadi pihak yang tersisih.
"Begini saja ya, Lintang, kalau kamu memang masih peduli dengan kesehatan Ibu, besok datang ke sini dan lihat ibumu ini! Tunjukkan kalau kamu itu masih punya bakti! Jangan mentang-mentang udah nikah, udah punya suami yang selalu membela, jadi kamu durhaka sama Ibu!"
Bentakan itu terdengar lagi di telinga Lintang. Sakitnya masih sama. Menghujam tepat di sudut hati yang paling dalam, meninggalkan luka-luka baru, di samping luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
"Sekalian kamu bawain hadiah untuk keponakan yang nggak pernah kamu pedulikan! Nada itu anaknya mbakmu kalau kamu lupa, Lintang! Pernahkah sekali saja kamu peduli ke dia? Nggak, kan? Jangan karena kamu sendiri nggak bisa punya anak, jadi benci sama anaknya mbakmu. Pikiran yang selalu negatif itu loh, Lin, yang bikin hidupmu banyak masalah. Kurang-kurangin pikiran jelek itu. Dengerin ini nasihat Ibu!"
Entah berapa banyak lagi kalimat yang keluar dari mulut Ningrum, Lintang sudah tak bisa mendengarnya. Ponsel itu sudah ia jauhkan dari telinga, lantas diletakkan asal di pangkuan. Lagi, ingatan Lintang tentang hari kelam itu kembali menghantui. Seakan-akan menegaskan betapa tidak berharganya dia di mata orang tua. Ia menjadi korban, tetapi ia pula yang disalahkan. Sementara mereka yang bersalah ... justru disayang dan dianggap benar sampai saat ini.
Tuhan, keadilan macam apa ini?
"Hei, Sayang! Ada apa? Kamu kenapa nangis?"
Lintang mendongak, menatap Pandu yang menghampirinya dan memandangnya dengan penuh kekhawatiran.
"Sayang, katakan ada apa!"
"Besok kita datang saja, Mas," jawab Lintang dengan nada dingin, pun masih dengan mata yang basah.
"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa barusan Mbak Tari telfon?" Pandu menatap curiga pada ponsel yang masih menyala. Pikirannya langsung tanggap, tak mungkin Lintang menangis jika tidak ada 'sesuatu' dari keluarganya.
"Bukan Mbak Tari, tapi Ibu. Katanya ... Ibu habis sakit. Kita datang sambil jenguk Ibu."
"Sayang, apa Ibu ngomong macam-macam lagi?"
Lintang hanya menarik napas panjang. Namun, sudah cukup bagi Pandu untuk mengerti apa yang terjadi.
Lalu dengan pelan, lelaki itu duduk di samping Lintang. Masih dengan tubuh yang hanya dibalut handuk, dia memeluk Lintang dan menenangkannya.
"Sayang, apa sebaiknya kita pergi saja untuk sementara waktu. Tinggal di tempat lain dan ganti nomor telfon, untuk menjaga jarak dengan Ibu dan Mbak Tari atau Mas Albi. Aku khawatir denganmu, Sayang, kalau Ibu dan Mbak Tari terus-terusan begini," ucap Pandu sesaat kemudian.
"Entahlah, Mas. Yang penting besok kita datang dulu. Aku nggak mau disalahkan lagi dan dianggap durhaka karena nggak peduli dengan Ibu," jawab Lintang.
Lantas, ia terdiam. Hanya hatinya yang kemudian berencana, merangkai niat untuk sedikit bersikap tegas. Mungkin, dengan begitu keluarganya tak lagi menindas. Sungguh, Lintang sudah lelah. Sangat lelah.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu